Optimalisasi peran Tim Asesmen Terpadu (TAT) mau tidak mau perlu diwujudkan,’’ teÂgas bekas Kepala Pelaksana HaÂrian BaÂdan Narkotika NaÂsional (KaÂlakhar-BNN) Komjen (Purn) Togar M Sianipar, keÂpaÂda
RakÂyat MerÂdeka di JaÂkarta, Selasa (9/12).
Walaupun dinilai sebagai maÂsaÂlah politis, lanjut Wakil Ketua Umum Persatuan Purnawirawan (PP -Polri) itu, janganlah kiranya memÂÂbuat BNN berpasrah diri unÂtuk tiÂdak memperjuangkan deÂngÂan giÂgih eksekusi para terÂpidana mati kasus narÂkotika yang sudah memÂÂpunyai keÂkuatÂan hukum teÂtap atau
inkrach.Selama hukuman mati masih dicantumkan dalam hukum poÂsitif di Indonesia, tidak ada alasÂan untuk menjadikan hal itu seÂbagai kontroversi berkepanjangÂan,’’ papar Togar.
Berikut kutipan selengkapnya:Anda yakin eksekusi mati itu ada efeknya?Saya meyakini, eksekusi hukuÂman mati yang diagendakan KeÂjaÂgung, mampu menimbulkan
deÂterrent effect (efek jera) bagi maÂraknya peÂrÂeÂdaran dan penyalahguÂnaan narÂkotika di Indonesia saat ini dan masa mendatang. MakaÂnya, BNN perlu mempuÂnyai konÂsep jitu agar penerapan ekÂsekusi mati pelaku penyalahÂguÂnaan narkotika tidak salah saÂsaran.
Apalagi, data global saat ini menunjukkan kecenderuÂngan penurunan angka korban dan peÂcandu narkotika. Namun di InÂdoÂnesia angkanya justru meÂnunÂjukÂkan trend kenaikan.
Apa pemicu trend kenaikan angka penyalahgunaan narkoÂtika di Indonesia? Saya selalu mengemukakan beberapa faktor penyebab yang saling berkaitan.
Apa saja itu?Pertama, letak geografis yang tidak jauh dari wilayah
The GolÂden Triangle, The Golden CresÂsent, dan terbukanya hubungan langÂsung dengan wilayah
The Golden Peacock. Kedua, bentuk geografis yang terdiri dari 17.508 pulau, dengan 85.000 kilo meter
Coastline. Ketiga, jumlah penduduk yang besar, terdiri dari generasi muda 40 persen, faktor kemiskinan 17 perÂsen, pengangguran 5,70 perÂsen, lulusan perguruan tinggi yang bekerja hanya 7,49 persen.
Keempat, penegakan hukum yang sangat lemah. Yang sudah
inkrach hukuman mati ada 66 terÂpidana tapi belum satupun yang diekseÂkusi sampai sekarang. KeliÂma, kompleknya masalah sosial.
Dapatkah faktor-faktor itu dijadikan sebagai pembeÂnaran? Sebagian faktor penyebab terÂsebut bersifat alami. Tapi ada juga faktor yang seharusnya daÂpat diÂatasi, asalkan ada kemauan. DeÂngan dana Rp 800 miliar per taÂhun untuk mendukung BNN, maÂka lembaga ini perlu segera meÂlakukan langkah lebih serius. ApaÂlagi di era Pemerintahan JoÂkowi-JK yang lebih menekanÂkan pada pola kerja, kerja, kerja.
Langkah apa yang perlu diambil?Sejak dibentuknya Bakolak InÂpres Nomor 6 Tahun 1971, samÂpai terbentuknya BKNN (Badan Koordinasi Narkotika Nasional) yang kemudian berÂubah menjadi BNN, ungkapan ‘Masalah NarÂkoÂtiÂka di Indonesia semakin memprihatinkan’, meÂruÂpakan ungkapan yang nyaris tak pernah terlewatkan.
Lantas, jargon atau motto ‘InÂdoÂnesia Drug Free Area 2015 dan ‘ASEAN Drug Free Area 2015’ yang dicetuskan 10 tahun lalu, mestinya menjadi target yang harus dicapai.
Motto itu jelas merupakan cara untuk memacu segenap upaya pemerintah agar lebih bersungÂguh-sungguh melaÂkukan upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN).
Apa cara paling strategis untuk mengoptimalkan P4GN?Perlu ada keseimbangan anÂtara upaya pencegahan dan peÂnindaÂkan. Saya melihat, maÂsaÂlah tinÂdaÂÂkan terhadap pecandu dan korÂban penyalagunaan narÂÂkotiÂka, yang menurut Pasal 54 jo 127 UU tentang Narkotika Nomor 35 / 2009 mewajibkan menÂjalani rehaÂbiÂlitasi medis dan reÂhabiliÂtasi soÂsial.
Namun, karena di kalangan korÂÂban dan penyalahgunaan narÂÂÂkotika ternyata juga ada yang seÂkaligus sebagai pengÂedar bahkan produsen, maka tindakan yang diÂlakukan di samÂping memperhatiÂkan aspek sosial (terapi dan rehaÂbilitasi), tentu harus diimbangi deÂngan aspek hukum. ***
BERITA TERKAIT: