WAWANCARA

Humphrey Djemat: Fenomena Apa Ini, Kok Lebih Banyak Yang Mengincar Jaksa Agung Ketimbang Menteri

Jumat, 29 Agustus 2014, 09:01 WIB
Humphrey Djemat: Fenomena Apa Ini, Kok Lebih Banyak Yang Mengincar Jaksa Agung Ketimbang Menteri
Humphrey Djemat
rmol news logo Presiden terpilih Jokowi diperkirakan bakal kesulitan untuk memilih figur yang pas menjadi Jaksa Agung.

Sebab, banyak sekali berminat menjadi orang pertama di  kejak­saan itu. Ada yang berasal dari par­tai, kalangan profesional hukum, bekas pejabat, dan orang  yang latarbelakangnya tidak jelas.

Melihat itu, bisa disimpulkan lebih banyak yang berminat men­jadi Jaksa Agung ketimbang men­jadi menteri.   

Demikian disampaikan Ketua Umum Asosiasi Advokat Indone­sia (AAI) Humphrey Djemat ke­pada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.

“Saya mendengar banyak se­kali yang berminat  menjadi Jaksa Agung di pemerintahan Jokowi nanti,’’ papar bekas Juru Bicara Satgas TKI itu.

Berikut kutipan selengkapnya;

Apa informasi yang Anda dapatkan itu akurat?
Ya. Memang banyak yang ber­minat menjadi Jaksa Agung. Ten­tu Tim Transisi  yang lebih me­nge­tahuinya. Sebab, informasi me­ngenai hal tersebut diterima mereka.

Fenomena apa itu, kenapa banyak yang ingin menjadi Jaksa Agung?
Ini memang menjadi perta­nya­an kita bersama. Fenomena apa­kah yang terjadi pada saat ini. Ke­napa lebih banyak orang mengin­car posisi Jaksa Agung ketimbang menteri.

Ada calon Jaksa Agung yang diajukan  jenderal purnawirawan. Bahkan ada yang  diajukan orang yang mempunyai  masalah hu­kum, termasuk HAM, dan  mafia hukum dengan tameng sebagai pengusaha.

Mereka yang selama ini cawe-cawe dan ikut menentukan posisi pejabat tertinggi penegak  hukum di Indonesia itu mensponsori ca­lon Jaksa Agung tersebut.

Ada parpol yang mengaju­kan calon Jaksa Agung, bu­kankah tidak ada kompromi soal itu?
Sudah santer terdengar ada partai politik pendukung Jokowi sejak awal tidak meminta jabatan menteri, asalkan Jaksa Agung orang yang diajukannya. Tentu ada sesuatu yang sangat berharga dari jabatan Jaksa Agung ini.

Apa yang berharga itu?
Pertama, Jaksa Agung bisa memprotek masalah hukum yang menimpa orang tersebut. Kedua, Jaksa Agung bisa jadi alat untuk menekan lawan politiknya atau kompetitor bisnisnya. Ketiga, Jaksa Agung bisa menjadi ATM untuk kepentingan markus peng­u­saha hitam tersebut, seperti diduga terjadi di Polri seperti di­kemukakan Adrianus Meliala. Keempat, ini yang paling berba­ha­ya, Jaksa Agung bisa meng­ham­bat proses penegakan hukum yang dilakukan KPK. Bukan­kah ini yang pernah mau dicoba dilakukan oleh Polri.

Sebagai Ketua Umum AAI, apa yang Anda lakukan?

Sebagai Ketua Umum Advokat di Indonesia, saya telah membi­ca­rakan fenomena tersebut itu dengan kalangan para advokat. Fenomena ini sangat merisaukan dan bisa membuat masyarakat menjadi skeptis dan apatis ter­hadap penegakan hukum yang dilakukan pihak pemerintahan Jokowi nantinya apabila salah memilih Jaksa Agung.

Oleh karena itu para advokat ingin menunjukkan sikap kepe­du­liannya dan ingin mendukung sepenuhnya penegakan hukum di era Jokowi.

Kalau begitu, apa sarannya?    
Pemilihan Jaksa Agung baru harus didasarkan pada track record yang jelas, harus dilihat ke­mampuan dalam hukum pida­nanya.

Bahkan di Belanda, Jaksa Agung adalah ahli hukum pidana yang terpandai di negaranya dan bergelar profesor. Ini dilakukan agar dia mempunyai wibawa se­cara keilmuan dan tentunya me­ma­hami persoalan-persoalan di kejaksaan.

Jangan sampai Jaksa Agung bisa dibohongi atau dikelabui oleh bawahannya. Memang Jaksa Agung tidak mencampuri secara detail setiap perkara yang ada.

Namun secara over-all harus bisa mengikutinya dan menentukan kebijakan yang jelas.

Apa advokat mengetahui siapa mafia hukum itu?

Para Advokat sangat menge­tahui sekali mengenai praktek mafia hukum ini.

Makanya, Jaksa Agung itu ha­rus mempunyai wibawa dan  ke­tegasan setelah komitmen yang kuat untuk memimpin institusi kejaksaan yang cukup besar ini.

Jangan sampai Jaksa Agung di­permainkan oleh bawahannya. Apalagi sering menerima “upeti” dari bawahannya.

Mengingat Pe­merintahan  Jokowi ingin lang­sung tancap gas dalam pemerin­ta­hannya sebagai­mana ditunjuk­kan dengan di­bentuk­nya  Tim Tran­sisi, maka pene­ga­kan hukum harus langsung bisa berjalan.

Bukankah Jaksa Agung itu juga perlu kerja sama dengan pimpinan KPK, ini bagai­mana?
Itu juga tidak kalah pentingnya. Jaksa Agung harus bisa  kerja sama dengan KPK untuk mem­perkuat penegakan hukum di Indonesia.  ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA