WAWANCARA

Anies Baswedan: Copot Kepala Sekolah yang Membiarkan Perpeloncoan & Kekerasan Terhadap Siswa

Minggu, 09 Agustus 2015, 08:42 WIB
Anies Baswedan: Copot Kepala Sekolah yang Membiarkan Perpeloncoan & Kekerasan Terhadap Siswa
Anies Baswedan/net
rmol news logo Peraturan Menteri Pendidikan Dasar Menengah dan Kebudayaan Nomor 55 tahun 2014 telah mengatur laran­gan kegiatan yang menjurus pada praktik perpeloncoan dan kekerasan pada siswa.

Bahkan Menteri Pendidikan Dasar Menengah dan Kebudayaan Anies Baswedan telah mengirimkan surat edaran kepa­da seluruh gubernur dan bupati/walikota untuk mengantisipasi hal itu.

Namun kenapa Masa Orientasi Siswa (MOS) masih saja diwar­nai praktik perpeloncoan aksi dan menelan korban jiwa?

"Ini karena didasarkan pada kebiasaan, bukan pada pera­turan. Kita semua tahu, bahwa di perempatan ada lampu merah, kalau merah berhenti, kalau hijau jalan. Nah karena sudah ada kebiasaan saat lampu merah jalan terus, ketika sekali diter­apkan, masih banyak motor yang merasa boleh. Nah di situ analog­inya," jelas Anies Baswedan kepada Rakyat Merdeka, ketika ditemui di ruang kerjanya, Jumat (7/8) lalu. Berikut kutipan seleng­kapnya:

Apa maksud Anda?
Kita ada sekitar 39.000 SMA/ SMK. Mayoritas sudah tahu ka­lau lampu merah, berhenti. Tapi masih banyak yang menganggap boleh (menerobos). Karena ban­yak yang belum sadar bahwa ini adalah salah.

Apa tidak ada sanksi tegas jika tetap melakukan pelanggaran?

Karena itu kita akan beri­kan tindak disiplin. Supaya tak berulang. Resep mujarab sebuah pelanggaran itu berkelanjutan adalah biarkan. Jika Anda ingin pelanggaran itu berkelanjutan, diamkan. Tapi bila ingin berhen­ti, maka ditindak. Tindakannya harus menjerakan.

Sudah ada tindakan yang menjerakan diambil terkait hal ini?
Kalau saja sekolah itu aparat Kemdikbud, saya sudah diber­hentikan dari kemarin-kemarin. Tapi mereka aparat Pemda, bukan pegawai saya.

Jadi apa dong yang bisa dilakukan kalau begitu?

Dari awal saya mengirimkan pesan kepada Kepala Daerah. Ingat, ini dari tahun-tahun yang dulu sudah terjadi. Karena itu kita minta para kepala daer­ah, melakukan penindakan. Termasuk mencopot kepala sekolah yang membiarkan prak­tik perpeloncoan siswa.

Apa langkah itu cukup am­puh?
Pengalaman kami, kepala dinas itu sudah terbiasa dengankejadian seperti ini. Jadi kaget juga ketika ditegur dari Jakarta. "Oh nggak boleh ya". Nggak boleh. Jadi begitu mereka dite­gur, mereka bergerak. Tapi masalahnya karena mereka tidak pernah ditegur, jadi kaget juga ditegur.

Sebenarnya ketika kita kirim­kan sikap yang tegas, mereka ikut kok. Karena ini bukan se­suatu yang merugikan. Tapi menguntungkan bagi mereka.

Ada yang beralasan, per­peloncoan itu dilakukan untuk menguatkan mental dan ke­mampuan bersosialisasi siswa. Pendapat Anda?
Masih ada banyak cara. Tak harus dengan cara yang punya risiko, dan tak harus dengan cara menghina, melecehkan, merendahkan, apalagi meng­gunakan kekerasan. Karena kita ini adalah bangsa yang beradab. Pancasila menekankan itu. Begitu perpeloncoan, kok hilang itu beradabnya.

Ada yang mengatakan, ini akibat otonomi pendidikan di daerah. Apa ada wacana garis komando itu ditarik lagi ke pusat?
Itu wilayahnya undang-un­dang. Tanggung jawab kita sekarang adalah menjalankan undang-undang. Bila ada DPR mengusulkan itu, kita bahas sama-sama. Tapi saya hari ini tidak ingin justru mau menarik ke pusat. Tapi sekarang saya hanya ingin memastikan, seko­lah menjadi tempat yang aman untuk semua.

Secara pribadi, setuju tidak (sekolah ditarik ke pusat)?
Kita diskusikan saja nanti. Karena semua selalu ada plus minus nya. Tapi negara yang bhinneka, kebijakannya biasan­ya asimetrik, tidak simetris sama di semua tempat. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA