Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Awas, Obat Abal-abal Hantui Program JKN

Terkendala Skema Pembayaran

Kamis, 10 April 2014, 09:33 WIB
Awas, Obat Abal-abal  Hantui Program JKN
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
rmol news logo Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terus dihadang masalah. Salah satunya adalah skema pembiayaan dengan sistem tarif Indonesia Case Based Groups (INA-CBGs) yang dituding tidak mencukupi untuk penyediaan obat berkualitas.

Padahal, obat memegang peranan penting dalam layanan kesehatan, di mana obat menyerap 40 persen dari seluruh komponen biaya di semua layanan kesehatan.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Zaenal Abidin, menyebutkan ketersediaan obat inovatif dan berkualitas sangat diperlukan dalam era JKN. Selain memberikan terapi berkualitas bagi pasien, ketersediaan obat yang berkualitas juga dapat mengurangi biaya yang harus dibayarkan oleh BPJS Kesehatan.

“Kalau pasien dikasih obat yang tidak berkualitas kan jadi lama sembuh dan lama juga dirawat di rumah sakit. Berarti BPJS Kesehatan harus mengeluarkan dana lebih, bahkan lama-lama keuangannya menipis dan bisa rugi,” katanya di Jakarta, kemarin.

Menurutnya, ketersediaan obat berkualitas dalam pelayanan kesehatan di era JKN tidak terbantahkan. “Jika ini diabaikan yang rugi nantinya adalah BPJS Kesehatan itu sendiri,” tandasnya.

Peran obat-obat inovatif di JKN sangat diperlukan guna menghasilkan obat yang murah namun berkualitas. “Di sinilah peran industri farmasi untuk memproduksi obat-obat yang berkualitas tetapi terjangkau oleh pemerintah,” imbuhnya.

Zaenal melihat ketersediaan obat masih menjadi masalah klasik dalam sistem kesehatan di Indonesia, terutama ketersediaannya ke daerah pelosok, daerah terpencil, kepulauan, dan perbatasan yang masih belum merata. Namun demikian, dengan penetapan tarif oleh pemerintah baik berupa INA-CBGs dianggap dapat mengendalikan penggunaan obat yang rasional.

Sementara itu, anggota presidium Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS), Said Iqbal meminta sistem fee for service atau membayar dahulu sebelum dilayani kembali diberlakukan dalam program JKN. Pasalnya, tarif INA-CBGs justru menghambat berjalannya JKN sesuai amanat UU BPJS dan UU SJSN.

“Kedua Undang Undang tersebut mengamanatkan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat tanpa adanya batasan biaya, dan seluruh penyakit ditanggung, tapi faktanya penerapan INA-CBGs membuat rumah sakit tidak melayani dengan sepenuh hati,” katanya.

Dia mengungkapkan, saat ini banyak pemengang kartu Askes dan Jamsostek yang merasakan pelayanan kesehatan yang diberikan melalui JKN malah makin buruk. “KAJS juga mendesak pemerintah untuk mengkaji kembali tarif INA-CBGs karena tarif yang diatur dalam Permenkes nomor 69 tahun 2013 itu mengakibatkan provider, utamanya rumah sakit swasta, ragu memberikan layanan kesehatan,” pungkasnya.

Misalnya, pasien bisa membeli dan mengonsumsi obat sendiri tanpa resep dokter, bahkan pasien bisa meminta dokter meresepkan obat untuk keluarganya yang lain, disaat yang sama pasien juga bisa minta obat antibiotik, dan bisa memperoleh obat secara mudah tanpa diagnosa. Di era JKN, semua itu dikendalikan, dimana semua obat yang dikonsumsi harus berdasarkan hasil diagnosa dan resep dokter. “Tindakan ini untuk menjaga ketersediaan obat yang tentunya juga menguntungkan si pasien agar tidak disusupi obat-obat yang tidak diperlukan tubuh,” tuturnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturers Association (IPMG) Parulian Simanjuntak mengatakan untuk mendapatkan obat berkualitas dalam jumlah yang cukup, maka pemerintah bisa membuat kebijakan dimana seluruh industri farmasi baik nasional maupun multinasional boleh turut serta dalam e-katalog melalui skrining harga dan kualitas.

“E-katalog jangan hanya menentukan peran harga tapi mengenyampingkan kualitas,” katanya.

Dengan demikian, kata dia, pasien BPJS kesehatan akan lebih terjamin dalam mendapatkan obat berkualitas dalam jumlah yang cukup dan BPJS tetap dapat mengawasi biaya kesehatan yang dikeluarkan.

Kaji Ulang Agenda Pembangunan Global

Hak-hak Perempuan Diabaikan

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat agenda pembangunan global yang dikenal dengan Millenium Development Goals (MDGs) tidak memberi perhatian yang cukup pada isu kekerasan terhadap perempuan.

Indonesia sebagai negara yang ikut menandatangani MDGs diharapkan perlu mengkaji ulang pelaksanaan agenda pembangunan tersebut. MDGs yang memiliki delapan butir tujuan pembangunan itu dideklarasikan pada tahun 2000 dan akan berakhir pada 2015.

Ketua Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah mengatakan, dalam pelaksanaan MDGs terdapat persoalan ketidaksetaraan dan ketidakadilan struktural yang berakibat pada tidak terpenuhinya hak-hak perempuan.

“Salah satu kegagalan paling mendasar adalah gagalnya penurunan jumlah kematian ibu melahirkan. Hal ini tak bisa dilepaskan dari persoalan pemiskinan, layanan kesehatan yang tidak komprehensif,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Rakyat Merdeka, kemarin.

Persoalan lain adalah jauhnya hak-hak para pekerja rentan maupun pekerjaan tak berupah. “Konflik dan bencana juga menjadi keprihatinan yang mendasar, karena memperburuk kondisi perempuan,” imbuhnya.

Evaluasi lain terhadap pelaksanaan MDGs adalah, tersendatnya akses pendidikan bagi anak remaja, minimnya akses perempuan pada informasi komunikasi dan teknologi yang berdampak pada peminggiran dan ketertinggalan perempuan.
 
Komisioner Komnas Perempuan, Sylvana Maria Apituley mengatakan, CSW-58 juga menggarisbawahi pemenuhan HAM kelompok disabilitas, masyarakat adat, buruh, dan kelompok rentan-marginal lain, termasuk perhatian pada perempuan pembela HAM.

“Dunia menilai kekerasan terhadap perempuan sudah pada level darurat. Saat ini PBB sedang mengusulkan agar ada mekanisme internasional yang secara hukum mengikat bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan,” katanya.

MA Diminta Tidak Hambat Advokat

Guna mempererat hubungan sesama penegak hukum, Dewan Pimpinan Daerah Kongres Advokat Indonesia (DPD KAI) Provinsi DKI Jakarta menggelar audiensi dengan Mahkamah Agung (MA). Selain mempererat hubungan, pertemuan itu untuk meningkatkan kerja sama secara harmonis.

“Kami menyampaikan masalah penyumpahan advokat anggota KAI yang mengalami kendala selama proses persidangan, dan juga pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Advokat,” kata Ketua DPD KAI DKI Jakarta, Sahala Siahaan kepada wartawan di Jakarta, kemarin.

Menurutnya, MA pada dasarnya tidak mau terlalu dalam ikut campur terhadap perselisihan organisasi advokat. Meski demikian, KAI adalah organisasi advokat yang sah dan meminta kepada MA agar menghormati Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 101 yang mana pasal 4 UU Adokat sudah didrop. Artinya, seorang advokat bisa melaksanakan profesinya tanpa melihat darimana organisasinya berasal.

Dia mengaku, MA menyadari banyak hambatan-hambatan advokat KAI yang beracara di persidangan. Oleh karena itu, KAI mengimbau MA dan lembaga peradilan di bawahnya tidak menghambat advokat KAI untuk beracara di dalam sidang peradilan, termasuk tidak mempertanyakan berita acara sumpah pada saat pendaftaran gugatan.

Sahala mengklaim, permintaan itu direspons baik oleh MA untuk memperhatikan hal tersebut dan tidak akan menyulitkan advokat KAI dalam beracara. Pihak MA juga menyambut gembira terhadap RUU Advokat, sehingga polemik antara organisasi advokat segera terselesaikan.

Suasana dalam pertemuan tersebut, diakui Sahala, sangat harmonis dan akrab. Selanjutnya pertemuan seperti ini akan dilakukan terus guna meningkatkan hubungan yang baik dengan MA. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA