Pernyataan Kivlan Zen Soal 13 Aktivis Hilang Perlu Diusut

Keluarga Korban Protes Kasus Penculikan Jadi Komoditas Politik

Selasa, 06 Mei 2014, 09:35 WIB
Pernyataan Kivlan Zen Soal 13 Aktivis Hilang Perlu Diusut
ilustrasi, penculikan aktivis
rmol news logo Belum tuntasnya kasus penculikan aktivis yang terjadi pada tahun 1997/1998 masih menyisakan luka bagi keluarga korban. Pernyataan bekas Kepala Staf Kostrad Mayjen (Purn) Kivlan Zen tentang kasus penculikan aktivis 1997/1998 menjadi harapan baru bagi keluarga korban untuk mendesak penegak hukum agar menyelesaikan tersebut.

Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yati Andriyani mengatakan, pernyataan Kivlan Zen di acara bincang-bincang di salah satu stasiun televisi swasta tentang penculikan aktivis 1997/1998 memiliki konsekuensi hukum.

“Dari pernyataan itu, penculikan aktivis 1997/1998 benar dilakukan oleh militer dan 13 orang korban belum dikembalikan hingga saat ini,” katanya di kantor Kontras, Jalan Borobudur, Jakarta, kemarin.

Dia menekankan, pelanggaran HAM berat seperti kasus penculikan merupakan tindak kejahatan berkelanjutan yang jelas diatur dalam berbagai ketentuan hukum. “Pernyataan Kivlan Zen harusnya diikuti oleh tindakan dari aparat penegak hukum, jika yang bersangkutan menolak memberikan informasi kepada penegak hukum maka dia telah melakukan tindakan menghalang-halangi penegakan hukum,” ujarnya.

Penuntasan kasus penculikan aktivis ini, lanjutnya, diharapkan mampu memberikan kejelasan pada nasib para korban yang sampai saat hari ini masih ditunggu keluarganya. “Memang sekarang ada banyak permainan politik, namun kami Koalisi Gerakan Melawan Lupa bersama keluarga korban akan mendatangi Komnas HAM dan Kejaksaan Agung untuk mendesak penuntasan kasus penculikan ini, “ pintanya.

Dalam kesempatan itu, Paian Siahaan, bapak dari Ucok Munandar Siahaan yang menjadi korban penculikan 1998, mengaku shock mendengar pernyataan Kivlan Zen. “Pernyataan itu menghenyakkan kami sebagai keluarga korban, apalagi kami sudah dapat surat keterangan dari Komnas HAM bahwa Ucok adalah korban penghilangan paksa dan pelanggaran HAM berat,” katanya.

Dia mengaku sangat kecewa karena keberadaan Ucok belum diketahui sampai saat ini. “Penderitaan kami sudah 16 tahun tidak bertemu anak kami, Ucok. Saya tidak berkepentingan soal capres, saya berkepentingan soal nyawa anak kami yang masih mengambang, mana tahu dia disekap atau 16 tahun hidup menderita,” ucapnya.

Dinis, anak dari Yadi Muhidin, menceritakan bahwa ayahnya hilang sejak Mei 1998 karena menyerukan ‘Turunkan Soeharto’. “Sejak itu saya hidup penuh tanda tanya, hidup tanpa ayah seperti hidup dengan setengah orang tua,” keluhnya.

Dia mempertanyakan di mana keadilan bagi para korban dan keluarganya. “Dimana perasaan para penculik? Dimana ayah saya? Atau mungkin dia sudah dibunuh,” ujarnya.

Korban penculikan 1998 yang sekarang menjadi Ketua Ikatan Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Mugiyanto menyebutkan, pernyataan Kivlan Zen sangat melukai korban dan keluarga korban. “Dia bilang dia tahu 13 orang itu ditembak dan dikubur di mana, dia bicara seolah para korban hanya angka padahal mereka adalah manusia dan aktivis demokrasi,” protes Mugiyanto.

Dia mendesak agar Komnas HAM dan Jaksa Agung segera menindaklanjuti pernyataan tersebut. Dia menceritakan, ketika diculik pada 1998 dirinya dan para korban lainnya disiksa dan diinterogasi dengan sewenang-wenang. “Kami disiksa dan diinterogasi sampai melebihi batas kemanusiaan, harus ada pertanggungjawaban atas penculikan dan penyekapan,” timpalnya.

Anggota Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), Sumarsih, menegaskan kembali bawa suara para korban dan keluarganya bukan suara 5 tahunan. “Selama 16 tahun kami menuntut peradilan HAM ad hoc, kalau benar para jenderal itu cinta tanah air, jangan berlomba-lomba menjadi presiden dan wakil presiden, silakan dengan rendah hati mengakui kesalahannya,” cetusnya.

Selama delapan tahun terakhir, setiap hari Kamis para keluarga korban menggelar aksi kamisan menuntut penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Tanah Air. “Para jenderal yang bertanggung jawab atas kasus-kasus pelanggaran HAM kalau mau klarifikasi jangan di media massa, silahkan di pengadilan HAM ad hoc,” pungkasnya.

Sebelumnya, Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai mengatakan, pihaknya tidak akan menindaklanjuti pernyataan Kivlan Zen tersebut. Menurutnya, penyataan Kivlan sudah tertulis dalam berkas penyelidikan Komnas HAM yang sudah rampung dan dikirim ke Kejaksaan Agung. “Itu kan pernyataan pribadi dan data Kivlan sudah ada di penyidikan Komnas HAM. Kivlan kalau sudah tahu sampaikan saja ke publik saja, buka di publik dan ke media,” ujarnya.

Mengenai adanya anggapan Kejaksaan Agung enggan melanjutkan penyidikan karena ada sengketa dalam berkas, Pigai membantah. Menurut Pigai, berkas Komnas HAM sudah lengkap dan data-data yang dimiliki sudah terpenuhi.

“Tidak ada yang namanya (berkas) bolong, Kejaksaan saja yang tidak mau saja,” katanya.

Pelni Janji Dukung Penegakan Hukum
Banyak Pengadaan Bermasalah

PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) didesak serius membersihkan rumahnya dari dugaan penyimpangan pengadaan proyek dan praktek korupsi yang selama ini sudah banyak dilaporkan ke aparat penegak hukum.

Direktur LSM Integritas, Hendrik Andrianto menyatakan, sudah berkali-kali dilaporkan ke aparat penegak hukum, karena adanya temuan pelanggaran yang dilakukan sejumlah oknum pejabat Pelni yang bermain dengan pihak swasta, sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara.

“Sudah ada laporan, sudah disampaikan bukti-bukti, dan juga pihak Pelni sudah diminta untuk serius membersihkan Pelni namun hingga kini tak terlihat keseriusan mereka,” ujar Hendrik di Jakarta, kemarin.

Dia menjelaskan, selain sudah dilaporkan, semestinya perusahaan plat merah ini juga melakukan upaya pembersihan atau reformasi di dalam Pelni sendiri.

“Kebanyakan uang negara kita habis dan dimakan oleh koruptor yang menggerogoti birokrasi dan perusahaan-perusahaan negara. Semestinya, semua persoalan reformasi birokrasi itu dimulai dari internal mereka secara serius,” ujarnya.

Menurutnya, per 1 Juni 2006 terjadi perjanjian kerja sama PT Pelni dengan PT Pinternet Lintas Buana dengan surat perjanjian No TH 23/SS/VI/2006 tentang Pekerjaan Jasa Layanan Telekomunikasi Pintercall. PT Pinternet beralamat di Jalan Majapahit No 26 AC-AE yang ditandatangani oleh Dirut Pinternet Syaiful Islam. Kerja sama adalah pemasangan alat PABX untuk menghemat biaya atas sambungan SLJJ/SLI. Pelni hanya menanggung biaya pemakaian pulsa lokal, sedangkan biaya SLJJ/SLI ditanggung oleh Pinternet. Namun, pada praktiknya, biaya komunikasi tidak mengalami penurunan.

Terjadi manipulasi data dan pembayaran kompresi langsung antar Wagimun (bekas staf Jastel Pelni) dengan Syaiful Islam untuk rekayasa invoice tagihan biaya komunikasi (fiktif). Total penggelapan uang selama 34 bulan disinyalir mencapai Rp 6.358.878.435.

Sementara itu, Direktur Utama PT Pelni, Syahril Japarin menyampaikan, pihaknya mendukung penuh upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di lingkungan perusahaan yang dipimpinnya. Dia mengaku, tidak terbetik dibenak untuk menghalang-halangi proses hukum.

“Kasus (korupsi) itu terjadi pada 2002 hingga 2009. Sedangkan saya sendiri baru dilantik menjadi Dirut pada awal Mei 2013. Meski begitu, kami tak pernah menghalang-halangi proses hukum,” ujar Syahril ketika dikonfirmasi, kemarin.

Dijelaskan Syahril, berdasarkan informasi yang diterimanya mengenai perkembangan kasus itu, pihaknya sudah dikabari bahwa prosesnya sudah masuk di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA