Ketua MPR Sidarto DanusuÂbroto berharap, Presiden SBY menarik RUU Pilkada dari DPR.
“Beliau adalah sosok bapak deÂmokrasi Indonesia. Saya berÂhaÂrap, Pak SBY meninggalkan caÂtatan sejarah demokrasi yang baik, tidak membawa bangsa ini mundur,’’ kata Sidarto DanusuÂbroto kepada
Rakyat Merdeka, Selasa (16/9).
Seperti diketahui, dalam sebuÂah wawancara di
account Suara DeÂmokrat yang diungÂgah di YouTube, Minggu (14/9), SBY belum secara tegas menyatakan sikapnya. Memang SBY meÂnyiratkan menÂdukung pelaksaÂnaan pilkada secara langsung. Tapi tidak seÂcara tegas.
Menurut SBY, rakyat sudah terÂbiasa dengan mekanisme terÂsebut dan sistem itu (pilkada langÂsung) yang memiliki benang meÂrah dengan sistem presidensiÂal yang tengah dijalankannya.
Sidarto Danusubroto selanjutÂnya mengatakan, Presiden SBY bisa menarik usulan RUU PilkaÂda atau menginstruksikan kepada FrakÂsi Partai Demokrat DPR unÂtuk mendukung pilkada langsung.
Berikut kutipan selengkapnya; Jika pemerintah tidak meÂnarik pembahasan RUU PilÂkada, bagaimana?Saya berharap DPR berpikir jernih dan mengambil keputusan secara bijaksana. Jika kebuntuan tak bisa dipecahkan dan nuasa keÂpentingan atau tirani politik terÂliÂhat jelas. Sebaiknya pemÂbaÂhaÂsan RUU itu dilanjutkan paÂda peÂriode mendatang. Jangan samÂpai rakyat merasa kalau pengeÂsahan undang-undang ini dipakÂsakan. Lebih bijak, itu diserahÂkan pada dewan mendatang.
Kenapa?Supaya lebih jernih pemikirÂanÂÂnya. Indonesia pernah meÂngalaÂmi fase pimilihan kepala daerah melalui DPRD dan peÂmilihan langsung oleh rakyat.
Pemilihan langsung oleh rakÂyat sukses menutup ruang oligarÂki dan tirani politik, serta meÂningkatkan partisipasi politik rakyat. Sementara pemilihan keÂpala daerah melalui DPRD, memÂbuka ruang korupsi dan komÂpromi di kalangan elite.
Kalau kita kembalikan kepada DPRD, kepala daerah sekelas Joko Widodo (bekas Walikota SoÂlo), Ridwan Kamil (Walikota BanÂdung), Nurdin Abdullah (Bupati Bantaeng), dan beberapa contoh kepala daerah sekelasnya sulit lahir. Potensi mereka akan tertuÂtup oleh oligarki dan tirani politik.
Sistem pilkada langsung dinilai boros dan sarat praktek politik uang, tanggapan Anda?Masalah pemborosan atau biaÂya mahal bisa kita rampingkan. Banyak hal yang bisa kita hemat, tanpa perlu mengubah sistemÂnya. Di antaranya, pelaksanaan pilÂkaÂda dilakukan secara serenÂtak, atribut kampanye diambil alih oleh KPU, dan anggaran maÂsing-masing calon dibatasi.
Opsi-opsi itu bisa kita pilih unÂtuk memperbaiki pelaksanaan pilÂkada langsung yang berjalan seÂlama ini. Kita tahu ada beberaÂpa hal yang perlu diperbaiki, tapi tiÂdak boleh ‘menarik mundur’ perÂkembangan dan praktek deÂmokrasi di republik ini.
Pilkada langsung banyak meÂlahirkan pemimpin daerah yang dinilai unggul oleh publik. MesÂki mereka calon minoritas, meÂreka mampu memenangkan perÂtaruÂngan dan dukungan rakÂyat. Hal itu sulit kita dapatkan, jika meÂkanismenya dikembaÂlikan keÂpaÂda DPRD.
Bukankah UUD 1945 tak melarang pemilihan kepala daerah lewat DPRD?Betul, Undang-Undang Dasar meÂmang tidak tegas menyataÂkan, peÂmilihan kepala daerah harus diÂlakukan secara langsung, seperti pemilihan presiden dan wakil preÂsiden. Tapi, kita kan bisa meÂnimÂbang mana yang leÂbih demoÂkratis, dipilih langsung oleh rakyat atau melalui parleÂmen di daerah.
Kedua opsi itu ada plus dan miÂÂÂnusnya. Namun, yang terÂbukÂÂti seÂkarang, kepala daerah ungÂgulan lahir dari pemilihan seÂÂcaÂra langÂsung. Kita pernah mengÂgunakan mekanisme peÂmilihan kepala daerah lewat DPRD, tapi saya beÂlum pernah melihat keÂpala daerah unggulÂan lahir dari DPRD.
Selain itu, partisipasi publik akan hilang jika mekanisme itu dikembalikan kepada DPRD. RakÂyat akan kehilangan huÂbuÂngan emosional dengan para peÂmimpinnya, kerena mereka tidak ikut serta dalam pemilihan terÂsebut. Potensi korupsi juga akan semakin besar, karena taÂrik ulur antara parlemen daerah dengan eksekutif diselesaikan di luar rapat.
Apa pertimbangan lainnya, sehingga kepala daerah lebih bagus dipilih langsung?Saya pernah menerima parleÂmen ASEAN muda. Mereka meÂnyampaikan kepada saya, sosok seperti Jokowi nggak mungkin terÂpilih sebagai Presiden di neÂgara mereka. Di Malaysia, SingaÂpura, Thailand, dan negara ASEAN lain, peristiwa itu tidak mungkin terjadi karena kekuasaan politik masih didominasi kalangan elite.
Bahkan, Amerika Serikat meÂnilai keterpilihan Jokowi sebagai sejarah demokrasi dunia. Jokowi adalah anak rakyat biasa yang meÂniti karier sebagai kepala daeÂrah, kemudian dipercaya rakyat menjadi kepala negara, karena prestasi dan kinerjanya.
Dalam pemilihan Jokowi, kita sama-sama melihat adaya parÂtisipasi politik masyarakat, buÂkan mobilisasi. Rakyat datang karena partisipasi. Artinya, baÂnyak perÂkembangan yang harus kita raÂwat. Jangan sampai keÂmajuan ini dilumpuhkan oleh tirani maÂyoÂritas. ***
BERITA TERKAIT: