â€Sekitar 70 persen perÂdaÂgangan dunia berlangsung di anÂtara negara-negara Asia PaÂsiÂfik. Lebih 75 persen di anÂtaÂranya diperdagangkan melewati laut InÂdonesia. Namun sektor kelautan Indonesia masih tertidur dan kuÂrang mendapat sentuhan,’’ ujar RokhÂmin Dahuri kepada
Rakyat MerÂdeka, di Jakarta, kemarin.
Jika dimaksimalkan, lanjutnya, Indonesia tidak hanya menjadi maÂcan asia. Bahkan bisa meÂnguasai ekonomi kelautan dunia.
â€Saya kira sangat bagus gaÂgasÂan Pak Jokowi soal drone (peÂsaÂwat tanpa awak) yang akan diÂguÂnakan untuk mengamankan keÂlautan kita,’’ paparnya.
Berikut kutipan selengkapnya:Apa realistis gagasan itu?Ya, itu realistis, dan sangat mungÂkin diwujudkan. Ini demi meÂmajukan ekonomi kita. Cita-cita dari Pak Jokowi bukan sekaÂdar menjadi macan asia, tetapi bagaimana menjadikan Indonesia sebagai raksasa ekonomi keÂlautÂan dunia. Sebab, Indonesia meÂruÂÂÂpakan negara kepulauan terÂbeÂsar di dunia dengan luas wilaÂyahÂnya laut.
Nah Pak Jokowi dan Jusuf Kalla sudah menyadari betul konÂstelasi geopolitik dan geoeÂkoÂnoÂmi Indonesia.
Maksudnya?Begini, kita tahu Indonesia seÂlama ini tidak punya daya saing. Itu karena paradigma pemÂbaÂngunÂannya terfokus di darat. Hal itu membuat ongkos produksi kita menjadi yang termahal di dunia. Analisis kami, mahalnya biaya itu disebabkan hampir 100 perÂsen barang ekspor kita tidak bisa langsung dikirim ke luar neÂgeri melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Tapi harus melalui SingaÂpuÂra. Ini tentu menambah biaya.
Selain itu, transportasi barang dalam negeri pun sangat mahal. Contohnya, satu kontainer barang jika dikirim dari Jakarta ke AmÂbon biayanya dua kali lipat lebih maÂhal bila mengirim dari SingaÂpura ke Los Angeles, Amerika SeÂrikat.
Kalau melihat ongkos produksi di seluruh dunia, rata-rata saat ini makÂsimal hanya 10 persen. Tapi Indonesia mencapai 24 persen terÂhadap Produk Domestik Bruto (PDB) karena mahalnya biaya transÂportasi itu.
Apa lagi kerugian yang diÂalami Indonesia di sektor keÂlautÂan?Banyak, seperti masih menÂjaÂmurÂnya aktivitas ilegal di laut. MeÂnurut catatan Badan PemÂbaÂngunan Nasional (Bappenas), setÂiap tahun Indonesia kehilangan miÂnimal Rp 300 triliun akibat penÂcurian ikan, pembalakan liar, penyelundupan, perampokan, dan lain sebagainya.
Bagaimana strategi mengÂanÂtisipasi persoalan ini?Untuk memonitor aktivitas ileÂgal laut, ya seperti disampaikan Pak Jokowi itu. Kita harus mengÂguÂnakan peralatan canggih dan efisien, yakni drone (pesawat maÂta-mata tanpa awak) dan segenap keÂmampuan militer kita.
Sementara dalam hal infraÂstruktur, untuk jangka pendek, upÂgrade dulu pelabuhan-pelaÂbuhÂan utama agar berkelas interÂnaÂsional. Selain meng-upgrade peÂlaÂbuhan, langkah lainnya memÂbaÂngun pelabuhan baru, supaya arus transportasi laut lebih efiÂsien. Di wilayah barat, titiknya di BaÂtam atau Anambas dan SaÂbang. Di wilayah tengah masih dikaji lokasinya.
Sementara di wiÂlayah timur ada tiga yaitu Bitung, Morotai, dan sekitar Biak (Papua) serta di wilayah tenggara (timur selatan) bisa di Tual atau YamÂdena agar lebih efisien deÂngan Australia. Secara garis beÂsar, kita akan memÂbuat seÂmacam saÂbuk kÂeÂmakÂmuran. Dengan adaÂnya peÂlabuhan, akan dibangun kaÂwasan industri terpadu, seÂhingga rantai produksi ekonomi lain ikut bergerak.
Menurut kalkulasi Anda, beÂraÂpa potensi ekonomi sektor maritim kita?Potensi ekonomi sektor keÂlautÂan kita sungguh sangat luar biasa besar. Apalagi seiring berÂgeÂserÂnya pusat kegiatan ekonomi dunia dari poros Atlantik ke poros Asia Pasifik.
Indonesia seÂbeÂnarnya merupakan jantungnya. Sebab, lebih dari 75 persen dari barang yang diperdagangkan ditransportasikan melalui laut, terutama melewati Selat Malaka, Selat Lombok, Selat Makassar dan laut-laut Indonesia lainnya dengan nilai sekitar 1.500 triliun dolar AS setiap tahunnya.
Melihat potensi itu, sudah seÂmestinya Indonesia bukan lagi seÂbagai negara konsumen meÂlainÂkan negara produsen, yakni menÂjual barang dan jasa melalui ranÂtai transportasi global itu. ***
BERITA TERKAIT: