Biasanya pengusaha hitam itu tidak akan hanya berinvestasi kepada satu calon. Jika di suatu daerah ada calon yang sama kuat, maka bukan tidak mungÂkin ada pengusaha yang meÂnyumbang untuk dua atau lebih pasangan calon. Jadi siapapun calon yang menang, mereka tetap aman.
Lantas bagaimana Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mendeteksi kemungkinan itu semua, berikut ini wawancara
Rakyat Merdeka dengan Agus Santoso, Wakil Kepala PPATK elalui sambungan telepon.
Berdasarkan temuan PPATK, bagaimana modus pengusaha hitam memberikan sumbangan di ajang Pilkada? Berdasarkan riset, berdasarkan pengalaman pemilu legislatif keÂmarin yang bulan April tahun lalu ya, itu memang rekening sumÂbangan dana kampanye relatif bersih. Karena hampir 93 persen itu sumbangannya dalam bentuk barang, jasa, diskon, gitu.
Artinya sumbangan para penÂgusaha hitam itu sulit dideteksi? Tentunya, pengawasan jadi sulit, karena itu digantungkan pada auditor. Nah, KPU harus punya auditor kredibel supaya hasil auditnya kredibel. Susahnya itu ketika mereka nyumbangnya dalam bentuk barang, jasa dan diskon.
Saran anda, apa yang harus dilakukan untuk mengantisiÂpasi investasi politik di ajang pilkada? Jadi mungkin Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu) di daerah harus lebih aktif, LSM seperti Perludem dan LSM lain di daerah harus jadi watchdog untuk mengÂhasilkan pilkada yang bersih.
Kalau ada calon yang memÂbeli partai dengan menyerahÂkan mahar politik, bagaimana mendeteksi transaksinya? Kalau incumbent sih sudah kita kasih
red flag ya, dikasih tanda bendera merah. Supaya kalau ada transaksi mencurigaÂkan itu lebih dilihat oleh teman-teman pihak pelapor. Karena inÂcumbent bisa mengakses APBD kan, dan memberikan perintah kepada BUMD. Sehingga perlu kita kasih tanda.
Kalau bukan incumbent? Kalau bukan incumbent kan nggak bisa. Kecuali yang levÂelnya eselon II, kepala dinas. Nama-nama calon yang sudah masuk dari KPU kita monitor ya transaksi keuangannya.
Sejauh ini, apa ada ditemuÂkan transaksi mencurigakan? Saya belum bisa ngomong itu dulu. Yang jelas kita sudah ada koordinasi dengan Bawaslu dan KPKuntuk membantu KPU.
Apa yang harus dilakukan agar setiap transaksi keuanÂgan calon kepala daerah bisa terdeteksi dan transparan? Ada beberapa yang menurut saya perlu dipersyaratkan oleh KPU. Pertama, calon-calon itu kalau bisa menyerahkan LHKPN (Laporan Harta Kekeyaaan Penyelenggara Negara) ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) itu sesegera mungkin. Karena ini akan menjadi acuan. Misalnya kekayaannya Rp 5 miliar, kamÂpanyenya Rp 5 miliar juga, tapi nggak menjual barang terus ada sumbangan kan kita bisa mewaspadai. Yang kedua, untuk OJK (Otoritas Jasa Keuangan) juga perlu mengeluarkan aturan mengenai pembukaan rekening dana kampanye. Kalau bisa itu kan rekeningnya tersendiri, jadi OJK itu memberikan petunjuk kepada seluruh bank, misalnya dengan adanya surat pendaftaran dari KPU. Supaya bisa diakses rekeningnya oleh Bawaslu dan Panwaslu gitu. Jadi rekeningnya diumumkan, seperti Pilpreslah. Kami merekomendasikan kepaÂda KPU untuk membuat aturan mengenai dana kampanye itu lebih jelas, dipakai sistem
namÂing and shaming. ***
BERITA TERKAIT: