Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Klub dan Atlet adalah Investor Utama di Olahraga

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/fritz-e-simandjuntak-5'>FRITZ E. SIMANDJUNTAK</a>
OLEH: FRITZ E. SIMANDJUNTAK
  • Jumat, 27 Februari 2015, 10:51 WIB
Klub dan Atlet adalah Investor Utama di Olahraga
MENTERI Pemuda dan Olahraga (Menpora), Imam Nahrawi, memutuskan menunda kick-off ISL 2015. Alasan penundaan adalah karena klub-klub ISL belum memenuhi syarat yang ditetapkan Badan Olahraga Profesioanal Indonesia (BOPI).  Padahal baik Persib Bandung maupun Persipura Jayapura sudah siap melakukan kick off pertandingan perdana kompetisi ISL 2015.

Berdasarkan hasil verifikasi dari BOPI, klub-klub ISL maupun PT Liga Indonesia belum memenuhi persyaratan yang ditentukan menurut standar regulasi FIFA, AFC, maupun UU SKN," kata Menpora Imam Nahrawi.  Di antara hal-hal yang menjadi alasan penundaan adalah sebagian klub belum memiliki kesepakatan dengan pengelola stadion, belum melampirkan bukti pembayaran pajak dan sebagainya.

Akibat penundaan ini, klub-klub dan PT Liga Indonesia pasti mengalami kerugian yang tidak sedikit.  Baik secara materil maupun non materil, termasuk kepercayaan sponsor terhadap kompetisi sepak bola di Indonesia.

Pemerintah sendiri, kecuali di era Soekarno  tahun 1962 saat Indonesia menjadi tuan rumah pesta olahraga Asia, tidak pernah sukses membangun kompetisi yang sukses baik secara finansial maupun untuk peningkatan citra "rebranding" Indonesia dan juga peningkatan wisata asing.

Hampir setiap penyelenggaraan olahraga apakah itu SEA Games, PON, Asian Beach Games selalu mengalami kelambatan dalam proses penyelesaian sarana dan prasarana pertandingan maupun keterlambatan uang saku atlet dan pelatih.  Bahkan dalam beberapa kasus telah berujung pada terjadinya tindak pidana korupsi, seperti PON Riau, Sea Games Palembang, dan proyek Hambalang.

Dalam hal pemusatan latihan nasional kinerja pemerintah, KONI dan KOI juga sangat memprihatinkan.  Pada persiapan kontingen Indonesia menghadapi pesta olahraga SEA Games 2015 misalnya,  tender peralatan latihan dan pertandingan untuk atlet baru digelar bulan Januari 2015. Padahal SEA Games 2015 akan dilangsungkan pada bulan Juni 2015.

Dalam hal uang saku atlet, kita tentu masih peraih medali perak dan perunggu Olimpiade ke-30 London 2012 Triyatno dan Eko Yuli Irawan ternyata belum menerima uang saku pemusatan latihan nasional selama tiga bulan.   Padahal prestasi sudah diukir mereka dengan susah payah di Olimpiade.

Pergantian dana talangan untuk peralatan cabang boling saat menghadapi Asian Games 2014 lalu ternyata tidak dapat dilakukan oleh pemerintah.  Padahal pemerintahlah yang mestinya menyediakan dana tersebut agar atletnya bisa tampil prima di pesta olahraga terbaik tingkat Asia.

Pertanyaan kita adalah, kalau masalah administrasi seperti yang masih dialami oleh klub-klub peserta kompetisi ISL langsung mendapat hukuman penghentian pertandingan oleh BOPI dan Menpora. Apa hukuman yang diberikan apabila kesalahan administrasi termasuk terlambatnya uang saku, uang peralatan untuk dana pemusatan latihan nasional malah dilakukan oleh pemerintah, KONI maupun KOI.  Dan siapakah yang bisa menghukumnya?  Karena pejabat tinggi di KONI dan KOI sendiri masih duduk di sana meskipun telah gagal dalam Olimpiade 2012 dan Asian Games 2014.

Di samping itu fasilitas olahraga di Indonesia, baik untuk latihan maupun pertandingan berkualitas tinggi, masih sangat minim.  Indonesiapun tidak memiliki fasilitas olahraga sebesar Gelora Senayan yang dibangun tahun 1962. Padahal dilihat dari sisi ekonomi, Indonesia sekarang sudah masuk kategori 20 besar dunia dalam bidang perekonomian.  Dan baru-baru ini Bloomberg memperkirakan Indonesia termasuk 5 negara yang mengalami tingkat pertumbuhan paling tinggi di dunia.  Tidakkah Indonesia akan malu, sudah termasuk 20 negara perekonomian terbesar di dunia, tapi tidak mampu membangun stadion termodern di olahraga?

Karena itu kita patut prihatin apabila hingga Asian Games 2018 mendatang selesai, para atlet Indonesa masih belum memiliki pusat latihan nasional termodern.  Yang menjadi prioritas utama pemerintah termasuk pemerintah daerah menghadapi Asian Games 2018 hanya pembangunan infrastruktur transportasi, perumahan atlet, dan fasilitas non olahraga lainnya.

Yang kesemuanya dananya banyak dikucurkan oleh perusahan swasta.  Karena fasilitas tersebut akan memiliki aspek komersial tinggi seusai Asian Games 2018.

Dengan perkataan lain, Asian Games 2018 tidak akan menjadi menjadi momentum kebangkitan olahraga Indonesia, karena lebih menguntungkan dunia usaha dengan bangunan-bangunan di luar kebutuhan olahraga.  Pertanyaannya, sadarkah pemerintah Jokowi mengantisipasi hal ini?  Di manakah revolusi mental pejabat olahraga Indonesia?  Tidak heran apabila baru-baru ini mantan atlet memberikan penilaian rapor merah atau nilai "2" kepada kinerja Menpora.  Karena belum terlihat pekerjaan signifikan yang dilakukan pemerintah, baik untuk peningkatan prestasi maupun kualitas kompetisi menghadapi Ssian Games 2018 yang tinggal 3 tahun lagi.

Mestinya pemerintah menyadari bahwa mendirikan klub atau menjadi atlet adalah sebuah investasi besar dengan resiko yang besar pula. Hanya beberapa gelintir cabang olahraga saja yang saat ini sudah memberikan penghasilan cukup baik untuk atlet yang berprestasi, seperti bulu tangkis, tenis, sepak bola.  Saat masa menjalani kompetisi maupun pemusatan latihan, resiko besar telah diambil baik oleh klub maupun para atlet.  Kalau klub bisa rugi besar apabila pertandingan ditunda, sementara atlet telah mengorbankan masa sekolah, kuliah, pekerjaan dan keluarga.

Apabila kita menggunakan teori kurva "S", maka baik dari sisi persiapan pemusatan latihan maupun penyelenggaran pertandingan olahraga,  posisi Indonesia masih berada di tahap "early stage" atau baru beranjak untuk maju ke atas. Tidak terkecuali pada kompetisi sepakbola ISL.

Sedangkan Danielle Coyle dalam bukunya The Talent Code menyatakan paling tidak dibutuhkan waktu latihan selama 10 ribu jam untuk menjadi atlet dunia seperti Tiger Woods, Serena Williams, Christian Ronaldo, David Beckham atau Lionel Messi.  Itupun harus didukung dengan fasilitas latihan dan pelatih terbaik, serta mengikuti kompetisi yang sangat ketat dan berjenjang.

Selama tahun 2014, baik Lionel Messi maupun Christiano Ronaldo bermain 81 kali untuk pertandingan resmi atas nama klub, dan sekitar 69 kali pertandingan tidak resmi.  Pertanyaannya, berapa kalikah pesepakbola Indonesia mengikuti pertandingan, baik resmi maupun tidak resmi, dalam 1 tahun?

Dari 11 kriteria penilaian kompetisi sepak bola oleh AFC terhadap ISL, ada 3 komponen penilaian yang dianggap AFC masih buruk.  Yaitu kondisi stadion, aspek pengembangan bisnis dan kualitas teknis kompetisi tersebut.  Sementara AFC menilai aspek suporter, dukungan media, organisasi pertandingan merupakan kekuatan utama kompetisi ISL.  Dengan perbaikan di tiga aspek kelemahan tersebut, AFC menilai kompetisi sepak bola Indonesia bisa kembali menjadi salah satu kompetisi terbaik di Asia dengan nilai bisnis yang tinggi.

Karena itu mestinya pemerintah memberikan insentif atau pemanis bagi klub atau atlet yang mau membangun prestasi olahraga di Indonesia.  Pembangunan stadion olahraga berfasilitas modern harus digenjot habis-habisan oleh pemerintah pusat dan derah.  Aspek bisnis perlu diberi peluang lebih besar, dengan memberikan keringanan pajak bagi investor klub, atau kemudahan lainnya.  Mudah-mudahan pejabat olahraga di negeri ini bisa melakukan transformasi dirinya sebagai Ekonom Olahraga bukan hanya menjadi Birokrat Politisi di Olahraga. Bermimpikah saya? Mudah-mudahan tidak.[***]

Penulis adalah Sosiolog, dan tinggal di Jakarta

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA