.Aset pemerintah di Jakarta masih terselar luas dan banyak yang dikomersilkan. Ironisnya, masih ada kementerian yang kantornya tak layak huni. Ada juglembaga negara yang masih belum memiliki gedung sendiri.
Kantor Ombudsman RepuÂblik Indonesia di Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan misalnya. Lembaga ini bertugas menamÂpung berbagai keluhan maÂsyaÂraÂkat terhadap kinerja peÂmeÂrinÂtah daÂlam memberikan laÂyanan.
Ribuan aduan ditampung dan diÂanalisis lembaga ini, keÂmuÂdian jadi rekomendasi terhaÂdap lemÂbaga yang diadukan maÂsyarakat. Pemerintah berkepenÂtiÂngan terÂhadap lembaga ini untuk sarana mereformasi diri.
Tapi nyatanya, gedung tempat maÂsyarakat berkeluh kesah ini jauh dari layak. Sekalipun beraÂda di lokasi strategis, gedung OmÂÂbudsÂÂman bisa dikatakan kuÂmuh. PeÂnampilan luarnya tamÂpak kuÂsam. Masuk ke lobi geÂdung diÂsamÂbut dengan tata letak seÂÂadaÂnya. Bahkan toiletnya kotor, bau, dan fasilitasÂnya tidak lengkap.
Akses menuju ke kantor lemÂbaÂga yang baru berdiri tahun 2008 ini, hanya berupa lift tua. UkuÂrannya sangat kecil dan jalannya lambat. KetidakÂnyaÂmaÂnan seperÂtinya inilah yang akan dirasakan pengunjung jika ingin menyamÂpaikan keluhan terÂhaÂdap pelaÂyanan publik pemerinÂtah. Sangat mengenaskan.
Ada lagi, kantor Kementerian Pembangunan Daerah TerÂtingÂgal di Jalan Abdul Muis, JaÂkarÂta PuÂsat.
Di pagar gedung ini tertulis KeÂmenterian Pembangunan DaeÂÂrah Tertinggal dan KemenÂterian PemÂberdayaan Perempuan dan PerÂlindungan Anak.
Dua Kementerian ini berada dalam satu gedung. Di lantai 1-8 digunakan Kemen PDT. SeleÂbihnya diÂmanfaatkan KementeÂrian PemÂberdayaan Perempuan dan PerlinÂdungan Anak.
Bila dilihat secara estetika, peÂnampilan gedung KPDT dengan gedung Mahkamah Konstitusi yang berada di sebelahnya, bagai bumi dan langit. Gedung MahÂkamah Konstitusi yang berdiri tepat di samping kanan tampak begitu megah dan canggih. Luas gedung KPDT tidak ada setengah gedung MK. Begitupun dari deÂsain interior kedua gedung itu, kanÂtor KPDT terlihat seadanya saÂja, sedangkan gedung MK berÂdesain eropa modern.
Sekretaris Menteri PembanguÂnan Daerah Tertinggal, Nurdin MT mengakui, fasilitas yang ada di gedung tempatnya berkantor meÂÂmang seadanya.
Bahkan, 366 orang pegawai terpaksa umpel-umÂpelan.â€Ada yang terpaksa bekerja di lorong-lorong, bahkan ada yang terÂpaksa berÂkantor di ruang sirÂkulasi udaÂra. Ini berbahaya seÂbetulÂnya,†kataÂnya saat berÂbinÂcang dengan Rakyat Merdeka, baru-baru ini.
Dengan kondisi tersebut, KPDT tidak membuat perencaÂnaan dan mengajukan anggaran pemÂÂbangunan gedung, karena keÂbiÂÂjaÂkan pemerintah membatasi beÂlanja modal demi pembanguÂnan infrastruktur.
“Kami ikuti kebijakan pemeÂrinÂtah untuk menghemat belanja modal dan memberikan porsi besar untuk pembangunan inÂfrasÂtruktur di daerah-daerah terÂtingÂgal,â€ujarnya.
Kemen PPA bernasih mujur. Tahun ini, akan pindah gedung karena sudah punya gedung baru. Dengan beÂgitu persoalan ruang yang selama ini terjadi bisa sedikit teratasi.
Nurdin mengaku sudah menÂsurvei empat lantai di atas untuk segera diubah menjadi kantor Kemen PDT begitu Kemen PPA-lah pindah kantor.
“Kinerja kami tetap bagus waÂÂlauÂpun kondisi kantor seÂadaÂnya. MuÂdah-mudahan tahun ini bisa sedikit lega dengan mengÂgunaÂkan empat lantai di atas,†harapÂnya.
KPK Pinjam Milik Kemenkeu
Nasib serupa diderita lembaga-lembaga non-struktural (LNS). Sudah anggarannya relaÂtif lebih kecil daripada kemenÂteÂrian, geÂdung yang digunakan unÂtuk kanÂtor pun masih numÂpang di gedung lembaga lain. Saat ini sedikitnya tercatat ada 88 lembaga nonsÂtruktural. Dari jumÂlah terseÂbut, rencananya pemeÂrinÂtah akan menghapus empat lembaga, dan melebur tujuan embaga lain dengan keÂmenterian.
Dari keseluruhan LNS terseÂbut, ternyata ada yang tidak meÂmiliki gedung sendiri. Beberapa di antaranya melakukan sistem pinjam pakai terhadap gedung yang dimiliki Sekretariat Negara (Setneg) atau Kementerian KeuaÂngan (Kemenkeu).
Lembaga-lembaga yang melaÂkukan pinjam pakai tersebut di anÂtaranya Ombudsman, KomiÂsi PemÂberantasan Korupsi (KPK), KoÂmisi Pengawas Persaingan UsaÂha (KPPU), Komisi PerlinÂduÂngan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) dan Bawaslu.
Ambil contoh KPK. Sejak berÂdiri pada 2004, lembaga superÂbody ini masih menumpang di geÂdung milik Kemenkeu. PadaÂhal lembaÂga yang dikomandoi Abraham Samad ini sudah meÂngajukan gedung baru tiga kali, 2008, 2009, dan 2011.
Pada tahun 2008 dan 2009, perÂÂmintaan anggaran untuk geÂdung baÂru itu ditolak dengan alaÂsan angÂÂÂgaÂran gedung baru belum bisa diÂjaÂdikan prioritas. Selama ini yang digunakan sebagai kanÂtor pusat KPK adalah gedung miÂlik DitÂjen KeÂkayaan Negara (DJKN) KeÂmenÂkeu dengan status pinÂjam paÂkai, tanÂpa dipungut biaya alias gratis.
KPK mungkin sedikit lebih beÂruntung, sebab tahun ini anggaran pembangunan gedung yang seÂbelumnya dibintangi DPR kini teÂlah disetujui.
Pembangunan geÂdung baru pun akan direalisasiÂkan mulai tahun depan. Walaupun untuk mendapatkan persetujuan DPR itu perlu dorongan publik yang sangat kuat.
Komnas HAM Tempati Gedung Cagar Budaya Milik Sekretariat Negara
Komnas HAM tidak seberunÂtung KPK. Sampai saat ini geÂdung yang mereka tempati sejak 1993 itu merupakan gedung caÂgar budaya yang menjadi milik SetÂneg. Komnas HAM mengalaÂmi dilema mengÂajukan anggaran gedung baru.
Di satu sisi, Komnas HAM meÂmerlukan gedung baru mengingat kapasitas gedung yang digunakan saat ini sudah tidak memadai. Di sisi lain, Komnas HAM ingin memÂpertahankan lokasi yang diÂtempati saat ini agar tidak memÂperÂsulit masyarakat mengÂajukan laporan.
Setiap tahun, Komnas HAM selalu mengajukan anggaran, tapi tahun 2009 lalu terjadi Bom KuÂningan, pengajuan tersebut dibaÂtalÂkan. Sebab anggaran pemÂbaÂngunan gedung baru milik semua instansi dipergunakan untuk meÂrenovasi daerah Kuningan, dan memperkuat densus 88.
Seperti peÂngajuan-pengajuan tahun sebeÂlumnya, pada 2010 lalu, Komnas HAM juga mengÂajukan dua opsi, yaitu memÂbangun gedung baru atau melaÂkukan renovasi total. Kedua opsi itu sama-sama meneÂlan biaya besar.
Sebagai informasi, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara KeÂmenÂterian Keuangan mencatat baÂrang milik negara (BMN) niÂlainya kini mencapai Rp 726,33 triliun. Jumlah tersebut melonjak 400 perÂsen dibanding tahun 2006 yang niÂlaiÂnya sebesar Rp 323,52 triliun.
“Tren BMN mengalami tren poÂsitif. LKPP mengalami peÂningÂkatan tiap tahun, walaupun belum mencapai opini tertinggi,†kata Dirjen Kekayaan Negara KeÂmenÂkeu Hadiyanto.
Menurutnya, tren positif pengeÂlolaan BMN didorong tingÂginya realisasi utilisasi BMN. Pada 2011, misalnya, dari target utiÂliÂsasi sebesar Rp102,39 triliun, realisaÂsinya sampai kuartal II 2012 sebeÂsar Rp 41,4 triliun.
MeÂÂnuÂrutnya, unÂtuk meningkatÂkan reaÂlisasi utiÂlisasi BMN, Ditjen KeÂkayaan NeÂgara tengah berÂkoorÂdiÂnasi dengan Kementerian atau Lembaga segera meÂlaksaÂnakan penetapan status pengguÂnaÂan atas BMN yang diguÂnakan daÂlam rangÂka peÂnunjang tugas KeÂmenterian atau Lembaga.
Hadiyanto mencontohkan, ada beberapa tanah milik negara yang telah beralih fungsi, misalnya StaÂdion Utama Gelora Bung KarÂno, Hotel Sultan, dan beberapa lagi diÂgunakan sebagai lapangan golf. “Itu ada transaksinya, kalau ada yang kurang benar, dibetulÂkan karena itu tugas kita,â€tuÂkasnya.
Menurutnya, proses tukar guÂling aset itu sudah dilakukan berÂdasarkan sistem tertentu dan suÂdah adanya transaksi pada masa lalu.
“Pak Menteri message-nya kaÂlau itu tidak benar maka ke deÂpan aset negara itu harus dijaga,†tanÂdasnya.
Anak buah Agus MartowarÂdojo itu menegaskan yang terpenÂting saat ini bagaimana bisa menÂjaga terus dan menginventarisir aset neÂgara sehingga dapat dimanÂfaatÂkan demi kepentingan negara.
Dia menyebutkan, sebelum ada inventarisasi dan penilaian aset negara, ada beberapa gedung yang meÂrupakan aset negara hanya diÂhargai satu rupiah.
Daripada Mencari-cari, Lebih Baik Difasilitasi
Zainun Ahmadi, Anggota Komisi II DPR
Sunggguh ironis saat ini maÂÂsih saja ada kementerian/lemÂbaga negara yang belum memiÂliki kantor sendiri dan harus numpang ke instansi lain.
Yang memilukan kemenÂteÂrian/lembaga yang menumÂpang itu bersentuhan langsung deÂngan kepentingan publik.
Parahnya lagi, ada sejumlah aset yang justru dikomerÂsiaÂlisaÂkan, padahal keuntungan dari koÂmersialisasi ini tidak sebeÂrapa.
Mengapa aset itu tidak dikeÂloÂla dan memberikan manfaat yang besar, minimal untuk keÂmenterian atau lembaga negara sendiri.
“Kementerian atau lembaga neÂgara yang belum punya geÂdung yah diberikan dong geÂdung.â€
Saat ini, ada juga aset yang dibiarkan menganggur. Ambil contoh di kawasan Kemayoran, Jakarta. Di tanah seluas 400-an hektar milik Kementerian SeÂkretariat Negara (Setneg) masih banyak lahan kosong. SayangÂnya, lahan itu dibiarkan kosong tanpa memberikan kontribusi buat negara.
Padahal, seandainya saja aset itu digunakan, dibangun geÂdung perkantoran untuk keperÂluan pelayanan, tentu Badan NaÂsional Penanggulangan BenÂcana tidak akan meminta angÂgaran untuk membeli dan memÂbangun gedung baru yang reÂpresentatif. Sebab, BNPB itu buÂÂtuh tempat luas untuk meÂnyimpang peralatan-peralatan penting.
Apalagi kalau melihat marÂkas BNPB saat ini sangat tidak layak. Mereka masih menumÂpang tempat di gedung milik SetÂÂneg. Gedungnya tua dan haÂrus berbagi ruang bersama KPPU dan lembaga-lembaga lain di sana.
Mestinya, selain mendata keÂkaÂyaan, pemerintah juga perÂhatian kepada lembaga-lemÂbaga negara yang masih meÂnumpang itu.
“Kalau perlu dibuatkan seÂmacam cluster yang akses transÂÂportasinya bagus untuk meÂmudahkan kerja mereka."
Apabila lembaga-lembaga negara itu meminta, mencari, membeli dan membangun keÂbuÂtuhan gedungnya sendiri hal itu sangat rawan korupsi dan tidak efisien.
“Contohnya korupsi pengaÂdaan tanah yang menjerat salah satu komisioner Komisi YuÂdiÂsial. Itu harus menjadi pemÂbeÂlajaran bahwa pengaÂdaan aset negara itu rawan diÂkoÂrupsi.â€
Makanya, pemerintah harus memanfaatkan aset dengan sebaik-baiknya demi kepentiÂngan negara. “Daripada dibiarÂkan lembaga-lembaga negara itu mencari sendiri gedung unÂtuk keperluan mereka, lebih baik difasilitasi negara.â€
Selain itu, pemerintah juga seÂÂharusnya mendata mana-maÂna kementerian/lembaga yang kelebihan aset. Alangkah baikÂnya jika semua lembaga negara itu mempunyai aset yang seimÂbang.
Tidak ada yang kelebihan dan tidak ada yang kekurangan. Kementerian Keuangan yang harus ambil peran. Harus diÂcamÂkan, aset itu harus diguÂnaÂkan semata-mata demi kepenÂtingan negara.
Tanda Bintang Dihapus, Bisa Segera Direalisasikan
Agus Martowardojo, Menteri Keuangan
Kementerian Keuangan sedang mendata sejumlah lemÂbaga pemerintah yang masih memerlukan gedung kosong untuk ditempati menjadi kantor, termasuk Komisi PemberanÂtasan Korupsi.
Untuk memberikan gedung baru kepada KPK sebetulnya realisasinya mudah. Syaratnya, Komisi III DPR menghapus tanda bintang dalam daftar isian anggaran proyek (DIPA) KPK tahun 2012.
“Tanda bintang diterjemahÂkan sebagai proyek pemerintah yang sudah dibahas namun anggarannya belum dapat diÂkucurkan sebelum ada perseÂtuÂjuan DPR dan pemerintah.â€
Dalam DIPA tahun 2012, anggaran yang disiapkan untuk membangun gedung baru KPK mencapai Rp 60 miliar.
Catatan Kemenkeu, pemÂbangunan gedung baru KPK rencananya akan dilakukan leÂwat skema multiyears.
“Tapi untuk tahun 2012 maÂsih dibintangi dan masih pemÂÂbaÂÂÂÂhasan. Kalau bintang leÂpas, maÂÂÂka bisa direalisasikan.†[Harian Rakyat Merdeka]
< SEBELUMNYA
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: