Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Keluar Pukul 2 Dinihari, Kakek 10 Cucu Meninggal

Warga Berjejal Antre Daging Kurban Di Istiqlal

Kamis, 17 Oktober 2013, 09:55 WIB
Keluar Pukul 2 Dinihari, Kakek 10 Cucu Meninggal
ilustrasi
rmol news logo Susilo duduk lesu di bangku plastik di depan Mushola Nurul Hidayah di Jalan Wahidin II RT 03 RW 08 Pasar Baru, Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat. Dua puluh meter dari situ terdapat rumah ayahnya, Sukiyo.

Puluhan kursi plastik merah dijejerkan di gang selebar dua meter di depan mushola sampai ke depan rumah Sukiyo. “Di da­lam (rumah) tidak muat,” ujar anak kedua Sukiyo itu.

Lantarannya rumah orangtua­nya kecil, Susilo menerima ta­mu-tamu yang ingin menyam­paikan duka cita di gang. Sukiyo, 62 ta­hun, meninggal ketika pem­­ba­gian daging kurban di Masjid Istiqlal, kemarin.

Ribuan warga mendatangi mas­­jid terbesar di Asia Tenggara itu sejak dinihari. Walaupun pe­ngan­tre sudah dipisahkan ber­da­sar­kan jenis kelamin, aksi desak-desakan tetap terjadi. Warga bere­but masuk untuk mendapatkan 1 kilogram daging. Delapan orang pingsan. Se­mentara Sukiyo meninggal.

Wajah Susilo terlihat lelah ke­tika menerima rekan-rekan kerja adiknya. Ia menuturkan, ber­temu terakhir kali dengan ayah­nya pu­kul 1 dinihari, beberapa jam se­belum pembagian daging kur­ban di Istiqlal. Pembagian di­lakukan selepas subuh.

Sejak menikah lima tahun lalu, Susilo pisah tempat tinggal. Ia me­nempati rumah kontrakan di bela­kang rumah ayahnya. “Be­lum ti­dur Pak,” tanya Susilo ke­tika ber­tandang ke rumah orangtuanya.

“Belum, masih ngerjain PR cucu,” jawab Sukiyo yang me­miliki 10 cucu dari kelima anak­nya. Selang 15 menit, Susilo pu­lang ke rumahnya untuk tidur.

Usai shalat shubuh, handphone  Susilo berdering. Sigit Handoko, adik bungsunya memberitahu Sukiyo meninggal saat menga­n­tre daging kurban di Istiqlal. Je­na­zah sudah berada di Rumah Sa­kit Cipto Mangunkusumo (RS­CM), Salemba, Jakarta Pusat. Susilo pun bergegas ke sana.

Di RSCM, Susilo dihampiri po­lisi yang meminta persetujuan un­tuk melakukan visum terha­dap jenazah Sukiyo. Ia me­nolak. Ke­pada polisi, Susilo men­jelaskan, ayahnya selama ini pu­nya penyakit asam urat dan darah tinggi. Bahkan dia pernah terkena stroke ringan.

“Sering banget Bapak minta dikerokin. Biar sakit, Bapak ter­lihat segar. Dia sering jalan-jalan. Biasanya ketemu temannya di Pasar Senen,” tuturnya.

Tiga bulan terakhir sang ayah rutin berobat ke puskesmas. Ha­sil pe­meriksaan dokter, tensi da­rah pria asal Delanggu, Kla­ten, Jawa Te­ngah itu menembus ang­ka 200. De­ngan tensi seting­gi itu, Sukiyo di­sarankan tak se­ring keluar malam.

Kemarin, Wita, istri adiknya Si­git sempat melarang Sukiyo ke­tika hendak keluar rumah pukul 2 dinihari. Sigit dan istrinya ma­sih tinggal di rumah Sukiyo.

Kepada menantunya, Sukiyo beralasan ingin menghirup udara segar di sekitar rumah. Wita me­lihat mertuanya berjalan ke arah Istiqlal yang berjarak 100 meter dari tempat tinggalnya.

“Mungkin pengen lihat-lihat keramaian. Kalau antre (daging) saya nggak yakin. Kan Bapak darah tinggi,” kata Susilo.

Menurut dia, kehidupan eko­nomi keluarga Sukiyo tak sulit-sulit amat. Sebab, kelima anak­nya sudah bekerja.

Usai dari RSCM, Susilo di­min­tai keterangan di Polsek Sa­wah Besar hingga  pukul sete­ngah de­lapan pagi. Dari situ, dia lang­sung ke Mushola Nurul Hidayah, tak jauh dari rumah du­ka. Selepas zuhur, jenazah dima­kamkan di TPU Penggilingan, Rawa­ma­ngun, Jakarta Timur.

Menurut Susilo, tak ada ban­tuan dari pengurus Masjid Is­tiqlal untuk proses pengambilan jena­zah ayahnya di rumah sakit hing­ga pemakaman. Semua bia­ya di­bayar keluarga dibantu su­m­ba­ngan dari tetangga.

Pemantauan Rakyat Merdeka, rumah duka berada di gang sem­pit dengan lebar kurang dari satu meter. Tanpa nama gang, puluh­an rumah dengan lebar 2x3 me­ter berjejer saling berhadapan. Peng­huni rumah-rumah kontrak­an menggunakan kipas angin untuk mengusir hawa panas.

Sukiyo sudah tinggal di rumah petak berlantai dua di sini sejak tahun 1962. Lima tahun lalu, dia berhenti berdagang soto Betawi di kawasan Lapangan Banteng, Ja­karta Pusat. Anak-anaknya tak ada yang meneruskan usaha ini. Su­ki­yo pun menutup warung sotonya.

Untuk hidup, Sukiyo mengan­dalkan kelima anaknya yang telah bekerja. Joko, puta tertua bekerja di PT Aspex Kumbong, Cileung­si, Bogor. Sedangkan Susilo be­kerja sebagai tenaga honorer di Kementerian Keuangan, Lapa­ngan Banteng, Jakarta Pusat.

Tugas untuk merawat sang ayah di­serahkan kepada Sigit, anak bung­su yang masih tinggal seru­mah. Keluarga Sigit tinggal di lantai atas.

Susilo mengungkapkan, sela­ma ini tempat tinggal ayahnya tak pernah mendapat pembagian da­ging kurban dari Masjid Istiqlal. Tahun ini, pengurus masjid me­ne­­tapkan warga kawasan sekitar Jalan Wahidin,  Polsek Sawah Be­sar dan SMA Negeri 1 Budi Uto­mo sebagai penerima daging kurban.

“Meski kurang Bapak tidak mungkin antre-antre demi satu kilo daging,” ungkap Susilo sam­bil menundukkan kepala.

Surono, tetangga Sukiyo me­ngungkapkan, pria 62 tahun itu adalah orang baik. Sejak tak lagi ber­dagang soto, Sukiyo kerap nongkrong bersama pemuda di sebuah gardu di mulut gang.

“Semalam (15/10) nonton ba­reng bola Indonesia lawan China di TV. Orangnya pendiam, tapi asyik. Tiap nongkrong di gardu, sering nyanyi lagu Jepang,” ke­nang Surono yang terlihat me­ng­hibur Susilo.

Saling Dorong, Pukul Hingga Lompat Pagar

Di sejumlah tempat pembagian daging kurban diwarnai kericu­han. Di Jakarta Islamic Center (JIC), Koja, Jakarta Utara, warga saling dorong untuk bisa men­dapatkan daging 1 kilogram.

Sejak pagi, pagi warga sudah terlihat memenuhi area halaman JIC. Akibat saling dorong, se­orang perempuan paruh baya ping­san. Sempat terjadi baku pu­kul antar warga yang antre.

“Tadi waktu ngantre saya ke­jepit gara-gara didorong sama yang di belakang. Ada juga kan tadi satu ibu-ibu pingsan pas ngantre,” kata Darni (48) yang mengantre sejak pukul 10.

Panitia pembagian kurban me­nyayangkan peristiwa ter­se­but. Untuk pembagian daging kur­ban, panitia menggunakan sis­tem ring. Warga yang berada di sekitar JIC mendapat prioritas. Pembagian akan dibantu ketua RT setempat.

Namun, warga memilih datang langsung ke JIC karena takut ti­dak kebagian daging. JIC me­nyiapkan 3.000 kupon. Sedan­g­kan warga yang antre daging se­ba­nyak 9 ribu orang.

Kericuhan juga terjadi di Mas­jid Agung, Kauman, Magelang, Jawa Tengah. Peristiwa itu ter­jadi saat pembagian kupon da­ging kurban Selasa (15/10). Ra­tu­san warga yang ingin me­n­da­patkan kupon saling berebut ma­suk ke halaman masjid de­ngan melewati pagar besi.

Akibat berdesak-desakan, se­orang nenek jatuh dan nyaris ter­injak-injak. Sejumlah balita me­nangis karena terhimpit di te­ngah ratusan warga. Bahkan petugas harus menampar se­orang warga karena dinilai tidak tertib.

Wawan (32), seorang warga me­ngaku sempat terjadi keribu­tan saat dirinya ikut mengantre bersama ratusan warga lainnya. Me­nurutnya, warga berebut ka­rena khawatir tidak kebagian kupon. Apalagi jumlah hewan kurban yang dipotong tidak terlalu banyak.

“Kami sudah mengantre lebih dari dua jam. Warga berebut ka­rena takut tidak kebagian da­ging kurban. Ini seharusnya di­jadikan pelajaran, khususnya ba­gi para pejabat, karena masih banyak warga miskin yang mem­bu­tuhkan uluran tangan,”  kata Wawan.

Ketua Panitia Hewan Kurban Masjid Agung Kota Magelang, Jau­h­­ari mengamini, pembagian kurban tahun ini lebih sedikit diban­ding tahun sebelumnya. Dia me­nyebutkan, pihaknya hanya me­nyembelih empat ekor sapi dan 20 kambing.

Antre Dua Kali, 8 Orang Digiring Ke Pos Satpam


Panitia kurban Masjid Is­tiqlal menyiapkan sekitar 6.000 kantong berisi 1 kilogram da­ging untuk dibagi-bagikan ke­pada masyarakat. Daging kur­ban itu berasal dari 48 sapi dan 8 kambing sumbangan pejabat negara dan masyarakat.

Untuk mengambil daging kur­ban, warga diminta antre ter­lebih dahulu di loket pe­ng­am­bilan kupon. Usai men­dapat kupon, mereka diminta lagi an­tre untuk mengambil daging yang telah dibungkus dalam kan­tong plastik.

Tempat pengambilan daging dibuat dua, yakni untuk pria dan wanita. Di setiap tempat pe­ngambilan daging sudah di­siapkan 3 ribu kantong.

Mencegah warga mengambil daging lebih dari sekali, panitia meminta pengantre men­ce­lup­kan jarinya di tinta setelah me­ne­rima kantong berisi daging . Tinta ini sebagai penanda bah­wa yang bersangkutan sudah per­nah mengambil daging.

Sebelum mengambil daging, pa­nitia meminta pengantre me­nunjukkan jemarinya apakah ada tanda tinta hitam atau tidak.

Anggota Kepolisian Sektor Sawah Besar yang mengawasi pembagian daging kurban di Istiqlal mendapati delapan pe­ngantre hendak mengambil da­ging untuk kedua kali. Sebab, di jarinya ada bekas tinta.

Warga yang ketahuan itu lalu digiring ke pos satpam di mas­jid itu. Ada delapan orang yang di­giring. Di antaranya, Imam, warga Mangga Dua dan Munarwan asal Ja­tinegara Ja­karta Timur serta Yeni.

Kepada polisi, Imam me­ng­aku baru sekali antre untuk me­ngambil daging. “Saya ikut ngantre dari pukul 5. Nggak ne­ro­bos-nerobos, ikut barisan, baru kali ini,” akunya.

Yeni juga diketahui me­ngan­tre dua kali dari tinta di jarinya. Pengakuannya, warna biru di ja­rinya bukan tinta. Tapi obat sa­ria­wan anaknya. “Belum antre. Belum dapat daging,” katanya.

Berbeda dengan Munarwan, Ia mengaku antre untuk kedua kalinya. Sebelumnya, dia sudah mendapat daging. Namun, da­lih­nya, dagingnya dirampas orang. Ia pun memutuskan antre lagi.

“Ada yang nawar mau beli, terus ditarik dan dibawa kabur. Emosi daging hilang, jadi saya antre lagi. Tadi ada orang ber­sihin jari pake autan, jadi saya iku­tan,” ujar warga Jatinegara itu sambil menunduk lesu. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA