Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Penaikan Harga dan Ancaman Predatory State

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/m-a-hailuki-5'>M.A. HAILUKI</a>
OLEH: M.A. HAILUKI
  • Sabtu, 07 Januari 2017, 18:55 WIB
<i>Penaikan Harga dan Ancaman Predatory State</i>
Ilustrasi/Net
TAHUN Baru 2017 diawali oleh kejutan naiknya tarif pengurusan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan biaya penerbitan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) yang resmi diberlakukan sejak 6 Januari 2017. Kenakan biaya ini merupakan keputusan resmi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2016 yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo. Penaikan tarif tidak hanya berlaku bagi kendaraan roda empat, melainkan juga kendaraan roda dua yang notabene paling banyak dimiliki kelompok masyarakat kelas bawah, khususnya yang berprofesi sebagai sopir ojek.

Bersamaan dengan itu sejak 5 Januari 2017 harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite dan Pertamax juga mengalami penaikan, yang semula Pertalite Rp 7.050 menjadi Rp 7.350 per liter, Pertamax semula Rp 7.750 menjadi Rp 8.050 per liter. Penaikan harga BBM di tengah musim liburan sekolah dan tahun baru pada awalnya tidak timbulkan reaksi besar, namun pasca liburan panjang publik mulai memberi respon kritis terhadap penaikan harga tersebut. Karena meskipun harga Premium tidak mengalami penaikan, namun masyarakat pemilik kendaraan bermotor roda dua dan empat selama kurun 2015-2016 secara massal sudah kadung bermigrasi menjadi konsumen Pertalite dan Pertamax.

Pencabutan subsidi juga dilakukan pemerintah terhadap tarif listrik rumah tangga daya 900 VA secara bertahap mulai 1 Januari hingga 1 Juli 2017, yang semula Rp 605 menjadi Rp 1.352 /KWH. Kebijakan ini sontak membuat panik masyarakat yang tinggal di kawasan perkotaan, karena kebanyakan mereka adalah bukan pelanggan listrik bersubsidi 450 VA sebagaimana di pelosok desa. Rumah tangga pengguna listrik 900 VA di perkotaan kebanyakan adalah toko kecil, makar sewa kontrakan, rumah petakan dan warung makanan. Publik kelas bawah kuatir, penaikan tarif listrik berdampak kepada naiknya harga sewa dan barang dagangan pula.

Naiknya ketiga jenis tarif dan harga tersebut secara bersamaan menjadi perbincangan ramai baik di media sosial maupun di warung-warung kopi. Perbincangan menjadi semakin panas ketika para ibu rumah tangga ikut diresahkan oleh naiknya harga cabai di pasar hingga mencapai Rp 150.000 per kilogram. Meski tidak semua orang suka cabai, namun hampir semua masakan menjadikan cabai sebagai salah satu bahan baku pelengkapnya. Pantas saja, bila ibu rumah tangga ikut angkat suara lantang terhadap situasi ini; negara abai terhadap harga cabai!

Kegagalan Pasar Cabai

Pemerintah melalui Kementerian Pertanian menyatakan bahwa melejitnya harga cabai bukan disebabkan oleh persoalan produksi, melainkan dikarenakan oleh faktor alam yaitu hujan yang membuat stok cabai cepat membusuk sebelum sampai ke tangan konsumen di pasar. Sementara Kementerian Perdagangan mengatakan, persoalan distribusi menjadi penyebab naiknya harga cabai, karena di beberapa wilayah justru terdapat kelebihan stok cabai yang melimpah namun terhambat pendistribusian sehingga beberapa wilayah lainnya mengalami kelangkaan.

Faktor alam dan distribusi sejak lama merupakan alasan klasik yang menyebabkan melonjaknya harga berbagai komoditas pertanian, termasuk cabai. Sungguh alangkah ironis bila sampai saat ini pemerintah masih juga tak mampu melakukan antisipasi untuk mencegah terjadinya ketimpangan harga yang tak lain adalah salah satu wujud dari indikasi fenomena kegagalan pasar (market failure). Sejak tahun 1930-an para ekonom aliran Keynesian bersepakat bahwa kegagalan pasar adalah bagian tak terpisahkan dari mekanisme pasar (Caporaso & Levine, 1992). Konsep Invisible Hand sebagai pengatur otomatis keseimbangan harga pasar sudah tidak terbukti, maka negara harus proaktif alias hadir melakukan pencegahan terjadinya kegagalan pasar.

Kehadiran negara dalam mencegah kegagalan pasar dilakukan melalui dua cara yaitu membuat regulasi terhadap para produsen, dan lakukan redistribusi kepada para konsumen berdaya beli rendah. Dalam kasus kelangkaan komoditas yang membuat naiknya harga sebagai akibat dari faktor cuaca maka para petani harus dibantu agar mereka tidak mengalami kegagalan panen. Terkait stok dan distribusi, pemerintah tidak boleh melepasnya kepada mekanisme pasar karena pada titik itu para tengkulak akan bermain melakukan penimbunan sehingga menyebabkan langkanya komoditas di pasaran.

Maka kita patut bertanya, apa yang saja yang dilakukan pemerintah selama ini dalam menyikapi musim hujan dan juga besarnya permintaan masyarakat pada masa pergantian tahun? Apakah pemerintah hanya mengandalkan jurus lawas berupa Operasi Pasar setelah harga terlanjur melonjak tinggi? Kita ketahui Operasi Pasar merupakan produk dari kebijakan kapitalisme neoklasik dan neoliberal yang menghendaki pemerintah hanya menjadi pemadam kebakaran bergerak setelah kejadian, bukan melakukan pencegahan. Jika itu yang pemerintah saat ini lakukan, maka tak salah bila publik menilai pemerintah Joko Widodo adalah penganut aliran neoliberal.

Negara Pemangsa

Kebijakan penaikan harga BBM, tarif listrik, dan biaya pengurusan STNK/BPKB dalam perspektif ekonomi murni dapat dimaknai sebatas upaya pemerintah untuk menambah pemasukan negara dengan tujuan untuk menutupi defisit neraca keuangan negara, dimana telah diketahui bahwa APBN 2017 mengalami defisit mencapai Rp330 Triliun. Namun dalam perspektif ekonomi-politik, kebijakan penaikan harga dan tarif tersebut mengandung motif politik pelanggengan kekuasaan.

Kacamata ekonomi-politik menempatkan negara sebagai aktor rasional yang berusaha memaksimalkan penerimaan jangka pendek. Dalam upaya itulah negara kerap mencari bentuk-bentuk kebijakan untuk menggenjot penerimaan negara dalam jangka pendek, namun dampaknya untuk jangka panjang justru akan membuat kerugian. Negara yang berperilaku seperti itu disebut Killick (1988) sebagai negara pemangsa (Predatory State), yaitu negara yang seolah bertindak rasional demi mempertahankan kekuasaannya dengan cara menerapkan strategi pembangunan yang sebenarnya tidak rasional.

Merujuk kepada APBN 2017, tampak jelas pemerintah Joko Widodo berambisi untuk menuntaskan sesegera mungkin berbagai megaproyek infrastruktur yang cukup menguras keuangan negara mencapai Rp387 Triliun, angka tersebut meningkat Rp 74 Triliun dibanding alokasi infrastruktur pada 2016. Logika yang dipakai pemerintah adalah pembangunan infrastruktur akan dapat memacu pertumbuhan ekonomi, namun persoalannya megaproyek infratruktur membutuhkan pembiayaan yang tidak sedikit. Untuk membiayainya, selain mengandalkan pendapatan pajak, pemerintah menggenjot pemasukan dari pendapatan bukan pajak yang ditargetkan sebesar Rp250 Triliun, akibatnya sejumlah tarif dan harga mau tidak mau harus dinaikkan.

Pada titik ini, daya beli masyarakat justru menjadi terancam menurun yang pada akhirnya justru menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat. Alih-alih akan mendorong kemajuan ekonomi dan terwujudnya pemerataan kemakmuran, justru beban hidup rakyat semakin berat. Hal tersebut tampak relevan dengan yang dikatakan Killick (1988) tentang perilakuPredatory State yaitu negara melakukan pembangunan ekonomi dengan strategi yang seolah rasional padahal irasional. Perilaku negara pemangsa didorong oleh motif utama pelanggengan kekuasaan, karena di dalamnya berlangsung juga praktek perburuan rente yang oleh Krueger (1974) dinyatakan sebagai upaya kelompok bisnis kepentingan untuk meningkatkan pendapatan melalui pemanfaatan regulasi pemerintah sehingga menghasilkan lisensi dan konsesi tertentu.

Kelompok bisnis mana yang berkepentingan di balik megaproyek infrastruktur pemerintah tersebut? Pertanyaan ini tentu tidak mudah untuk dijawab, namun melihat adanya kecenderungan perilaku Predatory State yang dijalankan pemerintah saat ini, maka kecenderungan untuk adanya perburuan rente dalam megaproyek infrastuktur pemerintah pun menjadi logis. Sebagaimana dikatakan Krueger, pemerintah cenderung memperbesar pengeluaran untuk melayani kelompok-kelompok kepentingan, sementara kementerian keuangan justru berkonsentrasi untuk meningkatkan pendapatan (Yustika, 2009).

Berangkat dari temuan empiris ekonomi-politik di beberapa negara tersebut, maka wajar kiranya apabila publik menaruh curiga ada ‘udang di balik proyek’ infratruktur yang berdampak kepada terkurasnya keuangan negara. Dan publik pun kuatir apabila defisit APBN 2017 ternyata meleset dari target maka penaikan tarif dan harga akan kembali terjadi. Untuk itu sudah sepantasnya pula pemerintah lebih rasional dan realitis dalam alokasi prioritas pembangunan insfrastruktur dengan cara cermat dan berhemat. Tunda proyek infratruktur yang tidak mendesak, mari kembali kencangkan ikat pinggang! [***]

Penulis adalah Peneliti Ekonomi-Politik Universitas Nasional Jakarta dan Peneliti Pusat Laboratorium Politik IKAPOL IISIP Jakarta

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA