Calon Hakim Agung Cakap Cuma Ada Satu Persen

Krisis SDM Melanda Lembaga Peradilan Indonesia

Sabtu, 26 Mei 2012, 08:25 WIB
Calon Hakim Agung Cakap Cuma Ada Satu Persen
ilustrasi/ist
RMOL.Komisi Yudisial mengalami sulit mencari hakim agung yang benar- benar berkualitas dan berintegritas. Perlu kerja ekstra keras untuk menemukannya.

Kesulitan itu dirasakan KY saat menjaring para calon hakim agung (CHA). Dari 111 kandidat yang ikut mendaftarkan diri, KY hanya menemukan 12 nama dari 15 calon hakim yang seharusnya diserahkan ke DPR.

Mahkamah Agung (MA) sebe­narnya membutuhkan lima hakim agung baru untuk menggantikan sejumlah hakim agung yang telah memasuki masa pensiun. Untuk mengisi posisi yang kosong, MA membutuhkan dua hakim pidana, dua hakim perdata, dan satu hakim militer.

Demi mencukupi kebutuhan tersebut, setiap satu hakim agung ca­lonnya harus tiga orang. De­ngan demikian seharusnya ada 15 nama yang diajukan ke DPR.

Ketua KY Eman Suparman mengatakan, saat ini masyarakat mengalami ketidakpercayaan terhadap kredibilitas hakim. Ma­kanya dalam proses penjaringan KY tidak semata tercurah pada per­soalan kualitas, melainkan inte­gritas. Alasan inilah yang membuat lembaga yang bermar­kas di kawasan Kramat Raya, Ja­karta Pusat itu ogah memaksakan kuota calon hakim agung sampai terpenuhi 15 nama.

Dengan jumlah calon hakim yang disodorkan ke DPR yang hanya 12 nama, Komisi III DPR akan meloloskan empat hakim agung saja. Hal itu sudah diko­munikasikan dengan MA. Berarti KY memiliki utang satu CHA ke­pada MA. Adapun satu kursi lo­wong yang ditangguhkan pengi­sian­nya itu adalah hakim perdata.

Belum lunas utang yang harus dibayar KY. MA kembali mengi­rimkan surat permintaan kepada KY untuk merekrut lima hakim agung lagi. Permintaan tersebut diungkapkan  Ketua MA Hatta Ali di Gedung MA Rabu lalu.

Surat permohonan MA itu dila­yangkan ke KY karena ada lima hakim agung yang  mema­suki masa pensiun pada periode Juni sampai Desember 2012.

Namun, Hatta tidak menye­butkan siapa saja hakim agung yang akan memasuki masa pen­siun pada periode Juni sampai De­sember nanti. Dia hanya ber­harap KY segera membuka pen­daf­taran calon hakim agung tahap ke dua.

Terpisah, Wakil Ketua KY Imam Anshori Saleh mengata­kan, lembaganya sudah meneri­ma surat resmi dari MA Hatta Ali terkait permintaan calon peng­ganti lima hakim agung. “Sudah diterima KY suratnya. Awal Juni kita akan membuka pendaftaran ca­lon hakim agung,” katanya ke­pada Rakyat Merdeka, di Jakarta, belum lama ini.

Menurutnya, memang sulit me­ne­mukan CHA yang ber­kualitas dan memillliki integritas tinggi. Buktinya, dari ratusan yang mendaftar, tapi yang me­menuhi syarat hanya 12 orang ha­kim. “Kualitas sumber daya ha­kim kita masih minim. Tapi, terus dilakukan pembinaan dengan cara melakukan road show ke daerah-daerah dan perguruan tinggi,” ujarnya.

Namun, jika dipaksakan untuk memenuhi kuota, dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap ki­ner­ja MA. “ Kita meng­ingin­kan hasil yang terbaik, tidak asal pi­lih,” ucapnya.

Dijelaskan, KY sangat selektif dan mendalami track record dalam proses perekrutan CHA. Mu­lai dari profile asessment, mem­pelajari kondisi keluarga, pengalaman dunia peradilan, sanksi dan penghargaan dalam dunia peradilan. Bahkan anggota Komisioner KY melakukan in­ves­tigasi terhadap calon hakim agung. “Kalau prosesnya bagus, maka outputnya pasti bagus juga,” ucapnya.

Yang tidak kalah penting, sum­ber dan jumlah kekayaan CHA juga harus bisa dipertang­gung­jawabkan, tidak jarang beberapa hakim memiliki kekayaan yang jumlahnya tidak wajar. Jika ke­kayaan hakim melebihi Rp 4 miliar KY akan memper­timbang­kan keikutsertaan hakim tersebut dalam proses penjaringan.

“Rata-rata yang sudah dilulus­kan dalam batas kewajaran jum­lah kekayaannya Rp 2 miliar. Ka­lau sudah di atas Rp 4 miliar patut diragukan. Kita tidak melarang hakim memiliki banyak kekaya­an. Tapi kalau jumlahnya tidak wa­jar harus menjadi pertim­ba­ngan penilaian,” tandasnya.

Bekas anggota Komisi III DPR ini menjelaskan, KY mempunyai wewenang mengusulkan peng­ang­katan hakim agung dan hakim ad hoc di MA kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan.

Belajar dari pengalaman selek­si calon hakim agung sebelum­nya, kami berharap calon hakim agung yang akan diperoleh nanti lebih baik, berkualitas, dan berin­tegritas. calon Hakim Agung yang dihasilkan nanti diharapkan lebih baik daripada dari hasil seleksi calon hakim sebelumnya.

“Kualitas dan integritas calon hakim agung adalah parameter utama yang dipakai KY. Kalau me­mang yang layak  tidak sam­pai lima belas orang, maka KY akan meloloskan jumlah yang layak itu,” tegasnya.

Melihat kondisi hakim seperti itu, Imam pesimis dapat meme­nuhi permintaan MA. “Kemarin saja cuma bisa dapat 12 calon ha­kim agung. Tapi yang jelas KY ber­sama MA akan terus mem­perbaiki kualitas hakim secara keseluruhan,” jelasnya.

Berdasarkan Penjelasan Un­dang-Undang No. 3/2009 Ten­tang Mahkamah Agung disebut­kan dengan jelas dua jenis calon hakim agung.

Pertama, calon yang berasal dari hakim karier dan non karir.

Kendati begitu, ada alasan kuat di balik jalur nonkarier.

Sementara syarat dari jalur karir minimal harus memiliki pengalaman menjadi hakim Pengadilan Negeri (PN) selama 20 tahun dan menjadi hakim PT selama 3 tahun. Berarti, seorang hakim yang akan mencalonkan diri menjadi hakim agung harus menjadi hakim di PT.

Dikatakan, secara keseluruhan jumlah hakim sebanyak 7500 ha­kim, dan ada 1000 hakim Peng­adilan Tinggi (PT). Jika dipersen­tasekan, ke-12 nama CHA yang diserahkan ke DPR hanya kurang dari 1,5 persen. “Dari sekitar seri­bu, ternyata yang memenuhi sya­rat hanya 12 orang, itupun susah sekali. Berarti hanya sekitar satu per­sen hakim tinggi yang me­me­nuhi syarat menjadi calon ha­kim agung,” ungkapnya.

Apalagi, kata dia, untuk bisa menjadi hakim di Indonesia cukup cepat. Prosesnya, setelah lulus sarjana hukum, seseorang bisa mendaftar menjadi hakim. Setelah itu diterima, mengikuti pelatihan hakim selama tiga bulan. Selanjutnya, dalam waktu 6 sampai 12 bulan bisa langsung bercara di persidangan.

Sementara di Belanda, seorang yang akan menjadi hakim ditem­pa bertahun-tahun, dan harus me­mahami betul profesi hakim.

KY dan MA merasa prihatin terhadap kondisi hakim. Karena itu, KY sudah menyiapkan pro­gram bagi para calon hakim dian­taranya, harus memiliki penga­la­man, berijazah Magister (S2), dan harus ditempa beberapa tahun sebelum praktik menjadi hakim.

“Kita sudah rancang program­nya dan akan dikaji bersama MA serta perguruan tinggi. Kita ha­rap­kan para hakim bukan hanya seke­dar memahami teori, tapi keca­ka­pan menjalankan amanah sebagai seorang hakim,” jelasnya.

Perbaiki Sistem Rekrutmen Hakim

Yahdil Abdi Harahap, Anggota Komisi III DPR

Komisi Hukum DPR merasa kecewa terhadap kualitas, kre­dibilitas dan integritas hakim di Indonesia. Sangat disayangkan dari sekitar 7500 hakim di In­donesia, ternyata hanya belasan hakim yang benar-benar me­miliki karakter.

Hal ini terbukti dari minim­nya Calon Hakim Agung yang lolos seleksi di Komisi Yudisial. Tidak jarang KY juga sering men­dongkrak CHA yang se­mes­tinya tidak diloloskan.

Minimnya hakim yang ber­kualitas disebabkan sistem re­krutmen yang dinilai lemah. Akibatnya, hakim-hakim yang ada justru tidak memenuhi stan­dar profesi hakim saja. Ada saja kabar yang sampai ke DPR ter­kait isu Kolusi Korupsi Nepo­tis­me dalam proses rekrutmen hakim agung.

Oleh karena itu MA yang memiliki kewenangan meng­ang­kat hakim diharapkan meng­ganti sistem perekrutan secara transparan dan profe­sional supaya tidak lagi meng­hasilkan hakim ecek-ecek yang justru mengotori lembaga peradilan.

Semestinya, MA dan KY ber­sinergi untuk terus melakukan pembinaan demi menghasilkan hakim yang lebih berkulaitas dan berintegritas. Peningkatan kualitas ini mencakup penge­tahuan dan wawasan hukum, baik formal maupun material, serta integritas hakim.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi rendahnya kua­litas hakim agung, seperti sis­tem rekruitmen, jenjang karir, reward and punishment, mutasi, gaji hingga fasilitas pendukung.

Pada sistem rekrutmen, hen­daknya Mahkamah Agung benar-benar menjaring calon hakim berdasarkan kecerdasan intelektual, emosional, dan ke­pribadian. Setinggi apa pun intelektualitas seorang hakim, tidak akan bermakna bila tanpa diimbangi dengan kecerdasan emosional dan kepribadian. Ini­lah yang akhirnya menen­tukan integritas seorang hakim.

Guna menghilangkan adanya dugaan kolusi dan nepotisme, rekrutmen harus dilakukan lembaga independen, melalui proses yang transparan dan akuntabel. Selain melalui jalur tes, bagus pula ditambah me­lalui jalur “menjemput bola”, misalnya dengan membe­rikan beasiswa bagi mahasiswa hu­kum yang berprestasi untuk ke­mudian menjadi ikatan dinas.

Selanjutnya, sistem jenjang karir juga harus jelas dan ter­buka. Penghargaan (reward) atas putusan ataupun vonis yang berkualitas -dengan bobot pengetahuan hukum yang selalu aktual sehingga mampu mem­buat terobosan dengan meno­morsatukan rasa keadilan.

Begitu pula sebaliknya, hu­kuman atau sanksi (punish­ment) harus ditegakkan dan menjadi catatan dalam menen­tukan jenjang karir yang ber­sangkutan.

Banyak orang yang meme­nuhi standar sebagai CHA dari kalangan profesional atau non karir. Namun sayangnya, orang-orang yang berada di luar lembaga peradilan justru sangat sedikit yang minat menjadi hakim. Salah satu alasannya karena penghasilan hakim agung tidak terlalu menjanjikan dibandingkan dengan kalangan profesional,

Kemampuan seorang hakim harus menjadi pertimbangan utama dalam menentukan mutasi. Porsi asas pemerataan -memberi kesempatan seorang hakim di daerah untuk ditem­patkan di Jakarta-jangan sam­pai mengalahkan porsi peni­laian kemampuan seorang ha­kim dalam menentukan mutasi.

Bukankah keadilan itu tidak berarti sama rata, melainkan menempatkan sesuatu pada tempatnya? Faktor kebutuhan sebuah kantor pengadilan pun harus diperhitungkan.

Begitu pula dalam memberi­kan kesempatan pendidikan ataupun pelatihan bagi hakim. Semuanya harus berdasarkan hasil kualifikasi yang sungguh-sungguh dengan tidak meman­dang jenis kelamin, misalnya lebih mengutamakan hakim laki-laki ketimbang perem­puan.

Selain itu, dengan sistem yang transparan dan akuntabel seperti itu, akan memacu siapa pun hakim untuk berlomba se­baik-baiknya meraih poin tinggi agar mencapai jenjang karir yang bagus atau ditem­patkan di kota besar. Tentu saja, untuk itu MA harus membe­rikan fasilitas untuk menambah wawasan semua hakim agar ia tidak ketinggalan zaman. Sebab, ilmu hukum tidaklah statis, ia berkembang seiring dengan pesatnya modus dan kasus hukum yang ada. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA