Puluhan kursi plastik merah dijejerkan di gang selebar dua meter di depan mushola sampai ke depan rumah Sukiyo. “Di daÂlam (rumah) tidak muat,†ujar anak kedua Sukiyo itu.
Lantarannya rumah orangtuaÂnya kecil, Susilo menerima taÂmu-tamu yang ingin menyamÂpaikan duka cita di gang. Sukiyo, 62 taÂhun, meninggal ketika pemÂÂbaÂgian daging kurban di Masjid Istiqlal, kemarin.
Ribuan warga mendatangi masÂÂjid terbesar di Asia Tenggara itu sejak dinihari. Walaupun peÂnganÂtre sudah dipisahkan berÂdaÂsarÂkan jenis kelamin, aksi desak-desakan tetap terjadi. Warga bereÂbut masuk untuk mendapatkan 1 kilogram daging. Delapan orang pingsan. SeÂmentara Sukiyo meninggal.
Wajah Susilo terlihat lelah keÂtika menerima rekan-rekan kerja adiknya. Ia menuturkan, berÂtemu terakhir kali dengan ayahÂnya puÂkul 1 dinihari, beberapa jam seÂbelum pembagian daging kurÂban di Istiqlal. Pembagian diÂlakukan selepas subuh.
Sejak menikah lima tahun lalu, Susilo pisah tempat tinggal. Ia meÂnempati rumah kontrakan di belaÂkang rumah ayahnya. “BeÂlum tiÂdur Pak,†tanya Susilo keÂtika berÂtandang ke rumah orangtuanya.
“Belum, masih ngerjain PR cucu,†jawab Sukiyo yang meÂmiliki 10 cucu dari kelima anakÂnya. Selang 15 menit, Susilo puÂlang ke rumahnya untuk tidur.
Usai shalat shubuh, handphone Susilo berdering. Sigit Handoko, adik bungsunya memberitahu Sukiyo meninggal saat mengaÂnÂtre daging kurban di Istiqlal. JeÂnaÂzah sudah berada di Rumah SaÂkit Cipto Mangunkusumo (RSÂCM), Salemba, Jakarta Pusat. Susilo pun bergegas ke sana.
Di RSCM, Susilo dihampiri poÂlisi yang meminta persetujuan unÂtuk melakukan visum terhaÂdap jenazah Sukiyo. Ia meÂnolak. KeÂpada polisi, Susilo menÂjelaskan, ayahnya selama ini puÂnya penyakit asam urat dan darah tinggi. Bahkan dia pernah terkena stroke ringan.
“Sering banget Bapak minta dikerokin. Biar sakit, Bapak terÂlihat segar. Dia sering jalan-jalan. Biasanya ketemu temannya di Pasar Senen,†tuturnya.
Tiga bulan terakhir sang ayah rutin berobat ke puskesmas. HaÂsil peÂmeriksaan dokter, tensi daÂrah pria asal Delanggu, KlaÂten, Jawa TeÂngah itu menembus angÂka 200. DeÂngan tensi setingÂgi itu, Sukiyo diÂsarankan tak seÂring keluar malam.
Kemarin, Wita, istri adiknya SiÂgit sempat melarang Sukiyo keÂtika hendak keluar rumah pukul 2 dinihari. Sigit dan istrinya maÂsih tinggal di rumah Sukiyo.
Kepada menantunya, Sukiyo beralasan ingin menghirup udara segar di sekitar rumah. Wita meÂlihat mertuanya berjalan ke arah Istiqlal yang berjarak 100 meter dari tempat tinggalnya.
“Mungkin pengen lihat-lihat keramaian. Kalau antre (daging) saya nggak yakin. Kan Bapak darah tinggi,†kata Susilo.
Menurut dia, kehidupan ekoÂnomi keluarga Sukiyo tak sulit-sulit amat. Sebab, kelima anakÂnya sudah bekerja.
Usai dari RSCM, Susilo diÂminÂtai keterangan di Polsek SaÂwah Besar hingga pukul seteÂngah deÂlapan pagi. Dari situ, dia langÂsung ke Mushola Nurul Hidayah, tak jauh dari rumah duÂka. Selepas zuhur, jenazah dimaÂkamkan di TPU Penggilingan, RawaÂmaÂngun, Jakarta Timur.
Menurut Susilo, tak ada banÂtuan dari pengurus Masjid IsÂtiqlal untuk proses pengambilan jenaÂzah ayahnya di rumah sakit hingÂga pemakaman. Semua biaÂya diÂbayar keluarga dibantu suÂmÂbaÂngan dari tetangga.
Pemantauan
Rakyat Merdeka, rumah duka berada di gang semÂpit dengan lebar kurang dari satu meter. Tanpa nama gang, puluhÂan rumah dengan lebar 2x3 meÂter berjejer saling berhadapan. PengÂhuni rumah-rumah kontrakÂan menggunakan kipas angin untuk mengusir hawa panas.
Sukiyo sudah tinggal di rumah petak berlantai dua di sini sejak tahun 1962. Lima tahun lalu, dia berhenti berdagang soto Betawi di kawasan Lapangan Banteng, JaÂkarta Pusat. Anak-anaknya tak ada yang meneruskan usaha ini. SuÂkiÂyo pun menutup warung sotonya.
Untuk hidup, Sukiyo menganÂdalkan kelima anaknya yang telah bekerja. Joko, puta tertua bekerja di PT Aspex Kumbong, CileungÂsi, Bogor. Sedangkan Susilo beÂkerja sebagai tenaga honorer di Kementerian Keuangan, LapaÂngan Banteng, Jakarta Pusat.
Tugas untuk merawat sang ayah diÂserahkan kepada Sigit, anak bungÂsu yang masih tinggal seruÂmah. Keluarga Sigit tinggal di lantai atas.
Susilo mengungkapkan, selaÂma ini tempat tinggal ayahnya tak pernah mendapat pembagian daÂging kurban dari Masjid Istiqlal. Tahun ini, pengurus masjid meÂneÂÂtapkan warga kawasan sekitar Jalan Wahidin, Polsek Sawah BeÂsar dan SMA Negeri 1 Budi UtoÂmo sebagai penerima daging kurban.
“Meski kurang Bapak tidak mungkin antre-antre demi satu kilo daging,†ungkap Susilo samÂbil menundukkan kepala.
Surono, tetangga Sukiyo meÂngungkapkan, pria 62 tahun itu adalah orang baik. Sejak tak lagi berÂdagang soto, Sukiyo kerap nongkrong bersama pemuda di sebuah gardu di mulut gang.
“Semalam (15/10) nonton baÂreng bola Indonesia lawan China di TV. Orangnya pendiam, tapi asyik. Tiap nongkrong di gardu, sering nyanyi lagu Jepang,†keÂnang Surono yang terlihat meÂngÂhibur Susilo.
Saling Dorong, Pukul Hingga Lompat PagarDi sejumlah tempat pembagian daging kurban diwarnai kericuÂhan. Di Jakarta Islamic Center (JIC), Koja, Jakarta Utara, warga saling dorong untuk bisa menÂdapatkan daging 1 kilogram.
Sejak pagi, pagi warga sudah terlihat memenuhi area halaman JIC. Akibat saling dorong, seÂorang perempuan paruh baya pingÂsan. Sempat terjadi baku puÂkul antar warga yang antre.
“Tadi waktu ngantre saya keÂjepit gara-gara didorong sama yang di belakang. Ada juga kan tadi satu ibu-ibu pingsan pas ngantre,†kata Darni (48) yang mengantre sejak pukul 10.
Panitia pembagian kurban meÂnyayangkan peristiwa terÂseÂbut. Untuk pembagian daging kurÂban, panitia menggunakan sisÂtem ring. Warga yang berada di sekitar JIC mendapat prioritas. Pembagian akan dibantu ketua RT setempat.
Namun, warga memilih datang langsung ke JIC karena takut tiÂdak kebagian daging. JIC meÂnyiapkan 3.000 kupon. SedanÂgÂkan warga yang antre daging seÂbaÂnyak 9 ribu orang.
Kericuhan juga terjadi di MasÂjid Agung, Kauman, Magelang, Jawa Tengah. Peristiwa itu terÂjadi saat pembagian kupon daÂging kurban Selasa (15/10). RaÂtuÂsan warga yang ingin meÂnÂdaÂpatkan kupon saling berebut maÂsuk ke halaman masjid deÂngan melewati pagar besi.
Akibat berdesak-desakan, seÂorang nenek jatuh dan nyaris terÂinjak-injak. Sejumlah balita meÂnangis karena terhimpit di teÂngah ratusan warga. Bahkan petugas harus menampar seÂorang warga karena dinilai tidak tertib.
Wawan (32), seorang warga meÂngaku sempat terjadi keribuÂtan saat dirinya ikut mengantre bersama ratusan warga lainnya. MeÂnurutnya, warga berebut kaÂrena khawatir tidak kebagian kupon. Apalagi jumlah hewan kurban yang dipotong tidak terlalu banyak.
“Kami sudah mengantre lebih dari dua jam. Warga berebut kaÂrena takut tidak kebagian daÂging kurban. Ini seharusnya diÂjadikan pelajaran, khususnya baÂgi para pejabat, karena masih banyak warga miskin yang memÂbuÂtuhkan uluran tangan,†kata Wawan.
Ketua Panitia Hewan Kurban Masjid Agung Kota Magelang, JauÂhÂÂari mengamini, pembagian kurban tahun ini lebih sedikit dibanÂding tahun sebelumnya. Dia meÂnyebutkan, pihaknya hanya meÂnyembelih empat ekor sapi dan 20 kambing.
Antre Dua Kali, 8 Orang Digiring Ke Pos SatpamPanitia kurban Masjid IsÂtiqlal menyiapkan sekitar 6.000 kantong berisi 1 kilogram daÂging untuk dibagi-bagikan keÂpada masyarakat. Daging kurÂban itu berasal dari 48 sapi dan 8 kambing sumbangan pejabat negara dan masyarakat.
Untuk mengambil daging kurÂban, warga diminta antre terÂlebih dahulu di loket peÂngÂamÂbilan kupon. Usai menÂdapat kupon, mereka diminta lagi anÂtre untuk mengambil daging yang telah dibungkus dalam kanÂtong plastik.
Tempat pengambilan daging dibuat dua, yakni untuk pria dan wanita. Di setiap tempat peÂngambilan daging sudah diÂsiapkan 3 ribu kantong.
Mencegah warga mengambil daging lebih dari sekali, panitia meminta pengantre menÂceÂlupÂkan jarinya di tinta setelah meÂneÂrima kantong berisi daging . Tinta ini sebagai penanda bahÂwa yang bersangkutan sudah perÂnah mengambil daging.
Sebelum mengambil daging, paÂnitia meminta pengantre meÂnunjukkan jemarinya apakah ada tanda tinta hitam atau tidak.
Anggota Kepolisian Sektor Sawah Besar yang mengawasi pembagian daging kurban di Istiqlal mendapati delapan peÂngantre hendak mengambil daÂging untuk kedua kali. Sebab, di jarinya ada bekas tinta.
Warga yang ketahuan itu lalu digiring ke pos satpam di masÂjid itu. Ada delapan orang yang diÂgiring. Di antaranya, Imam, warga Mangga Dua dan Munarwan asal JaÂtinegara JaÂkarta Timur serta Yeni.
Kepada polisi, Imam meÂngÂaku baru sekali antre untuk meÂngambil daging. “Saya ikut ngantre dari pukul 5. Nggak neÂroÂbos-nerobos, ikut barisan, baru kali ini,†akunya.
Yeni juga diketahui meÂnganÂtre dua kali dari tinta di jarinya. Pengakuannya, warna biru di jaÂrinya bukan tinta. Tapi obat saÂriaÂwan anaknya. “Belum antre. Belum dapat daging,†katanya.
Berbeda dengan Munarwan, Ia mengaku antre untuk kedua kalinya. Sebelumnya, dia sudah mendapat daging. Namun, daÂlihÂnya, dagingnya dirampas orang. Ia pun memutuskan antre lagi.
“Ada yang nawar mau beli, terus ditarik dan dibawa kabur. Emosi daging hilang, jadi saya antre lagi. Tadi ada orang berÂsihin jari pake autan, jadi saya ikuÂtan,†ujar warga Jatinegara itu sambil menunduk lesu. [Harian Rakyat Merdeka]