Pemeriksaan Saksi Kasus IM2 Digeber Kejagung

Penyidik Dalami Dugaan Kerugian Negara

Minggu, 27 Januari 2013, 09:18 WIB
Pemeriksaan Saksi Kasus IM2 Digeber Kejagung
ilustrasi

rmol news logo Meski sidang dugaan korupsi penggunaan jaringan frekuensi radio 2,1 GHz/3G PT Indosat dan PT Indosat Mega Media (IM2) sudah bergulir  ke Pengadilan Tipikor Jakarta, Kejaksaan Agung tetap mengembangkan kasus yang diduga merugikan negara Rp 1,3 triliun ini.

Kepala Pusat Penerangan Hu­kum Kejaksaan Agung Setia Un­tung Arimuladi menampik du­ga­an kriminalisasi dalam pe­na­nga­nan perkara ini. “Tidak ada kr­i­mi­nalisasi, semua diusut ber­da­sar­kan mekanisme dan ketentuan perundang-undangan yang berla­ku. Kerugian negaranya pun jelas, sesuai hasil audit BPKP,” ujarnya.

Lantaran itu, menurut Untung, penyidik Kejaksaan Agung tidak ragu-ragu mendalami kerugian negara dalam kasus ini.

Setelah salah seorang terdakwa kasus ini disidang di Pengadilan Tipikor, penyidik mengagen­da­kan pemeriksaan tiga saksi, yaitu Ma­nager Billing and Customer PT IM2 tahun 2007-2009 Sri Wah­yuni Suprapto, Kepala Ca­bang PT IM2 Jawa Barat Rizkant dan Treasury and Collection Ma­nager PT IM2 H Budiyanto.

Pada pukul 10 pagi, Selasa 22 Ja­nuari lalu, Rizkant dan H Bu­di­yanto hadir di Gedung Bundar Kejaksaan Agung untuk me­me­nuhi panggilan penyidik. “Pe­me­rik­saan mereka mengenai pola layanan internet IM2, penagihan dan pembagian keuntungan antara Indosat dengan IM2,” kata Untung.

Kemudian, sejak pukul 10 pagi pada Selasa 15 Januari lalu, pe­nyi­dik memeriksa seorang saksi untuk PT IM2, yakni Group Head Integrated Marketing PT Indosat Guntur S Siboro. “Pemeriksaan itu menyangkut penggunaan ja­ringan frekuensi 2,1 Ghz/3G mi­lik Indosat yang digunakan IM2,” ucap Untung.

Pada Rabu 16 Januari, sejak pu­kul 10 pagi, penyidik meme­rik­sa saksi dari PT Indosat, yakni Manajer IT Development PT In­do­sat Gustinus Bayuaji, Division Head IT Card and Voucher Sup­port M Yazid dan Division Head Contact Center Operation In­sosiana Pelu.

Pada Kamis 17 Januari, untuk tersangka PT Indosat, tersangka PT IM2 dan tersangka bekas Di­rektur Utama PT Indosat Johnny Swandi Syam diagendakan pe­me­riksaan tiga saksi. “Tapi hanya ha­dir satu orang, yakni Nuniek Hendarti yang merupakan bekas Manajer Billing and Custo­mer ­IM2,” ucap Untung.

Dia di­pe­riksa sejak pukul 10 pagi m­e­ngenai persoalan tagihan internet broadband 3G kepada pe­langgan PT IM2.

Adapun dua saksi lainnya adalah Division Head Wholesale Management PT Indosat Su­wig­nyo dan Manajer Distributorship Strategy and Policy PT Indosat Umi Suryani. “Mereka tidak hadir karena kondisi hujan dan banjir,” katanya.

Sedangkan pada 21 Januari 2013, dari pukul 10 pagi, pe­nyi­dik memeriksa tiga saksi dari PT IM2, yakni Manager IT Op­e­ra­tion Syaiful Anwar, Manager Sa­les Retail Bambang Naraya dan Manager Marketing Muhammad Sujai. “Pemeriksaan ini intinya mengenai operasional jasa inter­net broadband yang dilakukan PT IM2 melalui jaringan 3G milik PT Indosat,” ujar Untung.

Kasus ini berawal pada 24 November 2006, dimana PT In­do­sat dan anak perusahaannya, PT IM2 diduga me­nya­lah­gu­na­kan jaringan bergerak seluler pita frekuensi radio 2,1 Ghz atau 3G. Caranya, dengan menjual internet broadband jaringan bergerak se­luler 3G milik Indosat, tapi di­klaim sebagai produk IM2, se­ba­gaimana tertuang dalam pe­r­jan­jian kerja sama dan tertulis pada ke­ma­san internet IM2 3G broad­band. Ke­mudian, data pelanggan peng­g­­u­naan jaringan 3G itu dipisahkan dari data pelanggan Indosat.

Penandatanganan perjanjian antara Direktur Utama IM2 Indar Atmanto dengan Wakil Direktur Utama Indosat Kaizad Bonnie Heerjee terjadi pada 2006. Per­jan­jian itu untuk melakukan pe­nye­lenggaraan jaringan internet 3G secara bersama dengan IM2. Maka, sejak 2006 hingga 2011, IM2 menggunakan jaringan 3G yang dimiliki Indosat.

Kejagung menyangka, langkah Indosat dan IM2 itu melanggar sejumlah ketentuan yang berlaku. Soalnya, yang mengantongi izin jaringan itu dari negara adalah In­dosat, bukan IM2. Sehingga, me­nurut Kejagung, kasus ini me­nim­bulkan kerugian negara Rp 1,3 triliun. Angka itu didapat Ke­ja­gung dari hasil audit BPKP.  

Menurut Kejagung, penye­leng­gara jasa penggunaan jaringan seluler 3G harus memiliki izin sen­diri. Bukan seperti IM2 yang menggunakan jaringan Indosat. Pandangan Kejagung, jaringan telekomunikasi yang dapat di­se­wakan kepada pihak lain, han­ya­lah jaringan tetap tertutup, sesuai Pasal 9 Undang Undang Te­le­ko­munikasi.

REKA ULANG

Ibaratkan Jaringan 3G Dengan Warung Kopi

BEKAS Direktur Utama PT IM2 Indar Atmanto telah menjadi terdakwa perkara dugaan korupsi penggunaan frekuensi radio 2,1 GHz/3G milik PT Indosat oleh Indosat Mega Media (IM2).

Dalam eksepsi (keberatan) Indar yang dibacakan penga­ca­ra­nya, Luhut Pangaribuan, di­sam­paikan bahwa ada kesalahan men­dasar dalam dakwaan jaksa. Ke­salahan itu dianalogikan de­ngan bayar ganda untuk penyewa tanah. “Kalau Anda punya tanah dan sudah bayar semua pajaknya, apakah penyewa untuk warung kopi di tanah itu harus bayar pa­jak bumi bangunannya?” kata Lu­hut saat membacakan eksepsi di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin, 21 Januari lalu.

Bahkan, katanya, dakwaan jak­sa tidak menguraikan tindak pi­da­na yang dilakukan terdakwa. Na­mun, menguraikan perbuatan yang dilakukan PT IM2. “Pada­hal yang didudukkan sebagai ter­dakwa dalam perkara ini bu­kan­lah IM2 selaku badan hukum. De­­ngan demikian, dapat disim­pul­kan bahwa surat dakwaan itu ka­bur karena keliru mengenai pert­anggung jawaban orang,” belanya.

Surat dakwaan, lanjut Luhut, juga tak menguraikan secara jelas dan lengkap tentang ketentuan tindak pidana yang didakwakan. Soalnya, Indar bukan pegawai ne­­geri melainkan karyawan swas­­ta, dimana belum ada pera­tu­ran per­un­dangan yang dapat diterapkan terhadap terdakwa dan PT IM2 se­bagai badan hukum perdata.

Dengan demikian, menurut Luhut, terdakwa dan PT IM2 ti­dak dapat didakwa sebagai pe­la­ku tin­dak pidana korupsi, karena belum ada ketentuan tentang tin­dak pi­da­na korupsi yang di­la­ku­kan swasta.

Menurut Luhut, surat dakwaan jak­sa keliru. Soalnya, kata dia, pe­nyelenggara jasa multimedia yang terdiri atas penyelenggara jasa akses internet diperkenankan menggunakan atau menyewa ja­ringan milik penyelenggara ja­ri­ngan telekomunikasi. Hal itu di­atur­ dalam Pasal 4 ayat 1 juncto Pa­sal 9 ayat 2 UU Telekomunikasi.

Dalam surat dakwaan, Indar ber­sama-sama bekas Wakil Di­gunakan jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi, dalam hal ini PT Indosat. Mereka juga me­nye­diakan jasa akses internet sebagai salah satu produknya. Padahal, IM2 dalam hal ini cuma bisa men­­ggunakan jaringan tertutup.

Disebutkan pula, berdasarkan Pasal 25 ayat 1 PP Nomor 53 tahun 2000, Indosat tak dapat mengalihkan penyelenggaraan jaringan 3G kepada pihak lain. Tetapi, IM2 tetap membayar up front fee dan biaya hak peng­gu­naan pita frekuensi radio 2,1 GHz untuk penyediaan jasa akses inter­net broadband melalui jari­ngan 3G milik Indosat. Padahal, peng­gu­na­an frekuensi itu tidak dapat di­alih­kan tanpa izin menteri.

Satu Terdakwa Bukan Prestasi

Taslim Chaniago, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Tas­lim Chaniago meminta Ke­jaksaan Agung tidak gentar mengusut perkara dugaan ko­rupsi penggunaan jaringan 3G PT Indosat oleh anak peru­sa­haannya, PT Indosat Mega Me­dia (IM2).

“Karena diduga dilakukan banyak orang, maka siapa saja yang diduga terlibat dalam ka­sus ini harus diproses sampai tun­tas di pengadilan, termasuk kor­­porasi dan anak perusa­ha­an­nya,” ujar anggota DPR dari Fraksi PAN ini.

Taslim juga mengingatkan Ke­jaksaan Agung agar serius me­lakukan upaya penyelama­tan kerugian negara dalam ka­sus ini. Apalagi, kerugian ke­uangan negara dalam kasus ini menurut Badan Penga­wa­san Ke­uangan dan Pemba­ngu­nan (BPKP) sangat besar, ya­itu Rp 1,3 triliun.

“Kerugian ne­­ga­ra harus di­amankan Kejaksaan Agung,” tandasnya.

Taslim menambahkan, bukan prestasi bagi kejaksaan jika ha­nya bisa membawa seorang ter­sangka kasus ini sebagai ter­dak­wa di Pengadilan Tipikor.

“Kejaksaan harus m­e­nun­taskan kasus ini. Kalau baru sampai pada mantan Dirut IM2 saja, ini masih jauh dari pe­nun­tasan kasus. Semua pihak yang di­duga terlibat dan bertang­gung ja­wab mesti diproses hukum.”

Taslim juga menyampaikan, salah satu cara untuk mem­per­cepat penuntasan pengusutan kasus adalah memberikan target penyelesaian. Apabila sebuah kasus sudah ada tersangkanya yang masuk ke pengadilan, maka penyidikan terhadap ter­sangka lain harus diberi target waktu penyelesaian.

“Apabila tidak diselesaikan dalam waktu yang sudah ditar­get­kan, maka jaksa yang me­na­ngani kasus ini mesti dijatuhi sanksi,” ujarnya.

Masih Jarang Diterapkan

Yenti Garnasih, Pakar Hukum

Pakar hukum Yenti Garnasih menyampaikan, pengusutan perkara dugaan korupsi kor­porasi ini mesti dituntaskan Ke­jaksaan Agung. Sebab, jumlah kerugian negaranya ber­da­sar­kan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangu­nan (BPKP) sangat besar, yaitu Rp 1,3 triliun.

“Tadinya saya pikir, kasus ini masih sekitar izin PT IM2 yang jadi satu dengan PT Indosat. Ka­l­au memang ada kerugian ke­uangan negara, ya harus di­usut. Kejaksaan Agung jangan malah tampak kelihatan ragu,” kata Yenti.

Menurutnya, coorporate cri­mes reponsipility atau pertang­gun­gjawaban korporasi me­mang masih jarang diterapkan, namun bukan berarti tidak bisa. “Pengakuan bahwa korporasi dapat dipidana itu sudah ada dan dikenal sejak tahun 1951. Tapi, penegak hukum belum biasa menerapkan itu,” ucapnya.

Meski begitu, Yenti berharap, Ke­jaksaan Agung mampu mem­perlihatkan kinerjanya me­ngusut perkara dugaan korupsi korporasi ini sampai tuntas.

“Bu­kannya pesimis, tapi kepoli­sian yang tugas utamanya me­nyidik tidak pernah bisa me­n­je­rat korporasi, apalagi kejak­sa­an yang tugas utam­a­nya me­nun­tut,” katanya.

Dia menambahkan, hampir se­mua Undang Undang di luar KUHP mengatur tentang per­tanggungjawaban korporasi, ter­masuk Undang Undang Pem­berantasan Tindak Pidana Korupsi. “Jadi, sangat mungkin me­ngusut kasus ini dari sisi per­tang­gungjawaban ko­r­pora­si­nya. Tapi, sepengetahuan saya, kasus seperti ini belum pernah di­sidik sampai ke kor­po­rasinya.”

Persoalannya, menurut Yenti, teori tentang coorporate crimes belum dipahami betul oleh pe­negak hukum. “Seperti asas ke­salahan dan penjatuhan pi­da­na­nya, termasuk pidana tam­ba­han. Tapi, itu semua bisa di­pe­lajari kalau mau. Kejahatan kor­porasi, mata kuliahnya saja ada tuh,” ucapnya.

Yenti menegaskan, seringkali kasus seperti ini tidak tuntas ka­re­na masalah profesionalitas dan kemauan yang tidak kuat. “Ini, soal integritas tanggung­ja­wab profesi juga,” katanya.  [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA