Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Ironi Era Jokowi, Potret Buram Garam

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/mohammad-hailuki-5'>MOHAMMAD HAILUKI</a>
OLEH: MOHAMMAD HAILUKI
  • Senin, 07 Agustus 2017, 09:41 WIB
Ironi Era Jokowi, Potret Buram Garam
Ilustrasi/Net
PEMERINTAHAN Jokowi telah mengeluarkan kebijakan impor garam dari Australia secara resmi sebanyak 75.000 ton guna mengatasi kelangkaan garam nasional. Kebijakan ini ditelurkan di tengah hingar-bingar pembangunan infrastruktur, menurunnya daya beli masyarakat, dan bertambahnya defisit keuangan negara mendekati angka 3% dari total APBN.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Garam merupakan sebuah komoditas yang relatif mudah diproduksi karena tidak memerlukan kerumitan teknologi serta tidak tergolong industri padat modal. Namun realitanya, pertama kali dalam sejarah kebutuhan garam di pasar domestik tidak mampu dipenuhi oleh produksi nasional secara mandiri.

Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia mencatat kebutuhan konsumsi garam nasional mencapai empat juta ton per tahun, sebanyak 780.000 diantaranya merupakan kebutuhan konsumsi rumah tangga sedangkan selebihnya adalah kebutuhan industri. Tingginya angka permintaan berbanding jauh dengan jumlah produksi garam nasional pada 2016 hanya sebanyak 114.000 ton. Tak perlu argumentasi rumit, sudah pasti disparitas yang dalam antara ketersediaan barang dengan permintaan membuat harga garam melonjak tajam.

Faktor pola produksi tradisional dan kendala cuaca diajukan sebagai argumentasi untuk menjelaskan mengapa negara maritim sebesar Indonesia sampai mengalami krisis garam. Menyalahkan alam dan petani seperti itu, bagi penulis merupakan konfirmasi atas ketidakpedulian pemerintah terhadap persoalan garam. Jika pemerintah dijadikan sebagai pihak yang bersalah atas krisis garam nasional, itu merupakan kewajaran. Karena pemerintah memiliki otoritas besar untuk mencegah terjadinya krisis melalui berbagai regulasi.

Perlawanan Gandhi

Dibanding dengan komoditas lain, mungkin garam dipandang relatif tidak memiliki nilai ekonomi tinggi. Alih-alih menjadikan garam sebagai sebuah komoditas unggulan, mungkin tidak pernah terbesit pula bahwa garam merupakan salah satu identitas bagi negara kelautan seperti Indonesia.

Berbeda dengan India, bagi negara sahabat kita itu garam bukan sekadar komoditas. Lebih dari itu mereka menjadikan garam sebagai alat perjuangan memerdekaan bangsa dari belenggu penjajahan. Pada 1930, Mahatma Gandhi memimpin 60.000 rakyat India berjalan ke tepi pantai Bombay untuk memproduksi garam sendiri sebagai wujud gerakan Swadesi guna melawan monopoli pemerintah kolonial Inggris.

Gandhi, menyerukan rakyatnya untuk berdiri di atas kaki sendiri agar tidak mengalami ketergantungan terhadap impor garam produksi Inggris. Gerakan membuat garam secara mandiri efektif memukul pemerintah kolonial, karena bersamaan dengan itu Gandhi juga menyerukan kemandirian memproduksi tektsil sebagai bahan pakaian rakyat India. Gerakan ini sukses membuat Inggris kelimpungan karena produksi tekstil dan garam mereka tidak laku di pasaran India.

Perjuangan Gandhi menjadi salah satu inspirasi bagi Bapak Bangsa kita, Mohammad Hatta yang mencantumkan kemandirian atau self-supporting dan self-help sebagai prinsip perjuangan kemerdekaan Indonesia. Menurut Bung Hatta, segala kebutuhan rakyat yang bahan dasarnya tersedia di dalam negeri maka harus diproduksi secara mandiri di dalam negeri dan diutamakan untuk kebutuhan pasar domestik. Produksi di negeri sendiri sudah pasti akan lebih murah daripada mendatangkan dari luar negeri.

Persoalan teknologi menurut Bung Hatta bukan kendala, karena Indonesia memiliki negara-negara sahabat yang dapat dimintai bantuan berbagi pengetahuan, bahkan kalau perlu untuk sementara waktu mendatangkan para pakar dan manajerial handal dari luar negeri untuk menularkan ilmunya kepada Kaum Bumiputera. Adapun persoalan modal tersedia banyak cara. Untuk produksi komoditas yang tak memerlukan barang modal tinggi seperti garam tak harus dengan modal asing. Cukup dengan gerakan simpanan nasional rakyat dan didukung bank pemerintah, persoalan modal sudah bisa teratasi.

Tinggal persoalannya apakah pemerintah mau bekerja sungguh-sungguh atau mengambil jalan pintas dengan cara malas, yaitu impor. Di sini keberpihakan pemerintah diuji, karena dalam kajian ekonomi politik kebijakan impor tak pernah lepas dari praktek perburuan rente yang dilakukan oleh kelompok pengusaha dengan penguasa.

Rente Garam

Menurut Krueger (1974), praktek perburuan rente (rent seeking) bermula dari upaya sekelompok pengusaha untuk memperoleh kuota impor dari pemerintah. Mereka memanfaatkan otoritas pemerintah untuk meningkatkan pendapatan melalui pemanfaatan lisensi impor. Dalam proses perumusan kebijakan itulah rawan terjadi transaksi antara pengusaha dan penguasa.

Studi tentang perburan rente mengupas tentang perilaku kalap rente yaitu kolusi ekonomi politik yang dilakukan oleh politisi sebagai pembuat kebijakan, birokrasi sebagai pelaksana kebijakan, dan kelompok kepentingan sebagai yang mempengaruhi kebijakan. Pada sisi pembuat kebijakan, politisi kalap rente disebut dengan power seeking politicianyaitu aktor rasional yang mempertimbangkan untung rugi dalam setiap kebijakan yang diambilnya dengan menjadikan pelanggengan kekuasaan sebagai motif utamanya.

Sementara pada sisi pelaksana kebijakan, birokrat kalap rente disebut rent seeking bureaucrates, yaitu pelaku pemerintahan yang menjual kebijakan negara kepada penawar tertinggi. Grindle (1989) menyebutnya sebagai mekanisme alokasi sumber daya birokratis. Kaum birokrat pemburu rente hidup tumbuh subur memanfaatkan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh politisi. Mereka semakin subur dalam relasi dengan kelompok kepentingan. Karena kelompok kepentingan yang tak lain para pengusaha itulah yang menjadi ‘kasir’ dalam perburuan rente tersebut.

Merujuk kepada Grindle dan Krueger maka persoalan impor garam dapat dipandang memiliki motif dan berpotensi melahirkan praktek perburuan rente. Tujuan impor untuk memenuhi kebutuhan garam nasional yang lebih banyak didominasi oleh konsumsi industri daripada konsumsi rumah tangga membuat semakin rasional kekhawatiran kita. Kebijakan impor melalui BUMN pun tidak serta-merta menghilangkan potensi rente, justru akan lebih rentan karena politisi memiliki daya tekan lebih besar terhadap BUMN ketimpang korporasi privat.

Kehadiran negara dalam menyelesaikan krisis garam tidak pula harus dengan memperkuat PT Garam sebagai BUMN, karena tidak semua komoditas harus diproduksi oleh negara. Melainkan cukup negara memberi ruang hadirnya pasar kolektif pergaraman, dimana tersedia kompetisi dan kolaborasi yang efektif di antara petani garam dan distributor. Pemerintah tidak perlu memonopoli produksi garam, namun justru harus mendorong publik dan privat berkolaborasi memproduksi garam dengan prinsip keadilan dan keuntungan bersama.

Dengan otoritas yang dimiliki, Presiden Jokowi bisa membuat instruksi presiden tentang percepatan kemandirian produksi garam nasional dengan cara membangun sentra garam nasional dengan sumber modal dalam negeri. Pemerintah bisa menunjuk salah satu bank BUMN atau menawarkan kepada bank swasta untuk fokus alokasikan modal pada sektor ini dengan sejumlah kompensasi semisal keringanan pajak. Sehingga terbangun industrialisasi sektor garam yang kuat dengan pembukaan akses kapital dan pelibatan partisipasi publik.

Ilmu Garam

Kini jelaslah, impor garam bukan solusi bijak untuk mengatasi krisis garam nasional. Kelangkaan garam di pasaran yang menyebabkan naiknya harga tidak mesti direspon serampangan sedemikian. Impor garam merupakan kebijakan reaktif yang tidak boleh ‘ditradisikan’, tingginya permintaan tak boleh dijadikan alasan, alih-alih menstabilkan harga justru membuat petani garam kita menjadi menderita karena harus bersaing dengan garam buatan Australia.

Pemerintah sebagai wujud kedaulatan rakyat harus berdiri di atas kepentingan nasional, tidak boleh mengorbankan nasib petani demi kepentingan kelompok dengan berselubung kebutuhan konsumen. Bagi konsumen garam mereka tidak akan berpikir panjang, selama tersedia harga murah barang akan dibeli tak peduli produksi nasional maupun impor. Namun bagi petani, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah tak dapat keberpihakan, harus bersaing dengan garam asing pula.

Dengan potret buram persoalan garam maka tampaklah paradoks pada tiga tahun kepemimpinan Presiden Jokowi yang selama ini pemerintah menaruh perhatian ekstra terhadap infrastruktur. Sumber daya APBN dikerahkan untuk menjalankan berbagai megaproyek, perhatian yang tercurah sebegitu besar pada sektor infrastruktur membuat sektor lainnya terabaikan. Garam seperti filosofinya sebagai penyempurna rasa tak boleh diabaikan, tanpa garam masakan terasa hambar, tanpa garam seolah tak ada kenikmatan.

Bagi orang Timur, ilmu garam dikenal sebagai ajaran luhur tentang keseimbangan. Ketiadaannya membuat ketidakseimbangan, maka meski hanya sejumput namun kehadirannya amat bernilai. Begitulah garam sebagai komoditas memiliki persangkutan tidak hanya terhadap rumah tangga tetapi juga industri salah satunya industri farmasi yang banyak membutuhkan garam sebagai bahan dasar. Maka sudah sepatutnya diikrarkan, impor garam yang dilakukan pemerintah saat ini merupakan impor yang pertama dan untuk terakhir kalinya. Tak ada cerita![***]


Penulis adalah Koordinator Pusat Laboratorium Ekonomi-Politik (Puslepol) Indonesia

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA