WAWANCARA

Sidarto Danusubroto: Saya Berharap Pak SBY Meninggalkan Catatan Sejarah Demokrasi Yang Baik

Kamis, 18 September 2014, 08:31 WIB
Sidarto Danusubroto: Saya Berharap Pak SBY Meninggalkan Catatan Sejarah Demokrasi Yang Baik
Sidarto Danusubroto
rmol news logo Kalau tak ada aral melintang, pekan depan DPR akan menentukan nasib Rancangan Undang-undang (RUU) Pilkada, apakah bakal diundangkan atau tidak.

Ketua MPR Sidarto Danusu­broto berharap, Presiden SBY menarik RUU Pilkada dari DPR.

“Beliau adalah sosok bapak de­mokrasi Indonesia. Saya ber­ha­rap, Pak SBY meninggalkan ca­tatan sejarah demokrasi yang baik, tidak membawa bangsa ini mundur,’’ kata Sidarto Danusu­broto kepada Rakyat Merdeka, Selasa (16/9).

Seperti diketahui,  dalam sebu­ah wawancara di account Suara De­mokrat yang diung­gah di YouTube, Minggu (14/9), SBY belum secara tegas menyatakan sikapnya. Memang SBY me­nyiratkan men­dukung pelaksa­naan pilkada secara langsung. Tapi tidak se­cara tegas.

Menurut SBY, rakyat sudah ter­biasa dengan mekanisme ter­sebut dan sistem itu (pilkada lang­sung) yang memiliki benang me­rah dengan sistem presidensi­al yang tengah dijalankannya.

Sidarto Danusubroto selanjut­nya mengatakan, Presiden SBY bisa  menarik usulan RUU Pilka­da atau menginstruksikan kepada Frak­si Partai Demokrat DPR un­tuk mendukung pilkada langsung.

Berikut kutipan selengkapnya;

 
Jika pemerintah tidak me­narik pembahasan RUU Pil­kada, bagaimana?
Saya berharap DPR berpikir jernih dan mengambil keputusan secara bijaksana. Jika kebuntuan tak bisa dipecahkan dan nuasa ke­pentingan atau tirani politik ter­li­hat jelas. Sebaiknya pem­ba­ha­san RUU itu dilanjutkan pa­da pe­riode mendatang. Jangan sam­pai rakyat merasa kalau penge­sahan undang-undang ini dipak­sakan. Lebih bijak, itu diserah­kan pada dewan mendatang.

Kenapa?
Supaya lebih jernih pemikir­an­­nya. Indonesia pernah me­ngala­mi fase pimilihan kepala daerah melalui DPRD dan pe­milihan langsung oleh rakyat.

Pemilihan langsung oleh rak­yat sukses menutup ruang oligar­ki dan tirani politik, serta me­ningkatkan partisipasi politik rakyat. Sementara pemilihan ke­pala daerah melalui DPRD, mem­buka ruang korupsi dan kom­promi di kalangan elite.

Kalau kita kembalikan kepada DPRD, kepala daerah sekelas Joko Widodo (bekas Walikota So­lo), Ridwan Kamil (Walikota Ban­dung), Nurdin Abdullah (Bupati Bantaeng), dan beberapa contoh kepala daerah sekelasnya sulit lahir. Potensi mereka akan tertu­tup oleh oligarki dan tirani politik.

Sistem pilkada langsung dinilai boros dan sarat praktek politik uang, tanggapan Anda?
Masalah pemborosan atau bia­ya mahal bisa kita rampingkan. Banyak hal yang bisa kita hemat, tanpa perlu mengubah sistem­nya. Di antaranya, pelaksanaan pil­ka­da dilakukan secara seren­tak, atribut kampanye diambil alih oleh KPU, dan anggaran ma­sing-masing calon dibatasi.

Opsi-opsi itu bisa kita pilih un­tuk memperbaiki pelaksanaan pil­kada langsung yang berjalan se­lama ini. Kita tahu ada bebera­pa hal yang perlu diperbaiki, tapi ti­dak boleh ‘menarik mundur’ per­kembangan dan praktek de­mokrasi di republik ini.

Pilkada langsung banyak me­lahirkan pemimpin daerah yang dinilai unggul oleh publik. Mes­ki mereka calon minoritas, me­reka mampu memenangkan per­taru­ngan dan dukungan rak­yat. Hal itu sulit kita dapatkan, jika me­kanismenya dikemba­likan ke­pa­da DPRD.

Bukankah UUD 1945 tak melarang pemilihan kepala daerah lewat DPRD?
Betul, Undang-Undang Dasar me­mang tidak tegas menyata­kan, pe­milihan kepala daerah harus di­lakukan secara langsung, seperti pemilihan presiden dan wakil pre­siden. Tapi, kita kan bisa me­nim­bang mana yang le­bih demo­kratis, dipilih langsung oleh rakyat atau melalui parle­men di daerah.

Kedua opsi itu ada plus dan mi­­­nusnya. Namun, yang ter­buk­­ti se­karang, kepala daerah ung­gulan lahir dari pemilihan se­­ca­ra lang­sung. Kita pernah meng­gunakan mekanisme pe­milihan kepala daerah lewat DPRD, tapi saya be­lum pernah melihat ke­pala daerah unggul­an lahir dari DPRD.

Selain itu, partisipasi publik akan hilang jika mekanisme itu dikembalikan kepada DPRD. Rak­yat akan kehilangan hu­bu­ngan emosional dengan para pe­mimpinnya, kerena mereka tidak ikut serta dalam pemilihan ter­sebut. Potensi korupsi juga akan semakin besar, karena ta­rik ulur antara parlemen daerah dengan eksekutif diselesaikan di luar rapat.

Apa pertimbangan lainnya, sehingga kepala daerah lebih bagus dipilih langsung?
Saya pernah menerima parle­men ASEAN muda. Mereka me­nyampaikan kepada saya, sosok seperti Jokowi nggak mungkin ter­pilih sebagai Presiden di ne­gara mereka. Di Malaysia, Singa­pura, Thailand, dan negara ASEAN lain, peristiwa itu tidak mungkin terjadi karena kekuasaan politik masih didominasi kalangan elite.

Bahkan, Amerika Serikat me­nilai keterpilihan Jokowi sebagai sejarah demokrasi dunia. Jokowi adalah anak rakyat biasa yang me­niti karier sebagai kepala dae­rah, kemudian dipercaya rakyat menjadi kepala negara, karena prestasi dan kinerjanya.
 
Dalam pemilihan Jokowi, kita sama-sama melihat adaya par­tisipasi politik masyarakat, bu­kan mobilisasi. Rakyat datang karena partisipasi. Artinya, ba­nyak per­kembangan yang harus kita ra­wat. Jangan sampai ke­majuan ini dilumpuhkan oleh tirani ma­yo­ritas. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA