Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Paradoks Politisi Profesional: Licin Atau Licik?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/mohammad-hailuki-5'>MOHAMMAD HAILUKI</a>
OLEH: MOHAMMAD HAILUKI
  • Kamis, 17 Agustus 2017, 07:32 WIB
Paradoks Politisi Profesional: Licin Atau Licik?
Ilustrasi/Net
PADA awal Abad ke 20, Max Weber telah membedakan dua jenis politisi. Yaitu politisi yang hidup untuk politik dan politisi yang hidup dari politik. Ia yang hidup untuk politik menjadikan politik sebagai hidupnya, atas dasar kesadaran mendedikasikan diri untuk sebuah jalan kekuasaan yang dipergunakan bukan untuk menghasilkan pendapatan ekonomi pribadi dan kelompok melainkan untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan yang hidup dari politik adalah mereka yang menjadikan politik sebagai sumber pendapatan permanen untuk hidupnya.

Weber mengatakan, agar politisi tidak menjadi pencari nafkah dari kegiatan politiknya, maka dia harus terlebih dulu menjadi politisi profesional yaitu politisi yang mencapai kemapanan ekonomi sebelum terjun ke dunia politik. Para politisi yang sudah mempunyai kekayaan materi diyakininya tidak akan mengeksploitasi hak prerogatif yang dimiliki demi kepentingan mendapatkan laba ataupun rente.

Sebagai sebuah konsepsi tampaknya politisi profesional sangat ideal, namun dalam realitanya pandangan Weber ini sudah tidak relevan dan sudah terpatahkan dengan banyaknya fenomena para politisi berlatar pengusaha yang terseret dalam berbagai skandal perugian negara. Meski begitu, konsepsi Weber tidak sepenuhnya gagal, karena dia mensyaratkan tiga hal yang sangat menentukan bagi politisi profesional yaitu gairah, rasa tanggung jawab, dan kesadaran akan proporsi.

Ketiga syarat ini lah yang belum berhasil kita temukan pada sosok para politisi profesional di Indonesia masa kini, sehingga yang terjadi adalah penciptaan kerugian negara yang justru dilakukan oleh mereka yang mengaku berlatar belakang kaum profesional yang sudah mapan.

Freeport & Pelindo II

Tentu kita masih ingat beberapa kasus dan isu yang mengemuka beberapa waktu lalu yaitu persoalan perpanjangan kontrak dan saham Freeport yang menyeret nama Presiden Jokowi, serta kasus Pelindo II yang membawa-bawa nama Wakil Presiden Jusuf Kalla. Kedua isu tersebut menarik untuk dijadikan sebagai kajian pola relasi kuasa dan modal dalam politik Indonesia.

Rentang waktu kemunculan dua isu tersebut tidak berjauhan, berdasarkan pemberitaan di berbagai media massa bermula dari penggeledahan Bareskrim Polri terhadap kantor Pelindo II atas dugaan korupsi pengadaan mobil crane. Ketika itu Dirut Pelindo II RJ. Lino tampak dibuat gusar sehingga langsung melaporkan tindakan Bareskrim kepada sejumlah menteri yaitu Luhut Panjaitan dan Rini Soemarno.

Tak lama kemudian, Wapres Jusuf Kalla turun tangan meminta Bareskrim tidak melanjutkan penyidikan atas tindakan korporasi Pelindo II yang notabene merupakan badan usaha milik negara (BUMN). Episode ini diakhiri dengan digesernya Budi Waseso dari jabatan Bareskrim Polri menjadi kepada Badan Nasional Narkotika (BNN) dan dibentuknya Pansus Pelindo II dalam Sidang Paripurna DPR pada 5 November 2015.

Di saat Pansus Pelindo II bergerak, selang beberapa pekan kemudian, beredar transkip pembicaraan antara Setya Novanto, Maroef Sjamsoeddin dan Reza Chalid terkait perpanjangan kontrak Freeport. Nama Joko Widodo, Jusuf Kalla disebut dalam transkrip percakapan tersebut. Rekaman pembicaraan itu lalu dijadikan barang bukti oleh Menteri ESDM Sudirman Said untuk melaporkan Setya Novanto ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR. Akhirnya Novanto tergeser sementara digantikan oleh Ade Komaruddin sebelum kemudian kembali menjadi ketua DPR lagi.

Dalam pada itu, Pansus Pelindo II mendesak agar Presiden Jokowi memecat Menteri BUMN Rini Soemarno dan Dirut Pelindo II RJ Lino karena berdasarkan audit investigatif BPK terhadap Pelindo II ditemukan potensi kerugian negara sebesar Rp4 Triliun akibat kontrak dengan PT Jakarta International Container Terminal (JICT). Lino dicopot karena resmi berstatus sebagai tersangka, namun Rini Soemarno masih dipertahankan oleh Presiden Jokowi.

Licin atau Licik?

Kembalinya Setya Novanto menjadi ketua DPR dan masih bertahannya Rini Soemarno di kabinet mengundang decak kagum sebagian kalangan. Kedua nama tersebut seolah dijadikan sebagi role model politisi berlatar profesional yang lihai dan licin. Bagaimana tidak, meski dihantam berbagai isu dan serangan politik bahkan serangan hukum namun keduanya tetap berada di lingkaran kekuasaan.

Para politisi berlatar profesional di Indonesia saat ini tidak hanya Setya Novanto dan Rini Soemarno. Banyak sederat nama lainnya yang menduduki kekuasaan baik di legislatif maupun eksekutif. Mereka diketahui telah memiliki kecukupan ekonomi, mereka juga diketahui sebagai pengusaha-pengusaha yang tergolong mapan. Apabila merujuk kepada konsepsi Weber, semestiya para politisi profesional di Indonesia tidak lagi terseret kepada persoalan hukum dengan motif ekonomi. Namun kenyataannya tidak demikian, kasus demi kasus bermunculan menyeret para politisi yang katanya profesional tersebut. Terkini adalah megakasus E-KTP yang juga menyeret Setya Novanto.

Ternyata politisi profesional di Indonesia belum bisa hidup untuk politik, mereka masih saja hidup dari politik. Kita tidak sedang mengharapkan adanya kesadaran dalam diri para politisi profesional agar segera menyadari perilaku kolutifnya. Kita hanya berharap mereka mengetahui bahwa rakyat mencatat, mendengar dan menyaksikan perilaku mereka. Dan pada saatnya rakyat akan memberikan hukuman. Camkan!. [***]

Penulis adalah Koordinator PUSLABPOL INDONESIA

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA