Pada sidang tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menghadirkan saksi dari PT Wijaya Karya (Wika), Mulyana. Dari keterangan saksi ini dikeÂtahui, ada kongkalikong antara PT Wika dengan PT Duta Graha Indah (DGI).
Pengakuan tersebut disampaiÂkan Mulyana saat dicecar Hakim Ketua Sutio Jumagi Akhirno tentang penawaran harga yang diserahkan PT Wika, dalam mengikuti proses tender proyek Wisma Atlet. "Untuk harga penawaran, disiapkan sendiri PT WK?" tanya Sutio.
Mendengar pertanyaan terseÂbut, Mulyana enggan menÂgungkapkan langsung bahwa harga penawaran itu, dibuat berdasarkan dokumen yang disÂerahkan PT DGI yang kini telah berganti nama menjadi PT Nusa Konstruksi Engineering (NKE). Dia mengaku tak mengetahui soal pertanyaan Sutio itu.
"Waktu itu saya tidak tahu persis. Pendaftaran tender, prÂakualifikasi, hingga penawaran, ikut Pak," ujar Mulyana.
Mendengar jawaban itu, Sutio membacakan berita acara pemerÂiksaan (BAP) Mulyana ketika diperiksa penyidik KPK sebagai saksi. Dalam BAP itu, Mulyana mengaku pernah bertemu denÂgan Muhamad El Idris, selaku Manajer Pemasaran PT DGI.
"Kenal sama El Idris? Pernah bertemu? Kalau di BAP saudara, di poin 7 disebutkan, saat itu El Idris menyampaikan ke saya, bahwa PT DGI yang akan melakÂsanakan proyeknya," kutip Sutio.
Mulyana tidak bisa mengelak. Dia lantas membeberkan apa saja yang dibahas dengan El Idris. Menurut Mulyana, saat itu El Idris mengatakan bahwa proyek tersebut sudah diatur pemenangÂnya, yakni PT DGI. Selain itu, El Idris juga meminta PT Wika menjadi pendamping PT DGI.
"Kenal El Idris, pernah datang, dia minta bantuan agar PT Wika mendukung PT DGI ikut tender Wisma Atlet, sebagai pendampÂing," cerita Mulyana.
Mulyana kemudian mengÂutip pernyataan El Idris, bahwa proyek ini sudah ada yang menÂgatur. "Beliau sebut nama ibu Rosa Mindo Manulang. Saat itu yang kami ketahui, Rosa utusan pejabat, sangat kuat. Menurut Idris, pejabat itu adalah Nazaruddin," cerita Mulyana.
Sutio lantas bertanya soal harga penawaran yang diberiÂkan PT Wika kepada panitia proyek Wisma Atlet Palembang. "Mengenai harga penawaran, yang bikin siapa? Apa ada komuÂnikasi lagi dengan PT DGI? Data harga dari PT DGI?" cecarnya.
Mendengar cecaran hakim, baÂrulah Mulyana mau mengungkapÂkan gamblang, bahwa PT Wika memasang harga lebih tinggi supaya PT DGI menang. "Saat itu tugas kami menyiapkan adminisÂtrasi teknis. Betul, data harga dari PT DGI," kata Mulyana.
Saksi lain yang dihadirkan JPU juga mengakui hal yang sama. Adalah bekas Manajer Pemasaran PT Waskita Karya, Yudhi Dharmawan yang memÂberikan kesaksian serupa. Menurutnya, dalam mengikuti proses tender proyek, dokumen yang dibuat sendiri oleh PT Waskita hanya teknis adminÂistrasi. Sedangkan penawaran harga PT Waskita mengikuti patokan harga PT DGI.
"Kalau teknik dan adminÂistrasi kita yang bikin. Untuk harga waktu itu ada permintaan dari PT DGI," ucap Yudhi di depan Majelis Hakim.
Mendengar jawaban itu, Sutio kembali menanyakan ihwal penawaran harga. Yudhi menÂgatakan, saat itu PT Waskita diminta untuk menawarkan harga yang lebih tinggi dari yang ditawarkan PT DGI.
Menurut Yudhi, hal itu dilakukan agar PT DGI bisa mendapatkan proyek pembangunan Wisma Atlet Palembang. "Untuk membantu memberikan penawaran harga lebih tinggi," jelas Yudhi.
Seperti diketahui, dalam kasus korupsi pembangunan Wisma Atlet SEAGames 2011 Jakabaring, Palembang ini, PT DGI terbukti bekerja sama seÂcara tidak sehat dengan pihak Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), dalam hal ini Sekretaris Menpora Wafid Muharam, termasuk dengan Ketua Komite Pembangunan Wisma Atlet Rizal Abdullah.
Supaya mendapatkan proyek tersebut, PT DGI memberikan fee terhadap pihak terkait sepÂerti, Wafid, Rizal dan beberapa panitia pengadaan lainnya.
Beberapa pihak PT DGI yang telah terbukti bersalah adalah Muhammad El Idris. Dia divonis hukuman pidana penjara selama dua tahun serta denda sebesar Rp 200 juta oleh Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
Rizal Abdullah didakwa berÂsama-sama melakukan tindak pidana korupsi dalam pembanÂgunan Wisma Atlet SEAGames dan Gedung Serbaguna Provinsi Sumatera Selatan tahun angÂgaran 2010-2011. Rizal selaku Ketua Komite Pembangunan Wisma Atlet didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp 54,7 miliar.
Kilas Balik
Gubernur Alex Jadi Saksi Untuk Bawahannya
Guna mengorek keterangan seputar kasus korupsi proyek Wisma Atlet Palembang, JPU KPK menghadirkan Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin sebagai saksi.
Alex Noerdin mengaku tahu soal fee sebesar 2,5 persen untuknya dalam proyek ini. Namun, dia membantah pernah mengantonginya. "Tidak pernah Yang Mulia. Saya sudah berÂsumpah, demi Allah," ujarnya kepada majelis hakim saat berÂsaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (31/8).
Dalam sidang itu, Alex hadir sebagai saksi untuk terdakwa bekas Kepala Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya Sumsel, Rizal Abdullah.
Selain Alex, hadir pula enam saksi lain, yakni, Hanafiah (Dosen Universitas Sriwijaya), Aminudin (Asisten Perencanaan Komite Pembangunan Wisma Atlet), Paul Iwo (Konsultan Khusus Kemenpora), Musni Wijaya (Anggota Komite Pembangunan Wisma Atlet), Arifin (Anggota Komite Pembangunan Wisma Atlet), dan Muhaimin (Staf PT Duta Graha Indah).
Pada awal sidang, Ketua Majelis Hakim Sutio Jumagi Akhirno menyoroti dugaan pemÂberian fee kepada Alex. Namun, bekas calon Gubernur DKI Jakarta itu menjelaskan, dirinya tahu kabar tersebut hanya dari media massa. "Mengetahui. Dari media, dari koran," ucapnya.
Dia mengaku tidak pernah berpikir untuk memperoleh fee. Baginya, mendapatkan bantuan tiga blok bangunan Wisma Atlet dan satu gedung serbaguna dari pemerintah pusat pun sudah sangat bersyukur. "Karena banÂgunan itu pasti menjadi milik pemerintah provinsi setelah selesai," imbuhnya.
Masalah fee untuk panitia daerah juga ditanyakan hakim kepada saksi Hanafiah, dosen Universitas Sriwijaya selaku pihak awal yang mendesain Wisma Atlet. Dia lantas mengaku pernah menerima pembaÂyaran sebesar Rp 200 juta dari Aminuddin, Anggota Komite Pembangunan Wisma Atlet (KPWA).
"Saya tanyakan, apakah untuk honor atau desain. Kalau untuk honor kebesaran, tapi kalau unÂtuk desain kekecilan," katanya.
Hanafiah kemudian mengaku telah mengembalikan uang terseÂbut kepada Aminuddin dengan cara transfer.
Sementara Aminuddin terang-terangan mengakui menerima fee dari PT Duta Graha Indah (DGI). Ia menerima uang terseÂbut dalam tiga tahap. "Pertama 20 juta rupiah, 30, dan 100. Saya tidak tahu untuk apa," ujarnya.
Belakangan, setelah kasus Wisma Atlet mencuat, Aminuddin menyerahkan uang fee itu kepada KPK.
Kasus ini merupakan pengemÂbangan kasus Wisma Atlet Jakabaring dengan tersangka awal, bekas Bendahara Umum Partai Demokrat, M Nazaruddin. Nazar saat itu mengeruk uang dari proyek Wisma Atlet dengan memenangkan perusahaannya, PT DGI sebagai penggarap proyek.
Nazar pun pernah menyebut Alex Noerdin menerima fee 2,5 persen dari proyek tersebut. Nilai fee yang diterima politikus Partai Golkar itu, menurutnya, kurang lebih Rp 1 miliar.
Dalam perkara ini, Kepala Dinas PU Sumsel Rizal Abdullah didakwa memperkaya diri sendÂiri atau orang lain, atau suatu korporasi, dalam proyek yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 54,7 miliar.
Dugaan Lelang Kongkalikong Perlu DidalamiOce Madril, Peneliti Pukat UGM
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Oce Madril meminta KPK mengusut tuntas perkara korupsi proyek Wisma Atlet Jakabaring, Palembang.
Menurutnya, langkah terseÂbut bisa dilakukan KPK denÂgan menelisik dugaan kongÂkalikong antara PT Duta Graha Indah (DGI) yang berubah naÂma menjadi PT Nusa Kontruksi Engineering (PT NKE) dengan beberapa perusahaan lain yang mengikuti tender proyek ini.
"Kalau sudah terbongkar ada kongkalikong di dalam proyek tersebut, maka KPK wajib mendalami pelaku lainnya," sebut Oce.
Oce menambahkan, sebuah korporasi bisa saja dilibatkan dalam tindak pidana. Apalagi, perusahaan itu diduga memÂpengaruhi perusahaan lain agar mengalah dalam persaingan tender.
Disebutkan Oce, salah satu yang bisa digunakan untuk menjerat korporasi adalah pasal pencucian uang (TPPU). Dimana bisa digunakan untuk menjerat PT DGI. "Korporasi dan pengendali korporasi mesÂti ikut bertanggung jawab," ujarnya.
Oleh karenanya, kata Oce, saat ini tinggal menunggu baÂgaimana sikap KPK terhadap kelanjutan perkara tersebut. "PT DGI disebut mengendaÂlikan peserta tender dan ada dugaan bagi-bagi uang proyek. Maka, pasal TPPU bisa diguÂnakan untuk menemukan siapa pihak yang paling bertangÂgungjawab."
Oce pun yakin, jika pasal tersebut digunakan, akan ada banyak nama yang terjerat TPPU apabila KPK memiliki komitmen untuk melakukan hal itu.
Keterangan Nazar Banyak Yang Benar Martin Hutabarat, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Martin Hutabarat meminta KPK segera menuntaskan perkara korupsi proyek Wisma Atlet Palembang.
Menurutnya, penyidik KPK perlu menelisik dugaan penÂerimaan fee dari PT Duta Graha Indonesia (DGI), selain ke Kepala Dinas Pekerjaan Umum Sumsel Rizal Abdullah yang merupakan Ketua Komite Pembangunan Wisma Atlet. "Kasus ini mesti terus dikemÂbangkan, jangan berhenti di Rizal Abdullah," katanya.
Martin menambahkan, KPK harus fokus pada pengembanÂgan kasus ini ke arah penerima fee dari PT DGI sebagai peÂmenang tender. Sebab, menuÂrutnya, pemilik perusahaan Permai Grup, Nazaruddin pernah menyebut soal bagi-bagi uang jika PT DGI berhasil mendapatkan proyek.
Selain itu, menurut Martin, proyek-proyek besar yang disÂebut Nazaruddin, diduga juga melibatkan peran oknum-okÂnum anggota DPR. "Sejumlah proyek besar adalah bancakan anggota DPR," tegasnya.
Martin mengingatkan, ketÂerangan yang pernah disamÂpaikan Nazaruddin tidak boleh dianggap KPK sebagai angin lalu. "Karena banyak juga yang disampaikan Nazaruddin benar," ucapnya.
Jadi, menurutnya, KPK perlu menggunakan prinsip mengiÂkuti aliran uang untuk memuÂdahkan penyidikan. "Kalau mau membuktikan keterlibatan siapapun, maka pakai pasal money laundry biar cepat ditangkap siapa saja penikmat uangnya," tutup dia. ***
BERITA TERKAIT: