WAWANCARA

Rahmad Darmawan: Jika Ada Unsur Politik, Sepakbola Sulit Jadi Besar

Selasa, 26 Juni 2012, 09:05 WIB
Rahmad Darmawan: Jika Ada Unsur Politik, Sepakbola Sulit Jadi Besar
Rahmad Darmawan

RMOL. Masyarakat Papua dan Batam dinilai mengikuti pertandingan sepakbola Euro 2012. Tapi tidak bisa meredam adanya kerusuhan di dua daerah itu.

“Tetap menonton sepakbola Eropa 2012, tapi kerusuhan tetap ada. Tidak ada kaitannya dengan si­tuasi sosial politik di tanah air,” kata bekas Pelatih Timnas U-23, Rahmad Darmawan, kepada Rak­yat Merdeka, di Jakarta, kemarin.

Rahmad Darmawan selanjut­nya mengatakan, saat piala dunia 2010,  Aceh juga bergejolak. Ini ar­tinya situasi penting sepakbola itu tidak berpengaruh terhadap keamanan tanah air.

“Saya yakin masyarakat Aceh ju­ga saat itu mengikuti piala du­nia. Ta­pi idak mempengaruhi situa­si dan kondisi di sana,’’ katanya.

Berikut kutipan selengkapnya:


Apa sama sekali tidak ada pengaruhnya?

Yang saya pahami piala dunia dan Euro tidak berpengaruh seca­ra signifikan terhadap keadaan so­sial dan keamanan di daerah ter­tentu.

    

Hikmah apa yang bisa di­am­bil dari Euro 2012?

Ketika berbicara sepakbola di negara-negara lain, baik pia­la Euro atau piala dunia, kita pasti akan sepakat bahwa olah­raga ini menjadi tontonan yang si­­fatnya komersial.

Piala Dunia maupun Euro me­rupakan industri besar yang diga­rap secara serius, sehingga meng­hasilkan uang yang jumlah­nya triliunan rupiah.

   

Apakah Indonesia bisa me­niru sepakbola negara Eropa?

Kalau Indonesia ingin mengu­bah pola pandang atau pola pikir un­tuk membangun sepakbola, ten­tu sangat bisa. Tapi tidak me­ma­sukkan sepakbola ke dalam unsur politik.

Jika berpikir instan dan ada un­sur politik, rasanya sulit  industri sepakbola di tanah air menjadi be­sar. Hal inilah yang harus disa­dari  para pemimpin kita.

   

Sepakbola Indonesia kental dengan unsur politik?

Ya. Jujur saja banyak kebija­kan yang lebih mementingkan kelom­pok dibandingkan kebija­kan yang lebih mementingkan ma­syarakat. Akhirnya, timbul ke­lompok-ke­lompok lain yang merasa terping­girkan dan mem­buat orga­nisasi lain.

Selain itu, ada beberapa pemda yang memiliki klub terpecah men­­jadi dua atau tiga klub. Hal ter­se­but akibat dari politisasi olah­raga.

Kalau kita berbicara politisasi sepakbola maka yang terjadi adalah pencitraan setiap tindakan. Sepakbola itu harus long time. Ha­rus dimulai dari hal-hal yang ke­cil. Misalnya pengadaan edu­kasi, membangun kompetisi yang sehat dan sarana development yang ideal.

Sayangnya, semua itu masih se­batas wacana saja. Saat ini ma­sih terlalu sibuk mementingkan ke­pentingan semata yang menu­rut saya, sangat tidak penting.

   

Anda menilai pemain se­pakbola Indonesia sangat ber­po­tensi?

Skill yang dimiliki para pe­main kita sangat bisa seperti para pe­main sepakbola di negara-negara Eropa asalkan ada pro­gram kerja yang berke­sinam­bungan.

Itu tidak akan bisa tercapai bi­la konflik di internal pengurus ki­­ta masih terjadi. Kalau se­mua­nya damai dan memiliki ke­sepa­katan bersama, maka pe­main-pemain kita jauh lebih baik dari sekarang.

Membangun sepakbola itu membutuhkan komitmen bersa­ma dan kerja sama. Jika masih ter­jadi konflik akan mem­bingung­kan sponsor.

   

Maksud Anda?

Ketika keinginan sepakbola menjadi industri, maka hal ini ber­kaitan dengan sponsor. Mere­ka ingin sebuah kepastian hukum dan kejelasan status kompetisi. Kalau seperti ini terus, mana ada sponsor yang masuk dan berin­ves­tasi ke klub. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA