Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Benang Kuning Jokowi-Ahok

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/m-a-hailuki-5'>M.A. HAILUKI</a>
OLEH: M.A. HAILUKI
  • Jumat, 05 Agustus 2016, 08:20 WIB
<i>Benang Kuning Jokowi-Ahok</i>
Jokowi dan Ahok menghadiri Rapimnas Golkar/Net
TERLALU naif rasanya apabila kita menganggap peristiwa reshuffle kabinet sebagai sebuah hak prerogatif semata seolah hanya fenomena politik biasa yang tidak ada perkaitan dengan variabel-variabel lainnya. Perombakan kabinet tidak sekadar menyempurnakan puzzle yang terserak, tidak pula sebatas pergantian pemain di lapangan, dan bukan hanya tambal sulam jahitan, tetapi lebih dari itu.

Dalam sebuah pemerintahan, di negeri manapun, postur sebuah kabinet selalu mencerminkan kesepakatan serta kepentingan politik yang ada di dalamnya, kepentingan elite politik secara individu maupun lembaga, kepentingan partai politik pengusung, kepentingan kekuatan-kekuatan politik yang terlibat dalam bangunan kekuasaan, dan kepentingan kelompok-kelompok bisnis tertentu. Lebih jauh lagi, ada kepentingan ideologi yang terpantul dari cermin kekuasaan.

Sebagaimana dikemukakan Robert Michels (1968), bahwa penampilan rezim demokrasi bisa mengelabui mata para pengamat yang tidak hati-hati. Tampilan demokratis kerap menjadi jubah dari sebuah kekuatan oligarkis yang bersembunyi di balik selubung demokrasi. Pun demikian disampaikan Jeffrey A Winters (2013), para oligark dapat melekatkan diri tidak hanya pada bangunan otoritarian, melainkan juga rezim demokrasi. Kaum oligark bukan monopoli para politisi, tetapi multi profesi yang digerakkan oleh pencarian kekuasaan dan kekayaan.

Peristiwa reshuffle kedua Kabinet Kerja pada 27 Juli 2016 memunculkan pergeseran posisi dan pencopotan sejumlah menteri. Mereka yang bergeser adalah Luhut Pandjaitan yang semula menjabat menteri koordinator (menko) polhukam menjadi menteri koordinator (menko) maritim dan sumber daya. Sahabat dekat Wapres Jusuf Kalla, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Sofyan Djalil pun digeser menjadi menteri agraria dan tata ruang. Pergeseran juga dialami Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro dan Menteri Perdagangan Thomas Lembong.

Di antara sejumlah nama menteri yang dicopot dari jabatannya, adalah pencopotan Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, dan Menteri ESDM Sudirman Said yang menimbulkan keheranan publik. Karena ketiga nama populer tersebut dianggap memiliki integritas dan gebrakan dalam menjalankan tugas, khususnya Rizal Ramli yang beberapa pekan menjelang reshuffle kabinet tengah gencar-gencarnya memerangi proyek reklamasi pantai utara Jakarta.

Publik tentu masih ingat bagaimana perseteruan antara Rizal dengan Gubernur DKI Jakarta Basuki T. Purnama alias Ahok terkait proyek pulau buatan tersebut. Atas nama pemerintah pusat, Rizal mencabut izin reklamasi Pulau G yang dikelola oleh kelompok usaha properti Agung Podomoro.  Sementara Ahok telah menerbitkan SK Gubernur Nomor 2238 Tahun 2014 yang memberikan izin kepada Agung Podomoro untuk melakukan reklamasi, tak ayal Ahok pun melaporkan tindakan Rizal kepada Presiden Jokowi. Pendek kata, kisruh Pulau G merupakan salah satu ‘adegan panas’ dalam episode sebelum reshuffle dilangsungkan.

Tanduk Banteng Tumpul?

Fenomena lain yang juga menarik untuk kita cermati adalah tidak ampuhnya desakan PDI Perjuangan, partai pemenang Pemilu dan Pilpres 2014 yang meminta Presiden Jokowi agar mencopot Menteri BUMN Rini Soemarno melalui rekomendasi Pansus Pelindo di DPR. Pekik lantang PDIP seolah dianggap angin lalu oleh Jokowi, mantan Gubernur DKI yang kerap disebut petugas partai itu tetap mempertahankan Rini dan Sofyan Djalil yang dibidik Pansus Pelindo.

Praktis, partai berlambang banteng dengan tanduk tajam tersebut tidak mendapatkan apa-apa dari refhuffle kabinet kali ini. Tak ada nama populer seperti Maruarar Sirait, TB Hasanuddin, Rieke Diah Pitaloka yang kerap digadang-gadang masuk kabinet menambah jatah kursi menteri bagi PDIP. Apakah tanduk banteng kini tumpul? Mungkin analogi itu terlalu berlebihan, tapi yang jelas hubungan antara Jokowi dan PDIP tampak agak merenggang.

Justru Jokowi kini semakin menguning, apa pasal? Berdekatan dengan momentum reshuffle kabinet, Partai Golkar membuat beberapa manuver politik yang mengagumkan. Tanpa ragu partai pimpinan Setya Novanto ini mengumukan deklarasi ganda, yaitu mendapuk Jokowi sebagai calon presiden 2019 dan mengusung Ahok yang tak lain kawan seperjuangan Jokowi menjadi calon gubernur pada Pilkada DKI 2017. Kini, Jokowi dan Ahok bisa berteduh sementara waktu di bawah rindangnya rimbun beringin.

Golkar menyalip PDIP dalam sekejap, Setya Novanti berhasil menerima ganjaran tambahan kursi kabinet yaitu Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto. Dengan demikian Golkar punya tiga kader resmi di kabinet yaitu Luhut Pandjaitan, Nusron Wahid, dan yang terbaru Airlangga Hartarto, putra mantan menteri perindustrian masa Orde Baru, Hartanto Sastrosoenarto. Adapun Sofyan Djalil, meski bukan portofolio Golkar namun tetap bernuansa kuning karena dikenal sebagai dekat sahabat Jusuf Kalla.

Dalam pada itu, semenjak Golkar secara resmi menyatakan akan mengusung Ahok sebagai cagub DKI, kian hari PDIP pun kian menjauh dari politisi asal Belitung tersebut. Meski komunikasi politik tetap dilakukan, namun belakangan semakin santer PDIP akan mengusung kadernya sendiri untuk bertarung di Ibukota. Tiga perhelatan akbar yaitu perombakan kabinet, pilkada DKI 2018 dan Pilpres 2019 kini terikat oleh rajutan benang kuning, bukan lagi benang merah.

Beberapa Konsekuensi

Kemesraan Jokowi dan Golkar bukanlah sebuah manuver tanpa resiko. Ada beberapa konsekuensi yang harus Jokowi terima, pertama, hubungan Jokowi dengan PDIP khususnya Megawati Soekarnoputri rawan mengalami perenggangan. Karena secara tersirat Jokowi ‘menerima’ pengusungan dirinya sebagai capres oleh Golkar mendahului sikap Teuku Umar (baca: kediaman pribadi Megawati). Jokowi juga secara ‘merangkak’ mendukung Ahok yang otomatis akan menampatkannya dalam posisi berlawanan dengan asumsi PDIP mengusung nama lainnya.

Konsekuensi kedua, citra positif Jokowi akan tergerus oleh citra negatif Setya Novanto sebagai ketua umum Golkar. Kisah ‘papa minta saham Freeport’ akan terus menggelayut dalam benak pikiran masyarakat, rekaman percakapan rahasia itu akan terus terputar dalam memori publik. Bahkan yang terburuk akan terbangun persepsi negatif terkait jatah saham tersebut.

Lalu konsekuensi ketiga, lantaran Golkar adalah representasi partai borjuis dan kapitalis, maka mantra Tri Sakti Soekarno yang selalu diagungkan Jokowi sebagai landasan perjuangannya akan semakin diragukan masyarakat. Jokowi akan dibenturkan dengan mazhab ekonomi kerakyatan dalam program Nawa Cita, yang membenturkannya tidak lain tidak bukan adalah kader-kader Marhaen. Artinya, ada potensi massa Marhaen perlahan menjauhi Jokowi.

Semua konsekuensi ini tentu disadari oleh Jokowi, sebagai politisi pasti punya kalkulasi tersendiri, apalagi angka survei kepuasan publik atas kinerjanya cukup menenangkan hati. Karpet istana memang merah namun singgasananya tetap kuning. ***

Penulis adalah pemerhati politik Universitas Nasional Jakarta dan pengurus Ikatan Alumni Ilmu Politik IISIP Jakarta.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA