Banyak Lembaga Negara Tak Punya Kantor Sendiri

Kementerian PDT & PPA Berada Di Satu Gedung

Minggu, 04 November 2012, 08:55 WIB
Banyak Lembaga Negara Tak Punya Kantor Sendiri
Kementerian PDT
rmol news logo .Aset pemerintah di Jakarta masih terselar luas dan banyak yang dikomersilkan. Ironisnya, masih ada kementerian yang kantornya tak layak huni. Ada juglembaga negara yang masih belum memiliki gedung sendiri.

Kantor Ombudsman Repu­blik Indonesia di Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan misalnya. Lembaga ini bertugas menam­pung berbagai keluhan ma­sya­ra­kat terhadap kinerja pe­me­rin­tah da­lam memberikan la­yanan.

Ribuan aduan ditampung dan di­analisis lembaga ini, ke­mu­dian jadi rekomendasi terha­dap lem­baga yang diadukan ma­syarakat. Pemerintah berkepen­ti­ngan ter­hadap lembaga ini untuk sarana mereformasi diri.

Tapi nyatanya, gedung tempat ma­syarakat berkeluh kesah ini jauh dari layak. Sekalipun bera­da di lokasi strategis, gedung Om­­buds­­man bisa dikatakan ku­muh. Pe­nampilan luarnya tam­pak ku­sam. Masuk ke lobi ge­dung di­sam­but dengan tata letak se­­ada­nya. Bahkan toiletnya kotor, bau, dan fasilitas­nya tidak lengkap.

Akses menuju ke kantor lem­ba­ga yang baru berdiri tahun 2008 ini, hanya berupa lift tua. Uku­rannya sangat kecil dan jalannya lambat. Ketidak­nya­ma­nan seper­tinya inilah yang akan dirasakan pengunjung jika ingin menyam­paikan keluhan ter­ha­dap pela­yanan publik pemerin­tah. Sangat mengenaskan.

Ada lagi, kantor Kementerian Pembangunan Daerah Ter­ting­gal di Jalan Abdul Muis, Ja­kar­ta Pu­sat.

Di pagar gedung ini tertulis Ke­menterian Pembangunan Dae­­rah Tertinggal dan Kemen­terian Pem­berdayaan Perempuan dan Per­lindungan Anak.

Dua Kementerian ini berada dalam satu gedung. Di lantai 1-8 digunakan Kemen PDT. Sele­bihnya di­manfaatkan Kemente­rian Pem­berdayaan Perempuan dan Perlin­dungan Anak.

Bila dilihat secara estetika, pe­nampilan gedung KPDT dengan gedung Mahkamah Konstitusi yang berada di sebelahnya, bagai bumi dan langit. Gedung Mah­kamah Konstitusi yang berdiri tepat di samping kanan tampak begitu megah dan canggih. Luas gedung KPDT tidak ada setengah gedung MK. Begitupun dari de­sain interior kedua gedung itu, kan­tor KPDT terlihat seadanya sa­ja, sedangkan gedung MK ber­desain eropa modern.

Sekretaris Menteri Pembangu­nan Daerah Tertinggal, Nurdin MT mengakui, fasilitas yang ada di gedung tempatnya berkantor me­­mang seadanya.

Bahkan, 366 orang pegawai terpaksa umpel-um­pelan.”Ada yang terpaksa bekerja di lorong-lorong, bahkan ada yang ter­paksa ber­kantor di ruang sir­kulasi uda­ra. Ini berbahaya se­betul­nya,” kata­nya saat ber­bin­cang dengan Rakyat Merdeka, baru-baru ini.

Dengan kondisi tersebut, KPDT tidak membuat perenca­naan dan mengajukan anggaran pem­­bangunan gedung, karena ke­bi­­ja­kan pemerintah membatasi be­lanja modal demi pembangu­nan infrastruktur.

“Kami ikuti kebijakan peme­rin­tah untuk menghemat belanja modal dan memberikan porsi besar untuk pembangunan in­fras­truktur di daerah-daerah ter­ting­gal,”ujarnya.

Kemen PPA bernasih mujur. Tahun ini, akan pindah gedung karena sudah punya gedung baru. Dengan be­gitu persoalan ruang yang selama ini terjadi bisa sedikit teratasi.

Nurdin mengaku sudah men­survei empat lantai di atas untuk segera diubah menjadi kantor Kemen PDT begitu Kemen PPA-lah pindah kantor.

“Kinerja kami tetap bagus wa­­lau­pun kondisi kantor se­ada­nya. Mu­dah-mudahan tahun ini bisa sedikit lega dengan meng­guna­kan empat lantai di atas,” harap­nya.

KPK Pinjam Milik Kemenkeu

Nasib serupa diderita lembaga-lembaga non-struktural (LNS). Sudah anggarannya rela­tif lebih kecil daripada kemen­te­rian, ge­dung yang digunakan un­tuk kan­tor pun masih num­pang di gedung lembaga lain. Saat ini sedikitnya tercatat ada 88 lembaga nons­truktural. Dari jum­lah terse­but, rencananya peme­rin­tah akan menghapus empat lembaga, dan melebur tujuan embaga lain dengan ke­menterian.

Dari keseluruhan LNS terse­but, ternyata ada yang tidak me­miliki gedung sendiri. Beberapa di antaranya melakukan sistem pinjam pakai terhadap gedung yang dimiliki Sekretariat Negara (Setneg) atau Kementerian Keua­ngan (Kemenkeu).

Lembaga-lembaga yang mela­kukan pinjam pakai tersebut di­ an­taranya Ombudsman, Komi­si Pem­berantasan Korupsi (KPK), Ko­misi Pengawas Persaingan Usa­ha (KPPU), Komisi Perlin­du­ngan Anak Indonesia (KPAI),  Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) dan Bawaslu.

Ambil contoh KPK. Sejak ber­diri pada 2004, lembaga super­body ini masih menumpang di ge­dung milik Kemenkeu. Pada­hal lemba­ga yang dikomandoi Abraham Samad ini sudah me­ngajukan gedung baru tiga kali, 2008, 2009, dan 2011.

Pada tahun 2008 dan 2009, per­­mintaan anggaran untuk ge­dung ba­ru itu ditolak dengan ala­san ang­­­ga­ran gedung baru belum bisa di­ja­dikan prioritas. Selama ini yang digunakan sebagai kan­tor pusat KPK adalah gedung mi­lik Dit­jen Ke­kayaan Negara (DJKN) Ke­men­keu dengan status pin­jam pa­kai, tan­pa dipungut biaya alias gratis.

KPK mungkin sedikit lebih be­runtung, sebab tahun ini anggaran pembangunan gedung yang se­belumnya dibintangi DPR kini te­lah disetujui.

Pembangunan ge­dung baru pun akan direalisasi­kan mulai tahun depan. Walaupun untuk mendapatkan persetujuan DPR itu perlu dorongan publik yang sangat kuat.

Komnas HAM Tempati Gedung Cagar Budaya Milik Sekretariat Negara

Komnas HAM tidak seberun­tung KPK. Sampai saat ini ge­dung yang mereka tempati sejak 1993 itu merupakan gedung ca­gar budaya yang menjadi milik Set­neg. Komnas HAM  mengala­mi dilema meng­ajukan anggaran gedung baru.

Di satu sisi, Komnas HAM me­merlukan gedung baru mengingat kapasitas gedung yang digunakan saat ini sudah tidak memadai. Di sisi lain, Komnas HAM ingin mem­pertahankan lokasi yang di­tempati saat ini agar tidak mem­per­sulit masyarakat meng­ajukan laporan.

Setiap tahun, Komnas HAM selalu mengajukan anggaran, tapi tahun 2009 lalu terjadi Bom Ku­ningan, pengajuan tersebut diba­tal­kan. Sebab anggaran pem­ba­ngunan gedung baru milik semua instansi dipergunakan untuk me­renovasi daerah Kuningan, dan memperkuat densus 88.

Seperti pe­ngajuan-pengajuan tahun sebe­lumnya, pada 2010 lalu, Komnas HAM juga meng­ajukan dua opsi, yaitu mem­bangun gedung baru atau mela­kukan renovasi total. Kedua opsi itu sama-sama mene­lan biaya besar.

Sebagai informasi, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Ke­men­terian Keuangan mencatat ba­rang milik negara (BMN) ni­lainya kini mencapai Rp 726,33 triliun. Jumlah tersebut melonjak 400 per­sen dibanding tahun 2006 yang ni­lai­nya sebesar Rp 323,52 triliun.

“Tren BMN mengalami tren po­sitif. LKPP mengalami pe­ning­katan tiap tahun, walaupun belum mencapai opini tertinggi,” kata Dirjen Kekayaan Negara Ke­men­keu Hadiyanto.

Menurutnya, tren positif penge­lolaan BMN didorong ting­ginya realisasi utilisasi BMN. Pada 2011, misalnya, dari target uti­li­sasi sebesar Rp102,39 triliun, realisa­sinya sampai kuartal II 2012 sebe­sar Rp 41,4 triliun.

Me­­nu­rutnya, un­tuk meningkat­kan rea­lisasi uti­lisasi BMN, Ditjen Ke­kayaan Ne­gara tengah ber­koor­di­nasi dengan Kementerian atau Lembaga segera me­laksa­nakan penetapan status penggu­na­an atas BMN yang digu­nakan da­lam rang­ka pe­nunjang tugas Ke­menterian atau Lembaga.

Hadiyanto mencontohkan, ada beberapa tanah milik negara yang telah beralih fungsi, misalnya Sta­dion Utama Gelora Bung Kar­no, Hotel Sultan, dan beberapa lagi di­gunakan sebagai lapangan golf. “Itu ada transaksinya, kalau ada yang kurang benar,  dibetul­kan karena itu tugas kita,”tu­kasnya.

Menurutnya, proses tukar gu­ling aset itu sudah dilakukan ber­dasarkan sistem tertentu dan su­dah adanya transaksi pada masa lalu.

“Pak Menteri message-nya ka­lau itu tidak benar maka ke de­pan aset negara itu harus dijaga,” tan­dasnya.

Anak buah Agus Martowar­dojo itu menegaskan yang terpen­ting saat ini bagaimana bisa men­jaga terus dan menginventarisir aset ne­gara sehingga dapat diman­faat­kan demi kepentingan negara.

Dia menyebutkan, sebelum ada inventarisasi dan penilaian aset negara, ada beberapa gedung yang me­rupakan aset negara hanya di­hargai satu rupiah.

Daripada Mencari-cari, Lebih Baik Difasilitasi

Zainun Ahmadi, Anggota Komisi II DPR

Sunggguh ironis saat ini ma­­sih saja ada kementerian/lem­baga negara yang belum memi­liki kantor sendiri dan harus numpang ke instansi lain.

Yang memilukan kemen­te­rian/lembaga yang menum­pang itu bersentuhan langsung de­ngan kepentingan publik.

Parahnya lagi, ada sejumlah aset yang justru dikomer­sia­lisa­kan, padahal keuntungan dari ko­mersialisasi ini tidak sebe­rapa.

Mengapa aset itu tidak dike­lo­la dan memberikan manfaat yang besar, minimal untuk ke­menterian atau lembaga negara sendiri.

“Kementerian atau lembaga ne­gara yang belum punya ge­dung yah diberikan dong ge­dung.”

Saat ini, ada juga aset yang dibiarkan menganggur. Ambil contoh di kawasan Kemayoran, Jakarta. Di tanah seluas 400-an hektar milik Kementerian Se­kretariat Negara (Setneg) masih banyak lahan kosong. Sayang­nya, lahan itu dibiarkan kosong tanpa memberikan kontribusi buat negara.

Padahal, seandainya saja aset itu digunakan, dibangun ge­dung perkantoran untuk keper­luan pelayanan, tentu Badan Na­sional Penanggulangan Ben­cana tidak akan meminta ang­garan untuk membeli dan mem­bangun gedung baru yang re­presentatif. Sebab, BNPB itu bu­­tuh tempat luas untuk me­nyimpang peralatan-peralatan penting.

Apalagi kalau melihat mar­kas BNPB saat ini sangat tidak layak. Mereka masih menum­pang tempat di gedung milik Set­­neg. Gedungnya tua dan ha­rus berbagi ruang bersama KPPU dan lembaga-lembaga lain di sana.

Mestinya, selain mendata ke­ka­yaan, pemerintah juga per­hatian kepada lembaga-lem­baga negara yang masih me­numpang itu.

“Kalau perlu dibuatkan se­macam cluster yang akses trans­­portasinya bagus untuk me­mudahkan kerja mereka."

Apabila lembaga-lembaga negara itu meminta, mencari, membeli dan membangun ke­bu­tuhan gedungnya sendiri hal itu sangat rawan korupsi dan tidak efisien.

“Contohnya korupsi penga­daan tanah yang menjerat salah satu komisioner Komisi Yu­di­sial. Itu harus menjadi pem­be­lajaran bahwa penga­daan aset negara itu rawan di­ko­rupsi.”

Makanya, pemerintah harus memanfaatkan aset dengan sebaik-baiknya demi kepenti­ngan negara. “Daripada dibiar­kan lembaga-lembaga negara itu mencari sendiri gedung un­tuk keperluan mereka, lebih baik difasilitasi negara.”

Selain itu, pemerintah juga se­­harusnya mendata mana-ma­na kementerian/lembaga yang kelebihan aset. Alangkah baik­nya jika semua lembaga negara itu mempunyai aset yang seim­bang.

Tidak ada yang kelebihan dan tidak ada yang kekurangan.  Kementerian Keuangan yang harus ambil peran. Harus di­cam­kan, aset itu harus digu­na­kan semata-mata demi kepen­tingan negara.

Tanda Bintang Dihapus, Bisa Segera Direalisasikan

Agus Martowardojo, Menteri Keuangan

Kementerian Keuangan sedang mendata sejumlah lem­baga pemerintah yang masih memerlukan gedung kosong untuk ditempati menjadi kantor, termasuk Komisi Pemberan­tasan Korupsi.

Untuk memberikan gedung baru kepada KPK sebetulnya realisasinya mudah. Syaratnya, Komisi III DPR menghapus tanda bintang dalam daftar isian anggaran proyek (DIPA) KPK tahun 2012.

“Tanda bintang diterjemah­kan sebagai proyek pemerintah yang sudah dibahas namun anggarannya belum dapat di­kucurkan sebelum ada perse­tu­juan DPR dan pemerintah.”

Dalam DIPA tahun 2012, anggaran yang disiapkan untuk membangun gedung baru KPK mencapai Rp 60 miliar.

Catatan Kemenkeu, pem­bangunan gedung baru KPK rencananya akan dilakukan le­wat skema multiyears.

“Tapi untuk tahun 2012 ma­sih dibintangi dan masih pem­­ba­­­­hasan. Kalau bintang le­pas, ma­­­ka bisa direalisasikan.” [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA