"Nggak jadi persoalan administrasi kelembagaannya. Tetap SD, SMP atau SMA. Tapi kita di Purwakarta, orang Sunda harus menyebut sekolah dengan Padepokan atau Paguron," ujar Dedi saat membuka pawai Egrang yang diikuti ribuan pelajar di Purwakarta, seperti dikutip dari
RMOLJabar Minggu malam.
Kata orang nomor satu di Purwakarta ini, makna yang tersirat dalam penyebutan ini bisa mempengaruhi pikiran orang tentang sekolah yang memang selama ini terkesan formal.
"Padepokan atau Paguron lebih menggambarkan sekolah sebagai sebuah tempat untuk menimba ilmu dengan berbagai tempaan hidup, kedisiplinan dan penyucian diri di dalamnya," tuturnya.
Orang Sunda, tambah Dedi, sejak dulu sudah mengenal paguron (perguruan) atau padepokan sebagai tempat penyucian diri, tempat sakral bagi mereka yang berniat mencari ilmu, baik bela diri atau ilmu agama.
Namun demikian, menurutnya bukan sekedar mengganti sekolah saja. Di dalamnya Dedi mengaku banyak mengadopsi pembelajaran padepokan dan paguron seperti salah satunya masuk kelas lebih pagi. "Agar anak terbiasa bangun pagi yang mengubah pola tidur, makan dan belajarnya," ujar dia.
Warga Purwakarta harus berani melawan kebiasan tersebut. "Karena ke depan kita akan menghadapi perasaingan secara global. Kita akan melawan bangsa Amerika, Eropa, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan negara lainnya," ungkapnya. Kalau tidak dibiasakan, tambah Dedi, masyarakat Purwakarta hanya akan jadi penonton.
"Maka dari itu egrang harus dijadikan filosofis kalau bangsa kita mampu berdiri sendiri secara mandiri dalam arti lain bahwa bangsa kita harus mampu berdiri dengan bangsa sendiri tanpa harus takut melawan bangsa lainnya," tandasnya.
[zul]
BERITA TERKAIT: