WAWANCARA

Agus Santoso: Rekening Kepala Daerah Incumbent Ditandai dan Terus Dipantau

Kamis, 15 Oktober 2015, 08:20 WIB
Agus Santoso: Rekening Kepala Daerah Incumbent Ditandai dan Terus Dipantau
Agus Santoso/net
rmol news logo Jelang pilkada serentak yang bakal digelar Desember 2015 diprediksi banyaknya pengusaha hitam yang menan­amkan investasi politik kepada calon-calon kepala daerah dengan jalan membantu mendanai kampanye sang calon. Kompensasinya, ketika sang calon resmi menempati kursi kepala daerah, sang pengusaha meminta pemerintah daerah meloloskan proyek-proyek yang akan dibangun.
 
Biasanya pengusaha hitam itu tidak akan hanya berinvestasi kepada satu calon. Jika di suatu daerah ada calon yang sama kuat, maka bukan tidak mung­kin ada pengusaha yang me­nyumbang untuk dua atau lebih pasangan calon. Jadi siapapun calon yang menang, mereka tetap aman.

Lantas bagaimana Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mendeteksi kemungkinan itu semua, berikut ini wawancara Rakyat Merdeka dengan Agus Santoso, Wakil Kepala PPATK elalui sambungan telepon.

Berdasarkan temuan PPATK, bagaimana modus pengusaha hitam memberikan sumbangan di ajang Pilkada?

Berdasarkan riset, berdasarkan pengalaman pemilu legislatif ke­marin yang bulan April tahun lalu ya, itu memang rekening sum­bangan dana kampanye relatif bersih. Karena hampir 93 persen itu sumbangannya dalam bentuk barang, jasa, diskon, gitu.

Artinya sumbangan para pen­gusaha hitam itu sulit dideteksi? Tentunya, pengawasan jadi sulit, karena itu digantungkan pada auditor. Nah, KPU harus punya auditor kredibel supaya hasil auditnya kredibel. Susahnya itu ketika mereka nyumbangnya dalam bentuk barang, jasa dan diskon.

Saran anda, apa yang harus dilakukan untuk mengantisi­pasi investasi politik di ajang pilkada?
Jadi mungkin Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu) di daerah harus lebih aktif, LSM seperti Perludem dan LSM lain di daerah harus jadi watchdog untuk meng­hasilkan pilkada yang bersih.

Kalau ada calon yang mem­beli partai dengan menyerah­kan mahar politik, bagaimana mendeteksi transaksinya?
Kalau incumbent sih sudah kita kasih red flag ya, dikasih tanda bendera merah. Supaya kalau ada transaksi mencuriga­kan itu lebih dilihat oleh teman-teman pihak pelapor. Karena in­cumbent bisa mengakses APBD kan, dan memberikan perintah kepada BUMD. Sehingga perlu kita kasih tanda.

Kalau bukan incumbent?

Kalau bukan incumbent kan nggak bisa. Kecuali yang lev­elnya eselon II, kepala dinas. Nama-nama calon yang sudah masuk dari KPU kita monitor ya transaksi keuangannya.

Sejauh ini, apa ada ditemu­kan transaksi mencurigakan?
Saya belum bisa ngomong itu dulu. Yang jelas kita sudah ada koordinasi dengan Bawaslu dan KPKuntuk membantu KPU.

Apa yang harus dilakukan agar setiap transaksi keuan­gan calon kepala daerah bisa terdeteksi dan transparan?
Ada beberapa yang menurut saya perlu dipersyaratkan oleh KPU. Pertama, calon-calon itu kalau bisa menyerahkan LHKPN (Laporan Harta Kekeyaaan Penyelenggara Negara) ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) itu sesegera mungkin. Karena ini akan menjadi acuan. Misalnya kekayaannya Rp 5 miliar, kam­panyenya Rp 5 miliar juga, tapi nggak menjual barang terus ada sumbangan kan kita bisa mewaspadai. Yang kedua, untuk OJK (Otoritas Jasa Keuangan) juga perlu mengeluarkan aturan mengenai pembukaan rekening dana kampanye. Kalau bisa itu kan rekeningnya tersendiri, jadi OJK itu memberikan petunjuk kepada seluruh bank, misalnya dengan adanya surat pendaftaran dari KPU. Supaya bisa diakses rekeningnya oleh Bawaslu dan Panwaslu gitu. Jadi rekeningnya diumumkan, seperti Pilpreslah. Kami merekomendasikan kepa­da KPU untuk membuat aturan mengenai dana kampanye itu lebih jelas, dipakai sistem nam­ing and shaming. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA