Tersangka Kasus Alkes Tunggul Juga Dicurigai Mencuci Uang

Berkas Perkaranya Dilimpahkan Polisi Ke Kejagung

Senin, 13 Oktober 2014, 10:59 WIB
Tersangka Kasus Alkes Tunggul Juga Dicurigai Mencuci Uang
ilustrasi
rmol news logo Polisi menyangka, Tunggul P Sihombing, bekas Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kementerian Kesehatan menyamarkan aset hasil korupsi menggunakan nama orang lain.

Kepolisian pun tidak me­nu­tup kemungkinan, menetapkan status tersangka baru dalam per­kara tindak pidana pencucian uang (TPPU). Hal itu seiring lengkapnya berkas perkara ter­sang­ka korupsi proyek penga­da­an fasilitas pembuatan vaksin flu burung tahun 2008-2010.

Penyidik Bareskrim pun me­lim­pahkan barang bukti, ter­sang­ka dan berkas perkara ke Ke­jak­saan Agung. “Setelah gelar per­kara lengkap, berkas perkara dan semua kelengkapannya sudah di­limpahkan ke Kejagung,” kata Kasubag Operasional Direktorat III Tipikor Bareskrim AKBP Arief Adiharsa.

Dia menyatakan, pengusutan per­kara korupsi untuk tersangka Tunggul sudah selesai. Kini, yang tengah dikembangkan penyidik ialah menginventarisir aset-aset tersangka.

Arief menduga, masih ada hal yang bisa dikembangkan dari aset-aset tersebut. “Tersangka me­nyembunyikan aset hasil ke­jahatannya menggunakan nama orang lain,” katanya.

Atas dugaan tersebut, kepo­li­sian mengagendakan pe­me­rik­sa­an pada orang-orang yang nama­nya dipakai tersangka me­nya­mar­kan aset-aset tersebut.

Menjawab pertanyaan seputar aset apa saja yang disamarkan de­ngan nama orang lain, Arief me­nandaskan, aset tersebut ke­ba­nya­kan berbentuk sertifikat ta­nah. “Total aset berupa sertifikat tanah yang kami sita ada 136. Semuanya dijadikan barang bukti perkara korupsi tersangka,” ucapnya.

Dari ratusan sertifikat tanah tersebut, terdapat nama anggota ke­luarga tersangka yang dijadi­kan sebagai pemilik sah tanah tersebut. Artinya, duga dia, ter­sang­ka membeli tanah meng­gu­na­kan nama anggota keluar­ga­nya. “Diduga, uang yang di­gu­na­kan membeli tanah tersebut di­peroleh tersangka dari hasil ko­rupsi,” ucapnya.

Hanya, Arief belum bersedia membeberkan siapa saja saksi-saksi yang dijadwalkan dimintai keterangan. Dia juga tidak berse­dia membeberkan nama ke­pe­milikan tanah-tanah tersebut, mau­pun lokasinya.

Lagi-lagi, sambungnya, kepe­milikan tanah di berbagai daerah tersebut menimbulkan kecu­ri­ga­an. Oleh sebab itu, penyidik me­rasa perlu untuk me­ngem­bang­kan kasus korupsi alkes ini ke perkara dugaan pencucian uang.

“Dengan kata lain, bisa saja ulah tersangka dalam kasus ini bertambah. Itu tergantung pada alat bukti yang kami kum­pul­kan,” ucap perwira menengah ini.

Proyek flu burung ini, lanjut Arief, anggarannya mencapai Rp 770 miliar. Karena besarnya ang­garan itu, penyidik masih me­ne­lu­suri dugaan keterlibatan pihak lain.

Dia mengakui, penyidikan ka­sus ini di kepolisian terkesan lam­ban. Hal itu dilatari panjangnya koordinasi dengan Kejagung dan KPK yang sama-sama mena­ngani perkara korupsi pengadaan alkes. Tapi, KPK dan Kejagung menangani kasus alkes yang lain.

Di luar itu, kata dia lagi, peng­hitungan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga baru tuntas alias selesai. “Koordinasi dengan KPK, Kejagung dan BPK dila­ku­kan untuk mengumpulkan buk­ti-bukti,” ucapnya.

Menurut Kepala Sub Direk­to­rat V-Direktorat III Tindak Pi­dana Korupsi Bareskrim Kombes Andi Heru, polisi mengembangkan ka­sus ini ke perkara TPPU, me­ngi­ngat adanya temuan berupa trans­fer antar rekening tersangka de­ngan sejumlah pihak.

“Ini masih dikembangkan, ka­rena kejahatan korupsi dan TPPU model ini, tidak mungkin dil­a­kukan tersangka seorang diri,” tandasnya.

Jadi besar kemungkinan, sebut Andi, masih ada orang lain yang di­duga terlibat kasus korupsi pem­bangunan pabrik pembuatan vaksin flu burung terbesar se-Asia Tenggara di Cisarua, Kabu­pa­ten Bandung, Jawa Barat itu.

Kepala Pusat Penerangan dan Hu­kum (Kapuspenkum) Ke­ja­gung Tony T Spontana men­­an­das­kan, kejaksaan pun berupa­ya untuk mempercepat proses pe­nyu­sun berkas dak­wa­an ter­sangka.

Hal tersebut dilatari dugaan ke­terkaitan tersangka dengan per­kara yang pernah ditangani ke­jak­saan. “Prinsipnya, tidak ada ken­dala dalam menyusun berkas dak­waan tersangka,” katanya.

Kilas Balik
Ditahan Polisi Karena Sering Tak Penuhi Panggilan


Bareskrim Polri menahan tersangka kasus korupsi proyek pembangunan pabrik dan alat-alat produksi vaksin flu burung, Tunggul P Sihombing (TPS), Pe­ja­bat Pembuat Komitmen (PPK) Kementerian Kesehatan.

Kepala Sub Direktorat V-Di­rektorat III Tindak Pidana Ko­rup­si Bareskrim Kombes Andi Heru menerangkan, jajarannya me­na­han tersangka Tunggul P Si­hom­bing pada 16 Juni lalu. Penahanan tersangka didasari surat perintah pe­nahanan nomor Han/03/VI 2014. “Tersangka TPS telah dita­han di Rutan Bareskrim,” katanya.

Pada perkara ini, Tunggul ber­tindak selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Proyek Pe­nga­daan Peralatan dan Pembangunan Fasilitas Produksi, Riset dan Alih Teknologi Produksi Vaksin Flu Bu­rung, Direktorat Jenderal Pe­ngendalian Penyakit dan Pe­nye­hatan Lingkungan Kemenkes ta­hun 2008-2010.

Andi mengaku, panjangnya proses penyidikan dan penahanan dipicu lamanya proses peng­hi­tu­ngan kerugian negara yang me­makan waktu dua tahun. Penyidik juga menyimpulkan, selama pe­nyidikan, tersangka TPS tidak kooperatif membantu penyidik menyelesaikan kasus tersebut.

“Dia sering mangkir dari pang­gi­lan penyidik. Beberapa kali, ter­sangka hanya mengirim kuasa hu­kum untuk menemui penyidik de­ngan alasan sedang sakit,” kata Andi.

Begitu penyidik dan tim medis me­meriksa kesehatan tersangka, me­nurut Andi, ternyata TPS se­hat. Hal seperti itu, lanjutnya, tentu mem­buat penyidikan ikut terhambat.

Sekalipun demikian, papar Andi, penyidik tidak mempe­ties­kan kasus ini. Beragam upaya seperti pengumpulan keterangan saksi, dokumen dan bukti-bukti lainnya tetap dilaksanakan untuk melengkapi berkas perkara.

“Begitu penghitungan audit BPK keluar, kita langsung me­na­han TPS yang sudah menyandang status tersangka sejak 2012,” tandasnya. Yang terpenting, lan­jutnya, penyidik berupaya mem­percepat pemberkasan perkara tersangka TPS.

Wakil Direktur III Direktorat Tipikor Bareskrim Kombes Akhmad Wiyagus menam­bah­kan, pada pengusutan kasus ini, penyidik sebelumnya telah m­e­me­riksa puluhan saksi. Sedikit­nya, kata dia, ada 44 saksi yang telah dimintai keterangannya.

Saksi-saksi tersebut adalah, 15 orang berasal dari panitia penga­daan barang dan jasa, 15 orang panitia penerima barang, 11 orang tim teknis dari staf PT Bio Farma, serta tiga saksi berasal dari pe­ru­sa­haan vendor atau re­kanan pe­lak­sana proyek.

“Keterangan saksi-saksi itu su­dah dievaluasi untuk kepen­tingan me­lengkapi berkas per­kara ter­sangka. Di luar itu di­pergunakan un­­tuk me­ngem­bang­kan perkara,” kata bekas pe­nyi­dik KPK ini.

Sampaikan Jika Penanganan Kasus Korupsi Dihentikan
Deding Ishak, Politisi Partai Golkar

Politisi Partai Golkar De­ding Ishak meminta kepolisian lebih serius dalam menangani perkara tindak pidana korupsi.

Hal itu dilakukan mengingat ma­sih minimnya hasil pe­ngung­­kapan kasus korupsi, khu­susnya oleh Bareskrim.

“Pe­­nanganan kasus korupsi oleh kepolisian, khususnya Ba­reskrim, be­la­ka­ngan terlihat sa­ngat minim,” katanya.

Padahal, menurut catatannya, ada beberapa perkara korupsi yang sempat masuk dan dita­ngani kepolisian. Idealnya, se­but dia, penanganan perkara ko­rupsi tersebut disampaikan se­cara terbuka. Sudah se­jauh­mana kemajuan pe­na­nga­na­n­nya, atau justru sudah di­hen­ti­kan penyidikannya.

“Transparansi kemajuan ha­sil penyidikan ini sangat pen­ting. Dari situ masyarakat akan melihat dan memberi penilaian tentang kinerja kepolisian,” tuturnya.

Dia menandaskan, apapun kendala yang menghambat pe­ngusutan perkara korupsi pr­o­yek alat kesehatan (alkes) Ke­menkes, seyogyanya tidak dija­dikan alasan untuk menutup ke­ran atau akses keterbukaan in­for­masi. Justru semestinya, ham­­batan tersebut menjadikan ke­polisian lebih profesional me­nyi­kapi suatu kasus.

Disampaikan, sejauh ini Ko­misi III DPR selaku mitra kerja kepolisian, senantiasa memb­e­ri­kan dukungan untuk kema­juan kepolisian. Jika dukungan optimal tersebut tak diman­faat­kan sebaik-baiknya, praktis du­kungan tersebut akan dievaluasi untuk perbaikan.

“Kita tidak ingin kinerja bu­ruk kepolisian membangkitkan kekecewaan pada masyarakat selaku stake holder Polri,” tu­turnya.

Perlu Koordinasi Dengan KPK Dan Kejagung

Bambang Widodo Umar, Pengajar Ilmu Kepolisian

Dosen Pascasarjana Fakultas Ilmu Kepolisian Universitas In­donesia (UI) Bambang Wi­dodo Umar menilai, kelambanan pengusutan perkara korupsi alat kesehatan (alkes) di kepolisian, idealnya tidak dijadikan pole­mik berkepanjangan.

Alasan perlunya koordinasi de­ngan KPK, Kejaksaan Agung, dan BPK pun perlu di­antisipasi sedini mungkin. “Masuk akal kalau pengusutan perkara ko­rupsi ini memakan waktu hing­ga dua tahun,” bela pensiunan polisi ini.

Persoalannya, pada saat ber­samaan, pengusutan kasus se­rupa juga dilakuan KPK dan Kejaksaan Agung. Otomatis, se­butnya, perlu ada koordinasi secara intensif antar lembaga tersebut.

Hal itu ditujukan untuk me­nghimpun bukti-bukti dan ke­terangan tersangka maupun sak­si-saksi.

“Perlu ada keselarasan antar penyidik dalam meng­him­pun bukti-bukti tersebut. Ini ti­dak bisa dilakukan secara se­ram­pangan,” ujarnya.

Di sisi lain, kata dia, leng­kap­nya berkas perkara kasus ini me­nunjukkan bahwa kepolisian tidak berdiam diri. Menurut dia, ada hasil yang cukup jelas.

Diharapkan, beragam rinta­ngan yang kerap menghalangi proses penyidikan, dapat di­an­tisipasi dengan baik. Dia se­pa­kat apabila kata kunci ke­ber­hasilan dalam menangani kasus ini ialah koordinasi antar lembaga.

“Koordinasi dalam pe­nyi­di­kan itu kelihatannya sepele. Tapi begitu dilaksanakan, me­miliki beragam kendala. Jadi ini perlu waktu dan trik yang khu­sus,” tutur alumni Akademi Ke­po­lisian angkatan 1971 ini. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA