Ini juga berlaku bagi para kuasa hukum para terpidana mati. Mereka harus melewati berbagai prosedur untuk bisa menemui kliennya akhir pekan lalu. Sekitar pukul 08.30 sejumlah pengacara itu telah tiba di Dermaga Wijaya Pura. Petugas penjaga dermaga langsung menolak kuasa hukum tersebut menyeberang masuk ke Nusakambangan. Padahal, sehari sebelumnya (5/3) mereka dijanjikan untuk bisa masuk.
Para kuasa hukum itu lalu menghubungi Kepala Kejari (Kajari) Cilacap Eduard Kaban. Kaban meminta menunggu. Tak dapat kapan bisa menyeberang, para kuasa hukum menghubungi Kepala Lapas Besi Yudi Suseno. Namun, Yudi menyrankan kuasa hukum menemui Kajari Cilacap terlebih dulu.
Sekitar pukul 11.00 para kuasa hukum masih berupaya menghubungi sejumlah orang. Akhirnya, setengah jam kemudian, mereka mendapat titik terang. Ada orang yang akan menjemput dari Lapas Besi. Mereka mendapat izin unÂtuk masuk.
Tidak berapa lama, beberapa perwakilan dari Kedubes Australia datang. Perwakilan kedubes itu ikut masuk ke Nusakambangan. Beberapa terpidana mati yang dieksekusi adalah warga negara Australia. Kelompok yang disebut Bali Nine itu tertangkap ketika berusaha menyelundupkan narkoba ke Indonesia.
Petugas Lapas Besi tiba di dermaga. Mereka mengajak para kuasa hukum menyeberang. Menggunakan kapal kayu berÂmesin, dalam sepuluh menit rombongan petugas lapas dan kuasa hukum menginjakkan kaki di pulau yang dipisahkan Selat Segara Anakan tersebut.
Menggunakan dua mobil miÂlik lapas, rombongan meluncur ke Lapas Besi. Hutan semak beÂlukar terlihat di awal perjalanan. Setelah itu tampak kompleks lapas terbuka yang cukup sepi. Sepanjang perjalanan, tidak tamÂpak orang yang hilir mudik.
Setelah melewati beberapa lapas, dalam 15 menit rombongan tiba di Lapas Besi. Posisi Lapas Besi cukup tinggi. Lapas Besi adalah tempat isolasi bagi terpidana mati sebelum dieksekusi. Petugas lapas segera membukakan pintu begitu rombongan tiba.
Tanpa basa-basi mereka memÂinta tamu digeledah. Tidak terkeÂcuali seorang perempuan, yang menjadi perwakilan Kedutaan Besar (Kedubes) Australia. Setelah digeledah, pukul 11.40 rombongan diarahkan ke pos penjaga berukuran sekitar 6 x 3 meter persegi yang berada di tengah lapas. Ruangan tersebut terbagi dua, yaitu satu ruangan keÂcil dan satu ruangan agak besar.
Di ruangan itu tampak tiga sosok lelaki yang sedang duduk. Mereka adalah anggota sindikat Bali Nine, Andrew Chan danMyuran Sukumaran, serta Raheem Agbaje. Ketiganya terÂpidana mati yang masuk daftar eksekusi gelombang kedua.
Andrew memakai topi dan mengenakan kostum sebuah klub basket berwarna hitam dan celana pendek gelap. Di sampingnya, Myuran memakai kaus hijau army dan celana panjang putih. Di hadapan mereka duduk leÂlaki berkulit hitam Raheem yang mengenakan kaus tim nasional Brasil dan bercelana jins.
Andrew dan Myuran sama sekali tidak tampak panik atau gusar. Dengan senyum tipis, keduanya menyambut para kuasa hukum dan perwakilan Kedubes Australia. Keduanya menjabat tangan semua kuasa hukum. Raheem juga tampak sangat tenang. Mukanya menunjukkan bahwa dia sangat siap dengan kondisi apa pun, termasuk ekÂsekusi mati.
Lantaran pos penjaga itu penuh sesak, akhirnya rombonÂgan kedubes dan para terpidana mati pindah ke ruang pembiÂnaan. Jaraknya sekitar 20 meter dari pos jaga. Saat itu Raheem bersama kuasa hukumnya tamÂpak bercengkerama. "Terima kasih sudah datang berkunjung. Pasti sangat sulit dan jauh untuk ke lapas ini," ujar Raheem.
Kuasa hukum Raheem, Utomo Karim mengatakan, ada salam dari kekasih Raheem, Angela. Tidak berapa lama mereka larut dalam pembicaraan. Di ruang lainnya, Andrew dan Myuran sedang mengobrol dengan perÂwakilan Kedubes Australia. Andrew dan Myuran tampak begitu ramah. Sesekali mereka tertawa sangat lepas.
Andrew terlihat begitu riang, sedangkan Myuran tak banyak bicara. Penampilan Andrew yang lengannya dipenuhi tato terlihat seperti seniman. Di tenÂgah pembicaraan, dia membuka topi memperlihatkan rambutnya yang cukup panjang terurai. Dia terlihat sedikit kepanasan dan menggunakan topinya untuk mengipas-kipas.
Tidak berapa lama, tampak seorang perempuan tua berkaÂcamata yang membawa beÂberapa bungkusan plastik besar berwarna putih masuk ke ruÂang pembinaan. Perempuan itu ternyata membagikan nasi dan minuman. "Ini nasi bungkus. Hanya ini yang bisa didapat di sekitar Lapas Besi," ujarnya kepada Andrew dan Myuran.
Langsung saja keduanya menerima nasi bungkus tersebut. Di dalam nasi bungkus itu ada tempe dan sepotong ayam. "Ayo makan," ujar Andrew sambil menaikkan nasi bungkusnya tanda mengajak santap siang.
Dengan lahap mereka memaÂkan nasi bungkus tersebut semÂbari sesekali mengobrol. Myuran yang juga makan nasi bungkus yang sama tampak lebih cepat menghabiskan makanannya. Beberapa saat kemudian Myuran kembali mengambil sebuah nasi bungkus. "Saya mau nambah," ucapnya sembari terkekeh.
Tidak lama kemudian mereka membicarakan hal yang cukup serius. Namun, pembicaraan itu sangat pelan, sehingga tidak terÂdengar meski dari jarak kurang dari 1,5 meter. Seorang rohaniÂwan yang juga berada di tempat yang sama sempat berceletuk kepada sipir yang melewati ruÂangan tersebut. "Saya mau minta dilukis sama mereka. Mereka jago melukis," ujarnya.
Jarum jam menunjuk puÂkul 14.30. Andrew dan Myuran tampak tidak lagi membicaraÂkan sesuatu dengan perwakilan kedubes. Namun, petugas penÂjara tampak sudah bersiap-siap membatasi waktu kunjungan.
Myuran mengatakan sangat senang dipindah ke Lapas Besi. "Sepertinya menyenangkan di siÂni," ungkapnya sembari melamÂbaikan tangan ke Andrew. Salah seorang perwakilan kedubes lalu kembali mengajak ngobrol Andrew.
Saat ditanya soal pesannya keÂpada pemerintah dan masyarakat Indonesia, Myuran langsung mengernyitkan dahi.
"Aku tidak (mau) bicara soal itu," ucapnya.
Sebelum Sidang Diminta Berdoa Dipandu PastorMary Jane Ajukan PKMary Jane Fiesta Veloso, 30, warga Filipina, merupakan satu di antara 10 terpidana mati yang menunggu eksekusi di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Tak seperti terpidana mati lainnya yang dieksekusi pada gelombang dua ini, Mary belum dipindah ke Lapas Besi Nusa Kambangan.
Lapas Besi adalah tempat isolasi sebelum terpidana mati dieksekusi. Mary belum dipÂindah karena masih menjalani sidang peninjauan kembali (PK) kasusnya di Pengadilan Negeri Sleman.
Terpidana mati kasus penyeÂlundupan 2,61 kilogram heroin itu tidak bisa menyembunyikan rasa gelisahnya. Selama sidang lanjutan PK yang digelar di Pengadilan Negeri Sleman, Daerah Istimewa Jogjakarta, akhir pekan lalu, Mary Jane lebih sering tertunduk.
Entah apa yang dipikirkan. Bisa jadi, dia gelisah karena memikirkan hari H eksekusi matinya yang semakin dekat. Sebab, bila pengajuan PK-nya ditolak hakim, eksekusi tinggal menunggu waktu.
Dari wajahnya, terlihat Mary tidak terlalu paham dengan arah sidang yang berlangsung. Sebab, sidang menggunakan bahasa Indonesia, sedangkan terpidana adalah warga Filipina yang tidak pernah belajar baÂhasa Indonesia. Mary mengaku hanya bisa mengerti bahasa Indonesia sedikit-sedikit.
Hal itu juga tampak saat Ketua Majelis Hakim Marliyus SH meminta rohaniwan Pastor Bernhard Kieser memandu Mary untuk berdoa sebelum sidang. Saat itu, terpidana peremÂpuan yang mengenakan kemeja bercorak garis-garis dan celana jins biru tersebut diminta meÂnirukan kata-kata Kieser dalam bahasa Indonesia.
Tetapi, tidak semua kaliÂmat Kieser bisa disimak serta ditirukan dengan baik dan lancar oleh Mary. Hanya, saat Kieser mengatakan, Tuhan, ampunilah kesalahan kami, Mary cukup lancar menirukan lantas terisak.
Saat berdoa pun, dia (Mary) sulit menangkap maknanya. "Dia kesulitan berkomunikasi," ungkap Kieser setelah memberikan keterangan sebagai saksi dalam sidang.
Kejaksaan Agung menyaÂtakan PK tidak bisa mengÂhambat pelaksanaan eksekusi. Sejumlah kalangan menilai para terpidana mati kasus narkoba mengajukan PK agar terÂhindar dari eksekusi. Sejumlah terpidana mati kasus ini telah mengajukan PK, namun ditoÂlak. Mereka pun harus menÂjalani vonis yang dijatuhkan kepada mereka. ***