PNS Pajak Tommy Hindratno Dihukum 3,5 Tahun Penjara

Terbukti Terima Suap Pajak Bhakti Investama

Selasa, 19 Februari 2013, 09:22 WIB
PNS Pajak Tommy Hindratno Dihukum 3,5 Tahun Penjara
Tommy Hindratno
rmol news logo Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Tommy Hindratno 3,5 tahun penjara. Bekas Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi Pajak Sidoarjo Selatan, Jawa Timur ini, terbukti menerima suap retritusi pajak PT Bhakti Investama.

Ketua Majelis Hakim Dharmawati Ningsih membeberkan, Tommy terbukti menerima uang dari PT Bhakti Investama sebesar Rp 280 juta. Penerimaan uang terjadi di sebuah retoran di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, pada 6 Juni 2012. Tommy menerima uang dari tangan terpidana James Gunaryo. James merupakan perantara suap itu.

Majelis hakim menyatakan, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana tercantum dalam dakwaan kedua, Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf (b) Undang Undang Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Atas perbuatannya, Tommy diganjar hukuman penjara 3,5 tahun. Selain itu, dia juga dikenai denda Rp 100 juta subsider kurungan tiga bulan.

“Menjatuhkan pidana penjara tiga tahun enam bulan, denda Rp 100 juta subsider tiga bulan,” tegas Dharmawati dalam sidang pembacaan putusan, kemarin.

Majelis hakim menyatakan, putusan diambil berdasarkan pertimbangan memberatkan dan meringankan. Hal yang memberatkan terdakwa adalah, tindakannya membuat kepercayaan masyarakat terhadap Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menurun. Sedangkan hal yang meringankan, yakni terdakwa mengakui perbuatannya, belum pernah dihukum dan memiliki tanggungan keluarga.

Kendati begitu, Tommy belum bisa menerima vonis hakim tersebut. Dia pun meminta hakim untuk diberi waktu mempertimbangkan, apakah akan mengajukan banding atau tidak. Intinya, dia akan mengkonsultasikan langkah hukum lanjutan dengan tim kuasa hukumnya lebih dulu. “Kami pikir-pikir,” katanya kepada hakim.

Seusai sidang, kuasa hukum Tommy, Tito Hananta Kusuma menyatakan keberatan terhadap putusan majelis hakim. Katanya, banyak kejanggalan terkait putusan hakim. Dia beralasan, tindakan kliennya menerima fee dari James Gunaryo, tidak terkait dengan jabatannya.

Dengan begitu, menurut Tito, perbuatan kliennya tidak bisa dikategorikan sebagai suap atau korupsi. Apalagi, penerimaan uang itu sudah dilaporkan dan dikembalikan kepada KPK. Sehingga, menurutnya, vonis hakim bahwa kliennya menerima gratifikasi dari wajib pajak, tak tepat.

Soalnya, lanjut Tito, kliennya adalah pegawai negeri sipil (PNS) pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Sidoardjo. Sedangkan pihak yang disebut menyuap Tommy, adalah PT Bhakti Investama yang berkedudukan di Jakarta. “Itu sama sekali tidak ada kaiannya dengan konteks jabatannya,” dalih Tito.

Dia beralasan, semestinya penerimaan dana dari PT Bhakti Investama dimasukkan dalam hubungan perteman. Soalnya, dalam kasus ini, Tommy menghubungkan PT Bhakti dengan temannya, Ferri Syarifudin, pegawai pajak di Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk Bursa (KPP-PMB).

Idealnya, pelanggaran itu dimasukkan dalam konteks pelanggaran kode etik. Tetapi, pelanggaran kode etik profesi itu, belanya, tidak bisa serta-merta dikategorikan sebagai pelanggaran tindak pidana. Lantaran itu, dia merekomendasikan agar kliennya mengajukan banding. “Pengacara merekomendasikan banding,” ucapnya.

Tapi, keputusan apakah banding atau tidak, Tito menyerahkan sepenuhnya kepada Tommy. Sebelum sampai pada kesimpulan banding atau tidak, dia ingin berkonsultasi terlebih dahulu dengan kliennya. Dia berharap, Tommy sependapat dengan argumen tim kuasa hukum.

REKA ULANG
Teman-teman Tommy Jadi Saksi

Sejumlah kolega Tommy Hindarto di Ditjen Pajak namanya disebut dalam dakwaan James Gunardjo, perantara dalam kasus suap ini. James lebih dahulu menjadi terpidana kasus ini ketimbang Tommy, kendati hukuman bagi mereka sama-sama 3,5 tahun penjara.

Jaksa menyatakan, James dan Tommy sebelumnya saling kenal. Karena perkenalannya, James minta tolong kepada Tommy agar masalah keberatan dan kelebihan bayar pajak PT Bhakti Investama dibantu. Singkat cerita, Tommy menyanggupi.

Tommy menyatakan akan mempelajari berkas pajak PT Bhakti lebih dulu. “Saya pelajari dulu,” kata Tommy seperti disitir jaksa Agus Salim. Setelah melihat data pajak perusahaan milik Harry Tanoesoedibjo itu, Tommy pun menghubungi Kepala Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk Bursa (KPP-PMB) Hani Masrokim.

Saat itu, Tommy meminta bantuan Hani. Hani menginformasikan, persoalan pajak PT Bhakti ditangani tim yang beranggotakan Agus Totong dan Ferry Syarifudin. Tim tersebut bertugas mengevaluasi pemeriksaan kelebihan pajak (restitusi) senilai Rp 3,4 miliar milik Bhakti.

Beberapa kali, Tommy mengontak Hani. Jaksa mendakwa, tindakan Tommy selaku pegawai negeri sipil salah. Dalam kapasitasnya sebagai pegawai pajak, Tommy telah melakukan tugas layaknya konsultan pajak PT Bhakti.

Lewat Hani, Ferry dan Agus Totong, Tommy mendapatkan informasi mengenai rencana pengembalian pajak lebih bayar milik PT Bhakti. Melalui Tommy, akhirnya PT Bhakti mendapatkan info seputar pemulangan kelebihan pajak yang disetor lewat rekening perusahaan itu di BCA.

Tapi, KPK belum menilai konco-konco Tommy sesama pegawai pajak itu melakukan kesalahan juga. KPK mengkategorikan, tindakan pegawai pajak tersebut diotaki Tommy. Alhasil, kolega Tommy pun masih menyandang status sebagai saksi kasus ini. “Belum terpenuhi dua alat bukti untuk menjerat mereka sebagai tersangka,” kata Kepala Biro Humas KPK Johan Budi, kemarin.

Dia menyebutkan, pemeriksaan para pegawai pajak itu sudah dilakukan penyidik KPK. Namun hasilnya, belum mengarah pada keterlibatan mereka secara langsung. Jadi, tandasnya, penyidik baru menetapkan status tersangka kepada Tommy dan James Gunardjo. Saat dikonfirmasi soal iming-iming yang diberikan Tommy pada koleganya, Johan mengaku belum mengetahui hal itu.

Jaksa dalam dakwaannya pada James pun tidak menyebutkan janji-janji Tommy kepada teman-temannya. Artinya, misteri seputar apakah Tommy akan membagikan uang suap yang diterimanya kepada teman-temannya, belum terjawab secara gamblang.   

Selain itu, Tommy juga aktif menghubugi pihak pemberi suap dan rekan-rekan sesama pegawai pajak. Saat ini, tambahnya, penyidik masih mengembangkan apakah ada keterkaitan pegawai pajak lain. Fakta-fakta yang terungkap di persidangan James Gunardjo, menjadi masukan penyidik. Untuk itu, apa dan bagaimana peran rekan-rekan Tommy di lingkungan Ditjen Pajak masih dihimpun KPK.“Sejak awal, kami sudah memeriksa pegawai pajak yang diduga teman dekat tersangka,” katanya.

Sedikitnya, lima pegawai pajak, yaitu Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi III KPP Pratama Wonocolo, Jatim, Nina Juniarsih, account representative KPP Pratama Wonocolo Rizal Rahmat Hidayat, pegawai Ditjen Pajak Syaifullah, pegawai KPP Pratama Perusahaan Masuk Bursa Hani Masrokim dan Ferry Syarifudin jadi saksi.

Kasus Ini Belum Tuntas Lho...
Hifdzil Alim, Peneliti Pukat UGM

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Hifdzil Alim menilai, sanksi hukuman terhadap pegawai Ditjen Pajak Tommy Hindratno, semestinya diikuti penindakan terhadap oknum lain.

Soalnya, menurut Hifdzil, kasus suap retribusi pajak PT Bhakti Investama, tak hanya melibatkan James Gunaryo sebagai perantara suap dan Tommy Hindratno sebagai penerima suap. Artinya, belum tegas secara hukum, siapa yang menyuap.

Menurutnya, vonis terhadap Tommy dilandasi Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf (b) Undang Undang Tipikor, juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Dari pasal-pasal tersebut, kata dia, jelas terlihat adanya peran signifikan pihak lain. “Artinya, dalam pasal tersebut, penghubung juga bisa dipidana,” ujarnya.

Da menambahkan, argumen tim kuasa hukum yang mengklasifikasi pelanggaran kliennya sebagai pelanggaran etika atau administratif, tidak bisa diterima begitu saja.

Pada aturan hukum mengenai peran penghubung suap, tidak ada ketentuan yang
mengatur bahwa tindakan penghubung masuk kategori pelanggaran administrasi.

Justru, menurut dia, peran siapa pun dalam kasus penggelapan pajak harus dimasukkan dalam klasifikasi pelanggaran tindak pidana.

Dengan begitu, menurutnya, langkah hukum penyidik dan penuntut KPK serta hakim sudah benar. Kalaupun dalil hukum mereka disoal kuasa hukum terdakwa, dia pesimis, upaya banding akan membawa perubahan terhadap vonis yang ada.

Hifdzil menambahkan, langkah yang harus dilakukan penegak hukum saat ini, adalah menindaklanjuti penyelesaian perkara. Soalnya, pasal yang dipakai untuk menyelesaikan perkara ini masih mengesankan dugaan keterlibatan pihak lain.
 
Dengan kata lain, kasus ini belum tuntas. “Bisa berasal dari oknum pajak maupun orang PT Bhakti Investama. Ini hasus segera diselesaikan,” tegasnya.

Berharap Muncul Efek Jera

Aditya Mufti Ariffin, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Aditya Mufti Ariffin menilai, pertimbangan dan putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang menangani perkara Tommy Hidratno, sudah tepat.

Sanksi yang diputus majelis hakim, harap Aditya, bisa membuat jera oknum Direktorat Jenderal Pajak yang diduga kerap melakukan penyelewengan serupa. “Pokok dari sanksi hukuman itu diberikan agar pelaku jera,” kata anggota DPR dari PPP ini.

Dia menilai, putusan 3,5 tahun penjara bagi pegawai Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Tommy Hindratno sudah cukup memberikan atau menggambarkan azas keadilan. Kalaupun vonis ini ditanggapi kecewa oleh pihak terdakwa, hal tersebut lumrah saja.

Apapun pertimbangannya, terdakwa toh tetap bisa mengajukan keberatan dengan cara banding. Jadi, jika tidak terima dengan vonis tersebut, masih terbuka peluang bagi terdakwa untuk menempuh upaya hukum ke pengadilan yang lebih tinggi.

Yang jelas, upaya hukum banding merupakan hak setiap terdakwa. Tinggal bagaimana sikap mereka, apakah akan menempuh jalur banding atau tidak. “Peluang banding itu terbuka. Silakan saja ditempuh jika memang merasa tidak puas dengan putusan hakim tingkat pertama,” ujarnya.

Aditya mengapresiasi langkah hakim. Menurutnya, upaya hakim yang memvonis terdakwa 3,5 tahun penjara sudah bijaksana. Tentu, lanjutnya, vonis diambil setelah menimbang semua aspek hukum yang ada. “Hakim punya kompetensi dalam memutus perkara,” ucapnya.

Lagipula, lanjutnya, hukuman tersebut bisa menjadi parameter agar pelaku kejahatan sejenis menjadi kapok atau jera dalam melakukan pelanggaran. Di lain sisi, idealnya putusan hakim yang berkualitas juga diikuti oleh hakim-hakim lainnya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA