WAWANCARA

Gayus Lumbuun: Salah Kaprah, Hakim Agung Kok Gugat Kewenangan Komisi Yudisial

Rabu, 10 Juni 2015, 08:55 WIB
Gayus Lumbuun: Salah Kaprah, Hakim Agung Kok Gugat Kewenangan Komisi Yudisial
Gayus Lumbuun/net
rmol news logo Langkah sejumlah hakim agung yang meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus kewenangan Komisi Yudisial (KY) dalam menyeleksi hakim, itu salah kaprah.

Gugatan sejumlah hakim agung yang bergabung dalam Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) itu berdampak negatif karenarekrutmen hakim menjadi mandek, sehingga sejumlah pengadilan kekurangan hakim.

Makanya banyak pihak meng­kritik gugatan tersebut, termasuk hakim agung Gayus Lumbuun. Menurutnya, apa yang dilakukan rekan-rekannya itu janggal dan salah kaprah. Apalagi jika men­gatasnamakan Ikahi.

"Tidak ada alasan bagi hakim-hakim ini untuk melakukan judi­cial review. Ini tidak rasional," kata Gayus Lumbuun kepada Rakyat Merdeka, Senin (8/6).

Berikut kutipan selengkap­nya:

Kenapa Anda tidak sependa­pat dengan langkah sejumlah hakim agung itu?
Mengujikan uji materi itu kan tentu ada dasar dan motivasinya. Hal itu jelas melanggar beberapa ketentuan. Kalau kita perhatikan blue print Mahkamah Agung 2010-2035 itu tentu bertentan­gan isinya.

Dalam blue print sudah jelas disebutkan MA segera memben­tuk Tim Bersama antara KY dan MA dalam melakukan seleksi hakim tingkat pertama

Selain itu, berdasarkan un­dang-undang, KY boleh mer­ekrut hakim agung dan terlibat dalam seleksi hakim tingkat pertama.

Bahkan secara konstitusional, KY berperan melakukan penga­wasan terhadap perilaku hakim, dan beberapa kewenangan lain terkait perilaku hakim.

Dasar hukum kewenangan KY itu sudah cukup jelas?
Ya. Kewenangan itu sudah ada undang-undangnya, yaitu Undang-Undang Nomor 49, 50 dan 51 tahun 2009. Dalam undang-undang itu disebutkan, proses seleksi pengangkatan ha­kim pengadilan negeri dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan KY.

Lalu apa alasannya hakim-hakim MA itu menguji untuk dibatalkannya tiga undang-undang itu.

Kalau menurut Anda?
Tidak ada alasan bagi hakim-hakim ini untuk melakukan judicial review. Ini membuat saya dan beberapa teman-teman menilai, hak uji materi terhadap ikut serta KY dalam seleksi hakim sangat tidak rasional. Apalagi Undang-Undang Dasar juga mengatur seperti itu. Kok diuji untuk tidak boleh ikut.

Alasannya, ini akan mem­pengaruhi independensi ha­kim?
Itu sangat tidak logis. Independensi hakim itu terletak pada saat dia itu melakukan fungsi ha­kim dan mengadili, bukan dalam rekrutmen. Di sini kesalahannya. Ini salah kaprah.

Arah independensi hakim itu pada fungsi hakim untuk me­meriksa dan mengadili perkara. Bukan dalam rekrutmen.

Kenapa begitu?
Karena rekrutmen itu tidak ada kaitan dengan hakim-hakim agung. Kaitannya dengan lem­baga MA. Ini juga jadi salah-kaprah. Sebab, tugas hakim agung mengadili.

Kalau MA, bagaimana?
MA tidak mengajukan apa ke­beratannya. Mekanismenya bukan lewat uji materi, tapi sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberi oleh konstitusi. Berarti bukan pribadi-pribadi hakim di Ikahi. Tapi lembaga MA yang keberatan kewenangannya di­campuri KY. Padahal, UU telah mengatur, dan terutama blue print MA 2010-2035 itu. Ditambahkan dalam blue print itu, siapapun yang di MA harus konsisten dengan blue print tersebut.

Adakah upaya untuk menyatu­kan pemahaman tersebut?

Semestinya Ikahi mengajak semua anggotanya. Saya ini mantan ketua Ikahi cabang MA, karena saya baru menyatakan tidak mau dipilih sekitar dua bulan lalu. Tapi saya tidak per­nah diundang mengenai rencana judicial review ini.

Apa itu tidak janggal?
Kejanggalan ini yang menjadi persoalan. Kok tidak dirapatkan di Ikahi. Artinya semua cabang-cabang mestinya diajak bicara. Tapi hanya disampaikan satu arah saja bahwa akan dilakukan uji materi kewenangan KY. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA