Pramugari pun mendatangi Mita (15) dan Andini alias Fani (16), dua penumpang yang meÂnangis. Tiket keduanya diminta. Pramugari pun menuju kokpit unÂtuk koordinasi dengan pilot.
Sejumlah penumpang termaÂsuk Manado Post dan Malut Post (Grup JPNN) yang duduk tak jauh dari kursi kedua gadis terÂseÂbut berusaha menenangkan.
“Ada yang suruh naik pesawat. Dibilang cuma sampai Makassar baru ada yang jemput untuk terus ke Jayapura,†kata Mita dengan bahasa Manado.
Setelah diinterogasi, Mita dan Fani mengaku mereka dikirim seseorang dari Manado ke JaÂyaÂpura via Makassar. “Saya tidak periksa tiket. Cuma dibilang naik peÂsawat ini,†jelas Mita lagi.
Anehnya, ternyata tiket keÂduaÂnya memang tujuan Jakarta tanpa transit Makassar. Artinya, kedua gadis ini berada pada pesawat yang tepat. Ini menunjukkan bahÂwa si pengirim kedua gadis ini sengaja membelikan tiket dengan tujuan Jakarta. Namun meraÂhaÂsiaÂkannya kepada Mita dan Fani.
Kedua gadis ini sama sekali tak curiga karena sejak di bandara Sam Ratulangi, tiket yang mereka pegang tidak diperiksa sama seÂkali. Saat di bandara, mereka berÂdua diberikan boarding pass dan tiket. Ada orang yang sudah meÂlaÂkukan check in lebih dahulu.
Ketika pramugari kembali memÂbawa tiket dan mengatakan bahÂwa pesawat tidak diizinkan balik ke taxi way, Mita dan Fani seÂmakin panik dan menangis. MeÂreka mengaku sudah ditipu orang yang mengirim mereka. “Saya tidak ada saudara di Jakarta,†Mita sambil terisak.
Malut Post, Manado Post dan beberapa penumpang termasuk Ibu Sonya, seorang wanita yang kemudian diketahui pegawai Pemkab Minahasa, berusaha menenangkan keduanya.
Kami sepakat akan membantu keduanya sesampai di Jakarta. Awalnya, kedua korban akan diÂdampingi Ibu Sonya ke tempat peÂnginapan. Nanti, esoknya, seteÂlah selesai urusan, keduanya akan diurus untuk kembali ke Manado. Tapi, setelah turun dari tangga peÂsawat, Manado Post dan Malut Post kembali interogasi keduanya.
Dari pengakuan keduanya, meÂreka direkrut seorang pria dengan maksud akan dipekerjakan di Jayapura. Tidak jelas apa pekerÂjaan kedua remaja putus sekolah itu. Menurut Mita yang hanya taÂmat kelas 3 SD di salah satu keluÂrahan di Bitung, dia ditawari beÂkerÂja di Jayapura. “Dia bilang mau dipekerjakan di tempat baik-baik dan gaji lumayan,†kata Mita.
Tapi, berapa gaji dan di mana temÂpat kerjanya, keduanya tak diÂberitahu. Kepergian keduanya meÂmang diketahui orang tua maÂsing-maÂsing. “Mama Cuma tahu kita mau kerja di Jayapura,†tambahnya.
Keduanya gadis di bawah umur ini lalu dibuatkan KTP di dua kelurahan yang berbeda di Manado, yakni di Winangun dan Mahakeret Timur. Mita sendiri kaget begitu melihat KTP dirinya. Dari tanggal kelahiran yang terÂtera di KTP, dia disebutkan berÂusia 19 tahun. “Saya baru 15 taÂhun, ditulis 19 tahun,†ujarnya polos.
Menurut dia, sebetulnya yang akan berangkat ada 3 orang. Satu lagi gagal berangkat anak itu menangis.
Mita tergiur dengan tawaran pekÂerjaan karena ingin bantu biaya perawatan ibunya yang saÂkit-sakitan. Sementara Fani yang memang teman sepermainan Mita, dia juga ingin punya uang. Orang yang merekrut Mita meÂningÂgalkan uang Rp 400 ribu keÂpada ibunya sebelum berangkat.
Pengakuan Mita dan Fani seÂmakin memperkuat dugaan kalau mereka korban human trafficking (perdagangan manusia). Kedua korban dikasih sebuah handÂphone lengkap dengan nomor yang di dalamnya sudah ada noÂmor kontak pria dengan identitas tercatat sebagai “papiâ€.
Handphone itu yang memberi petunjuk adanya gelagat menÂcuÂriÂgakan. Setiba di Jakarta, handÂphone yang diberikan kepada Mita dan Fani berdering. PeneÂleponnya papi. Juga ada beberapa panggilan dari nomor tak dikenal.
Kedua gadis meminta tolong kami untuk menyelamatkan meÂreka. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, kami sepakat membawa kedua korban ke pihak berwajib untuk meminta pengamanan.
Langkah itu dilakukan atas araÂhan Kepala Humas Polda SuÂlawesi Utara Ajun Komisaris BeÂsar Wilson Damanik yang diÂhuÂbungi sesaat setelah tiba di BanÂdara Soekarno-Hatta.
Ternyata, setelah memasuki ruang kedatangan, dugaan bahwa akan ada pihak yang menjemput keduanya semakin kuat. Sadar kaÂlau mereka akan dijemput orang tak dikenal, kedua korban semakin panik. Handphone yang diberikan orang yang mengirim kedua gardis berdering.
Namun, saat itu handphone tiÂdak di tangan keduanya, meÂlainÂkan sudah dipegang “tim peÂnyeÂlamat†dadakan yang terdiri dari 4 orang. Handpohe tersebut seÂngaÂja di-silent sehingga tidak akan ketahuan penelepon yang diduga menunggu di area kedatangan.
Telepon pertama yang masuk terbaca identitasnya, yakni “papi†yang diyakini pengirim kedua gadis itu. Karena tidak diangkat, telepon kemudian masuk lagi dengan nomor yang berbeda.
Saat itu, kedua gadis dan “tim penyelamat†sedang menuju pinÂtu keluar ruang kedatangan, beÂberapa pria misterius memasang pandangan kepada kedua gadis.
Mereka juga menaruh handphone di telinganya sambil matanya awas pada setiap penumpang yang menuju pintu keluar.
Pada saat yang bersamaan, handÂphone yang diberikan keÂpada kedua gadis dan dipegang saÂlah satu di antara kami juga terÂhuÂbung dengan nomor tak dikenal.
Suasana agak tegang karena tidak terlihat satu pun peugas di sekitar lokasi.
Sesampai di pintu keÂluar, terlihat seorang petugas seÂkuriti bandara. Namun kami tidak mau mengambil risiko meÂlapor karena kondisi tidak mÂeÂyaÂkinkan. Perasaan panik pun munÂcul di “tim penyelamatâ€.
Namun, dengan cara tersendiri Malut Post mengisyaratkan agar tidak memperlihatkan kepanikan itu. Maklum, penampilan kami sengaja “dipoles†untuk kelihatan seperti petugas.
Akhirnya, skenario penyeÂlaÂmaÂtan yang diputuskan sejak dari ruang pengambilan bagasi, yakni membawa keduanya ke Polres Bandara Soekarno-Hatta.
Namun pihak penjemput yang sudah disiapkan ternyata tidak tinggal diam.
Mereka berusaha mendekati kedua “mangsaâ€. KeÂteÂgangan pun terjadi. Saat keluar dari pintu ruang kedatangan di TerÂminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, tim penyelamat sempat bimÂÂbang. Pasalnya ada orang-orang misterius terus membuntuti.
Awalnya kami ingin membawa kedua gadis ke hotel. “Biar nanti saya tidur dengan dua gadis ini. Nanti kita antar pulang Senin,†kata Ibu Sonya menawarkan diri.
Para tim penyelamat dadakan ini pun berjalan keluar dari TerÂmiÂnal 3. Selama di perjalanan meÂnuÂju tempat parkir, ada bebeÂrapa orang yang mengikuti dari belakang.
Telepon genggam murahan yang diberikan oleh lelaki yang biasa dipanggil papi kepada keÂdua anak gadis itu, terus berÂbuÂnyi. HP itu tidak lagi dipegang keÂdua gadis ini. Tapi sudah diÂamanÂkan Manado Post.
Ketika telepon diangkat, lelaki yang mengaku “papi†dari kedua anak itu, meminta kami tidak ikut campur. Ia meminta kedua anak itu tinggalkan di Terminal 3. Nanti ada yang menjemput.
‘’Kalian jangan ikut campur. Anak-anak itu milik kami. Kami sudah memberikan uang kepada orang tua mereka dan orang tua mereka sudah izinkan. Kami juga sudah membelikan tiket pesawat ke Jakarta. Sudah banyak uang yang kami keluarkan. Tinggalkan saja mereka di airport. Kalau tidak, lihat saja apa yang akan terjadi,’’ ancam lelaki tersebut.
Tim penyelamat dadakan tetap pada keputusan awal, akan membawa kedua anak itu ke hotel kemudian diantar pulang ke Manado. Sempat terpikir untuk melaporkan ke petugas sekuriti bandara. Tetapi†melihat hanya ada 2 orang dan mereka tidak senjata, akhirnya niat dibatalkan. Tim berasumsi bisa jadi sindikat ini memiliki senjata api.
Mita dan Fani, kemudian diÂnaikkan ke mobil carteran Toyota Avanza dan ditempel ketat 4 orang, termasuk Manado Post. KeteÂgangan muncul saat mobil hendak tinggalkan pelataran parkir.
Sebuah mobil mewah Lexus hitam tiba-tiba berhenti dalam keadaan mesin aktif. Jalan keluar mobil kami terhalang. Saat itu nyaris terjadi bentrok. Kami seÂmua diam di dalam mobil. Pintu mobil dikunci.
Sopir Lexus mengaku setir mobilnya tidak bisa digerakkan. Tetapi terlihat ada beberapa pria mulai mendekat. Bersyukur ada beberapa petugas parkir yang cepat mendorong mobil Lexus yang menghalangi jalan keluar.
Saat jalan terbuka dan mobil kami bergerak, mobil yang moÂgok tadi pun menyusul. Saat berÂbelok, sebuah mobil merah juga jalan dan menempel di belakang.
Manado Post awalnya ingin meladeni jika terjadi bentrok fisik. Tetapi khawatir komplotan sindikat perdagangan manusia†ini membawa senjata api, kami tak berhenti.
Dalam perjalanan keluar parÂkir, Manado Post mengÂhuÂbungi KeÂpala Humas Polda Sulut WilÂson Damanik. Saat itu jarum jam sudah menunjukkan pukul 22.30 WIB.
Damanik menyarankan tim penyelamat ini tidak mengambil risiko. ‘’Jangan mengambil risiÂko. Sebaiknya cari kantor polisi terdÂekat,’’ sarannya.
Kami mencari kantor polisi terÂdekat. Kedua mobil terus memÂbuntuti. Mobil kami kemudian masuk ke halaman Polresta BanÂdara Soekarno Hatta. Kedua moÂbil sempat berhenti di depan gerÂbang Polres, kemudian berÂjalan peÂlan meninggalkan Polres.
Tiba Di Manado, Dijemput Wakil Walikota BitungSetiba di Polres Bandara, kami langsung melapor pada peÂtugas. Sekalian meminta poÂlisi menjebak para komplotan ini, dengan menjadikan kedua gadis sebagai umpan. Tetapi poÂlisi mengelak. Alasannya belum ada bukti.
Kami pun meminta bantuan agar kedua korban bisa meÂnginap di kantor polres. Nanti akan dijemput hari Minggu unÂtuk dikembalikan ke Manado. Tetapi polisi menyebutkan di kantor ini tidak ada tempat tidur untuk kedua gadis.
Polisi menyarankan agar keÂdua gadis di bawah saja ke mana saja kami pergi. Namun kami khawatir anggota sindikat kembali mengejar.
Saat sudah di kantor polisi pun pria yang mengirim kedua gadis ini masih berusaha meÂneÂlepon dan meminta untuk keÂmÂbali ke bandara karena sudah ada penjemputnya.
Kami juga membatalkan meÂnginap kedua gadis di hotel deÂkat bandara lantaran tidak ada polisi yang bisa mengawal. SeÂteÂlah berembug lebih dari 1 jam, pihak Polres Bandara mau menerima kedua korban meÂngiÂnap di kantornya.
Merasa kedua gadis sudah aman, kami menuju ke tempat tujuan masing-masing. Esok harinya, Sabtu pagi (31/5) kami memesan tiket Jakarta-Manado untuk kedua gadis. Skenario pemulang pun diatur.
Minggu (1/5) sekira pukul 02.00 dini hari, kedua korban dijemput wartawan Manado Post dan Malut Post di Polres BanÂdara. Sambil menunggu waktu keberangkatan, ternyata handphone kedua korban masih dihubungi orang tak dikenal.
Si penelepon tampaknya ingin mengetahui posisi kedua gaÂdis. Tak berapa lama kemuÂdian, ibu salah satu gadis meÂneÂlepon dari Bitung. Ia memÂbeÂriÂtahukan bahwa sindikat ini akan terus memburu kedua gadis.
“Dia (penelepon) sudah maÂrah-marah sama saya. Saya biÂlang dia sudah menipu saya kaÂrena mengaku anak saya mau dikasih pekerjaan di Jayapura, tapi kenapa dibawa ke JaÂkarÂta,†papar ibu korban mÂeÂniÂruÂkan pemÂbicaraannya dengan penelepon.
Sindikat ini sudah tahu, keÂdua anak gadis akan diÂpuÂlangÂkan ke Manado dengan pesawat Lion Air dalam penerbangan suÂbuh pukul 05.00 WIB. KhaÂwatir dihadang sebelum kebeÂrangkatan pesawat, kami pun meminta polisi mengawal samÂpai di ruang keberangkatan.
Pada Minggu dinihari seÂkitar pukul 03.30 WIB, keÂdua korÂban diantar ke terminal 1F deÂngan pengawalan ketat petugas bersenjata laras panjang. BahÂkan polisi membantu meÂlaÂkuÂkan check in, tanpa harus antre panjang di counter.
Polisi juga mengantar sampai di ruang keberangkatan. ‘’Di sini sudah aman,’’ kata polisi terÂsebut kepada Manado Post.
Kedua korban pun menuju Manado dengan menumpang Lion Air. Setiba di Bandara Sam Ratulangi, Mita dan Fani dijemput Wakil Wali Kota BiÂtung MJ Lomban dan Wakil Kepala Polres Bitung Kompol Norman Sitindaon. ***