Masyarakat yang memilih 'tidak setuju’ terhadap calon tunggal berpotensi akan menÂjadi korban diskriminatif keÂtika pilkada dengan satu pasang calon itu memasuki masa kamÂpanye. Si calon tunggal jelas-jelas memiliki kesempatan untuk berkampanye menjajakan diÂrinya, lantas bagaimana dengan masyarakat yang 'tidak setuju' dengan calon yang ada?
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengusulkan, agar masyarakat yang memilih 'tidak setuju' juga diperbolehkan kamÂpanye untuk menyatakan menoÂlak calon tunggal. Hal itu, menuÂrut Refly, merupakan wujud dari pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama alias equal treatment dan equal opportunity kepada kontestan pilkada.
Usulan ini mengacu pada Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menÂjelaskan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota (Kepala Daerah) masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. "Artinya, tidak boleh ada penekanan atau pemÂbungkaman masyarakat untuk berekspresi, baik mendukung maupun menolak calon tungÂgal," tambah dia.
Namun di sisi lain bisa saja kesempatan kampanye bagi warga yang 'tidak setuju' itu menjadi ajang kampanye hitam untuk menyerang calon tungÂgal. Lantas bagaimana Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyikapi konsekuensi teknis dari keputusan Mahkamah Konstitusi ini, simak wawancara
Rakyat Merdeka dengan Ketua Bawaslu Muhammad berikut ini;
Bagaimana Anda menyikapi usulan agar pemilih yang 'tidak setuju' dengan calon tunggal juga diberi kesempaÂtan kampanye di pilkada yang hanya diikuti calon tunggal? Saya kira, kampanye itu daÂlam pengertian hukum positif hakikatnya adalah penyampaÂian visi-misi program untuk pendidikan politik, yang diatur ya yang positifnya. Jadi jangan sampai ada pihak-pihak yang mau mencoba keluar dari makna kampanye itu. Kalau ada, ya harusnya diatur.
Jadi menurut Anda kampaÂnye pemilih yang 'tidak setuju' itu masuk dalam kategori kampanye hitam? Itu kampanye hitam saya kira. Karena mencoba melemahkan (calon tunggal), ya (menebarÂkan) sisi-sisi negatif dari calon tunggal tentu tidak dibenarkan. Siapa pun pelakunya.
Tapi nanti apakah tidak aneh jika calon tunggal cuma kampanye sendirian, tidak ada pembandingnya? Pembandingnya adalah, kaÂlau misalnya dia incumbent bisa saja masyarakat sipil itu memberikan penilaian terhadap apa yang dikerjakan selama ini. Tapi berbasis data fakta, bukan berbasis opini.
Tujuannya supaya memÂberikan informasi ke publik apa yang sudah dilakukan. Itu bisa saja. Jadi tidak masuk daÂlam kampanye hitam, karena memberikan informasi kepada masyarakat. Tapi sekali lagi basisnya adalah data yang bisa dipertanggungjawabkan.
Bagaimana jika kampanye hitam dilakukan melalui sosial media dengan menggunakan akun anonim? Kita kerja sama dengan poliÂsi kok. Ada Undang-Undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) kan untuk menangÂkap itu. Dan polisi sudah punya mekanisme bagaimana mengejar atau melacak akun-akun yang seperti itu.
Apa rekomendasi Banwaslu pascaputusan MK ini? Kita sudah melakukan rapat dengan KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) bahwa (putusan MK) itu semangat kita supaya bisa ikut di 2015 ini. Itu sudah menjadi hasil dari rapat koordinasi kita pekan kemarin.
Menurut Anda pilihan 'setuju' dan 'tidak setuju' dalam calon tunggal itu apa sudah tepat? Saya kira, kita mesti mengÂhargai putusan MK. Tinggal membuat peraturan teknis terkait putusan MKitu.
Bagaimana jika seandainya terjadi penundaan Pilkada, dan putusan tersebut tidak bisa terlaksana karena mepetÂnya waktu. Apa ini bisa masuk dalam kategori pelanggaran pilkada? Nggak lah. MK kan juga tidak mengatakan harus 2015. Cuma pesan tersiratnya seperti itu, ndak ada kalimat di amar putusan nomor 100 itu bahwa KPU wajib melaksanakan di 2015. Tapi kita menangkap ada pesan positif sebaiknya diikutÂkan untuk memberikan solusi tehadap calon tunggal itu. Saya kira Insya Allah masih cukup kok waktu. Kita optimis bisa diatur secara teknis.
Ada dugaan yang menyebutÂkan karut-marut peraturan KPU terkait teknis penyelengÂgaraan pilkada serentak ini disÂengaja, by design. Tujuannya untuk menggagalkan Pilkada serentak dan kemudian mau tidak mau daerah-daerah tersebut menunjuk Plt-plt kepala daerah. Apa anda menÂcium indikasi ke arah itu? Saya kira nggak lah. Kita tidak melihat itu, kita optimis kok. Karena kita selama ini selalu rapat dengan KPU. KPU punya itikad baik pada Pemerintah untuk benar-benar bisa dilakÂsanakan di 2015.
Saat ini bagaimana koordiÂnasi Bawaslu dengan PPATK untuk mengantisipasi adanya aliran dana dari pengusaha hitam kepada calon kepala daerah? Kalau yang terdeteksi, PPATK(Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) pasti meÂnyampaikan laporan ke pengaÂwas pemilu untuk ditindaklanjuti. Tetapi biasanya transaksi seperti itu tidak terekam dalam sebuah transaksi elektronik perbankan. Ya bukan rahasialah, tentu dia tidak mungkin memasukkan transaksinya di situ. ***
BERITA TERKAIT: