April, Villa Liar Di Puncak Diratakan Dengan Tanah

Minggu, 24 Maret 2013, 09:14 WIB
April, Villa Liar Di Puncak Diratakan Dengan Tanah
ilustrasi, Villa liar di kawasan Puncak
rmol news logo Villa liar di kawasan Puncak, Bogor akan ditertibkan. Bulan April ini Pemerintah Daerah Bogor didukung pemerintah pusat berencana meratakan dengan tanah bangunan liar di daerah wisata itu.

Koordinator Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat, Ramdhan menyambut baik rencana pemerintah daerah Bogor dan pusat membongkar villa dan bangunan liar di kawasan Puncak.  Dia menilai, keberadaan villa di kawasan Puncak sudah merusak ekosistem dan lingkungan.

“Pemerintah Kabupaten Bogor dan pemerintah pusat harus kompak menertibkan villa dan bangunan liar di Puncak. Jangan mundur lagi,” ujarnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Ramdhan mengatakan, berdasarkan data Walhi, Jawa Barat, pada tahun 2010 tercatat ada 217 villa liar di kawasan Puncak. Pada tahun 2012 jumlah itu turun menjadi 210 villa.  “Untuk tahun ini kami belum memiliki jumlah pastinya, tapi berdasarkan pengamatan teman-teman di lapangan jumlahnya diperkirakan tidak jauh berbeda dengan tahun 2012,” jelas dia.

Ramdan menyatakan, pembongkaran villa di Puncak sudah mendesak. Sebab, keberadaannya selain menghilangkan daerah resapan air, juga menciptakan konflik sosial. Dia mengaku, sudah sepuluh tahun meminta Pemerintah Kabupaten Bogor melakukan pembongkaran villa-villa tak berizin. Namun, pihaknya kurang mendapat respons dari Pemerintah Kabupaten Bogor. “Semoga tahun ini penertiban terealisasi,” harapnya.

Koordinator Walhi Simpul Bogor, Depok, Puncak Cianjur, Eko Wiwid menilai, pemerintah daerah dan pusat tidak perlu lama-lama lagi membongkar villa liar di kawasan Pusak. Menurut dia, pemerintah memiliki landasan hukum merobohkan villa yang merusak lingkungan.

Diakuinya, membongkar villa di Puncak tidak mudah. Pembongkaran bisa menimbulkan konflik antar pemerintah, pemilik dan warga sekitar.

Agar tidak muncul konflik, Eko menyarankan pemerintah melakukan sosialisasi terlebih dulu kepada pemilik dan penjaga villa, serta warga sekitar.

Menurut dia, sosialisasi yang baik kepada pemilik vila mutlak diperlukan, sehingga pemilik villa dan penduduk sekitar menerima rencana pembongkaran dengan tertib. “Pembongkaran villa harus memperhatikan realitas sosial,” terangnya.

Kepala Unit Pelayanan Teknis-Tata Bangunan Permukiman, Ciawi, Rudy Achdiat menyatakan, pemerintah daerah Bogor berencana melakukan pembongkaran villa liar April nanti. Kata dia, hasil rapat dengan Dinas Tata Bangunan dan Pemukiman (DTBP), Badan Perizinan Terpadu dan instansi terkait lainnya menyepakati rencana pembongkaran. “Jika berkas sudah masuk, kami siap lakukan eksekusi,” katanya.

Rudy menyatakan, saat ini ada sekitar 210-an bangunan dan vila yang tesebar mulai Ciawi hingga Puncak Pass. Data ini berdasarkan hasil pendataan pihaknya selama Nopember 2012 hingga Januari lalu. “Kami sudah layangkan surat peringatan agar bangunan dan villa liar itu dibongkar,” katanya.

Menteri Lingkungan Hidup, Balthasar Kambuaya mengatakan villa liar harus segera dibongkar. Menurutnya, perlu ada koordinasi antara pemerintah daerah dan kementerian terkait untuk melakukan pembongkaran. Pihak pemilik villa juga diharapkan memiliki kesadaran sendiri untuk membongkar vila miliknya.

Balthasar menilai, dampak dari pembangunan villa ini sudah sangat besar. Dia mengaku sudah mengirimkan surat kepada pihak-pihak terkait untuk segera mengambil langkah nyata. “Ini sudah terjadi. Dampaknya besar. Kami sudah mengirim surat, kepada Kementerian Kehutanan dan Pemda agar segera mengatasi masalah ini,” katanya.

Untuk informasi, pejabat dan tokoh penting yang diketahui memiliki villa di kawasan Puncak, adalah Ketua Umum Partai Hanura Wiranto, bekas Panglima Kostrad Letjen TNI (Purnawirawan) Djaja Suparman, bekas wakil KSAD Letjen TNI (Purnawirawan) Suryadi, dan bekas Panglima Kodam Udayana Letjen TNI (Purnawirawan) H.B.L Mantiri. Bekas Menteri Kehakiman Oetojo Oesman, pengusaha King Yuwono, pemilik King Plaza.

Pejabat Yang Intervensi Akan Saya Lawan

Rachmat Yasin

Bupati Bogor ini mengaku kesulitan menertibkan villa dan bangunan liar di kawasan Puncak karena sering diintervensi pejabat tinggi negara dan petinggi TNI/Polri.

Rachmat mengaku sudah beberapa kali ditelepon ejabat dan petinggi TNI/Polri untuk mengamankan sejumlah villa di kawasan puncak. “Ada pejabat yang menelpon saya, minta villa-villa di sana tidak diganggu. Tapi saya bilang, jika berada di area yang melanggar akan saya tindak,” katanya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Dia mengatakan, sejumlah daerah resapan air di kawasan Puncak mayoritas sudah banyak beralih fungsi. Daerah titik resapan air yang paling berubah fungsi adalah Bukit Citamiang di Desa Tugu Utara, Cisarua, Kabupaten Bogor. Para pemilik villa di area konservasi itu, kata dia, mayoritas purnawirawan jenderal, bekas menteri, dan pengusaha.

Rachmat mengaku, setiap tahun pihaknya sudah berupaya maksimal menertibkan villa yang berdiri di atas kawasan resapan air. Sayangnya, ketika berada di lapangan untuk melakukan penertiban sering menemui hambatan, karena dihalangi warga sekitar. 

“Penduduk lokal sering digerakkan pemilik villa untuk menolak pembongkaran. Jumlah mereka banyak membuat petugas kewalahan,” keluhnya.

Rachmat mengklaim, pemerintah Kabupaten Bogor sudah melakukan upaya penertiban villa sejak tahun 2005 lalu. Pihaknya, sudah lakukan penyegelan-penyegelan. “Tapi kita belum berhasil. Kita butuh dukungan pusat. Tahun ini Insya Allah berhasil,” pungkasnya.

Pemilik Villa Nakal Yang Tak Mau Bongkar Akan Kami Tindak
Darori

Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan (Dirjen PHKA Kemenhut) ini berjanji, akan memanggil pemilik villa liar di puncak yang tidak memiliki izin. Pihak Kemenhut tak segan-segan menertibkan villa pejabat yang merusak lingkungan.

“Kami sebenarnya siap melakukan pembongkaran paksa. Tapi kami masih menunggu kesadaran pemilik, kami mencoba menggunakan soft power dulu,” ujarnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Darori meminta, pemilik villa mau bekerja sama memenuhi panggilan Kemenhut. Diingatkan, jika setelah dipanggil pemilik villa tidak mau kooperatif dan menyerahkan villa secara baik-baik, maka pihaknya akan mengambil langkah hukum.

“Para pemilik villa liar tersebut bisa dipidana. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi dan Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, mereka terancam hukuman 10 tahun penjara dengan denda sampai Rp 10 miliar,” jelas  dia.

Dia mengingatkan, pemilik villa wajib membongkar bangunan yang mereka miliki jika terbukti merusak lingkungan. Bagi pemilik yang tidak mau membongkar sendiri, bisa terkena sanksi pidana “Kami tidak takut siapapun pemilik Villa nakal,” katanya.

Darori menyatakan, jika semua vila liar sudah rata dengan tanah, pemerintah pusat akan menutup akses jalan dan memutus aliran listrik di kawasan tersebut. “Ini untuk mencegah pembangunan kembali Villa liar,” cetusnya.

Presiden, Kapolri Dan Panglima TNI Harus Turun Tangan Tertibkan Beking
Ade Munawaroh

Ketua Komisi A DPRD Kabupaten Bogor ini menduga, sulitnya menertibkan villa dan bangunan liar di kawasan Puncak, Bogor disebabkan adanya intervensi dari pemilik yang dibekingi pejabat negara serta petinggi TNI/Polri.

Kata dia, sejak tahun 2007 sebenarnya pemerintah kabupaten Bogor sudah tidak mengeluarkan izin mendirikan bangunan di kawasan Puncak, namun pembangunan villa tetap terjadi. “Sebab pemilik Villa itu punya beking pejabat atau petinggi TNI/Polri, sehingga mereka masih saja berani membangun,” katanya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Ade mengatakan, berdasarkan keterangan Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Bogor, ada 647 villa liar yang bercokol di kawasan puncak tanpa dilengkapi bukti perizinan. Dari data tersebut, ada beberapa bangunan yang di duga milik pejabat, sehingga Pemda Kabupaten Bogor memerlukan bantuan dan dukungan dari pemerintah pusat untuk membongkarnya.

“Selama ini kami sudah tegas melayangkan surat teguran dan peringatan kepada pemilik villa untuk membongkar sendiri bangunan, tetapi kenyataannya sampai saat ini bangunan itu masih berdiri. Kami menduga Villa itu milik pejabat atau kroninya,” jelas dia.

Ade berharap, Presiden, Panglima TNI, dan Kapolri memberi dukungan kuat kepada Pemda kabupaten Bogor untuk menertibkan Pemilik villa dan bangunan liar di kawasan Puncak.

“Kami minta Presiden, Penglima TNI dan Kapolri menindak anggotanya yang terbukti menghalangi pembongkaran. Dukungan dari Presiden, Panglima TNI dan Kapolri berharga mendukung pembongkaran,” harapnya.

Hukum Berat Aparat Yang Beri Ijin Liar

Sugiyanto

Pengamat politik Masyarakat Pemantau Kebijakan Eksekutif ini menilai, sulitnya membereskan villa-villa liar di kawasan Puncak tidak terlepas dari buruknya implementasi peraturan yang mengatur hal tersebut.  Khususnya yang mengatur perlindungan kawasan konservasi dan hutan lindung.

“Penerapan undang-undang tentang batas alam, daerah konservasi lemah. Makanya saat Villa mau dibongkar tidak mudah, karena pemilik tahu aparat berwajib bisa diajak kompromi untuk memainkan peraturan,” ujarnya, kemarin.

Sugiyanto menyarankan, pemerintah bersama DPR membuat undang-undang baru tentang kawasan konservasi dan hutan lindung yang lebih spesifik dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi dan Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Undang-undang baru itu, harap dia, nantinya mengatur sanksi pidana dan denda yang lebih berat kepada pelanggar. “Pejabat pusat, daerah ataupun TNI/Polri yang melanggar harus dikenai sanksi seberat-beratnya,” katanya.

Dia menegaskan, kawasan puncak merupakan wilayah konservasi dan hutan lindung.

Artinya kawasan tersebut harus terbebas dari bangunan permanen yang merusak ruang terbuka hijau. “Ratakan dengan tanah Villa dan bangunan liar,” pungkasnya. 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA