RMOL. Salah satu perkara yang sedang ditangani KPK adalah dugaan korupsi penyelenggaraan sejumlah seminar di Departemen Luar Negeri pada 2004-2005. Taksiran kerugian negara dalam perkara ini Rp 18 miliar.
Hingga kemarin, Komisi Pemberantasan Korupsi baru bisa menetapkan satu tersangka kasus tersebut, yakni bekas Sekretaris JenÂderal (Sekjen) Departemen Luar Negeri Sudjadnan ParnoÂhadÂÂiÂningrat.
“Tersangkanya baru mantan Sekjen Deplu SP. Belum ada terÂsangka baru,†ujar Kepala Biro Humas KPK Johan Budi SapÂto PraÂbowo, kemarin.
Akan tetapi, menurut praktisi hukum Petrus Selestinus, dalam perkara penggelembungan harga (mark up) dan sejumlah tindak piÂdana korupsi yang merugikan keuangan negara, tidak mungkin tersangkanya hanya satu orang.
“Sebab, dalam pengadaan seÂmiÂnar seperti itu ada panitia, kuaÂsa pengguna anggaran dan peÂnguÂsaha yang menyediakan baÂrang serta jasa,†ujar Koordinator Forum Advokat Pengawal KonÂsÂtitusi (Faksi) ini, kemarin.
Lantaran itu, menurut Petrus, KPK akan menetapkan tersangka lainnya. Apalagi, kata dia, setelah penetapan Sudjadnan sebagai tersangka, KPK bisa lebih mudah menelusuri bukti-bukti untuk menetapkan tersangka lainnya.
“Usut terus ke semua pihak yang patut diduga terlibat. Jangan malah kerja KPK jadi menÂcuÂriÂgaÂkan dengan menetapkan satu tersangka saja,†ujar Koordinator Tim Pembela Demokrasi IndoÂnesia (TPDI) ini.
Hingga kemarin, KPK telah memeriksa sejumlah saksi kasus ini, termasuk dua anggota DPR yang diketahui merupakan suami isteri, yaitu anggota KoÂmisi VII dari Fraksi Partai Hanura Iqbal Alan Abdullah dan Anggota KoÂmisi I dari Fraksi PDIP Evita NurÂsanty.
“Ada dua anggota DPR yang sudah kami periksa sebagai saksi, tetapi kapasitas mereka bukan sebagai anggota DPR. MeÂreka seÂbagai bagian dari peÂnyeÂlenggara atau event organizer pada waktu itu,†kata Johan.
Penyidik KPK juga telah meÂmeriksa musisi kondang Erwin Guttawa sebagai saksi perkara ini. Erwin tiba di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, KuniÂngan, Jakarta Selatan pada Kamis (29/12) pukul 10.05 WIB dan keluar sekitar pukul 12.30.
Seusai diperiksa, tidak banyak ketÂeÂraÂngan yang meluncur dari mulutÂnya. Erwin mengaku tidak terliÂbat perkara korupsi ini, dan tidak mengenal Sudjadnan ParnoÂhÂaÂdiÂningrat. “Saya pun tidak keÂnal tersangka,†ujarnya di depan Gedung KPK.
Kendati begitu, Erwin mengaÂkui pernah mengisi acara DeparÂtemen Luar Negeri pada tahun 2004. “Tetapi, itu dari event orgaÂnizer. Itu saja yang saya ceritakan di dalam. Saya tidak terlibat,†ucapÂnya saat diwawancarai seÂusai diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi.
KPK juga memeriksa dua peÂgaÂwai Kementerian Luar Negeri, yakni Freddy Sirait dan Suwartini Wirta, serta Presiden Direktur PT Pacto Convex, Susilowadi Daud. Sebelumnya, KPK telah memeÂrikÂsa Sekjen Kementerian Luar Negeri Budi Bowoleksono.
Kasus ini naik dari tahap peÂnyeÂlidikan ke penyidikan pada NoÂvember 2011. Sudjadnan kemÂbali menjadi tersangka, setelah seÂbelumnya terjerat kasus korupÂsi yang lain.
“Setelah melalui proÂses penyeÂlidikan anggaran di SetÂjen Deplu tahun 2004-2005, KPK menaikÂkan status kasus ini menÂjadi peÂnyidikan dan menetapÂkan SP, beÂkas Sekjen Deplu yang seÂkaligus Pejabat Pembuat KoÂmitmen seÂbagai tersangka,†ujar Johan.
Menurut dia, tersangka diduga melakukan penyalahgunaan weÂwenang ketika menjabat sebagai Sekjen Departemen Luar Negeri. Penyalahgunaan wewenang itu terkait sejumlah kegiatan di DeÂpartemen Luar Negeri, antara lain seminar yang digelar pada kurun waktu 2004-2005.
Penyidik Komisi PembeÂranÂtaÂsan Korupsi menjerat Sudjadnan dengan Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak PiÂdana Korupsi (Tipikor). Penyidik menaksir kerugian negara dalam kasus tersebut sebesar 18 miliar rupiah.
REKA ULANG
Jadi Tersangka Lagi Setelah Berstatus Terpidana
Bekas Sekretaris Jenderal DeÂparÂtemen Luar Negeri SudjadÂnan ParÂnoÂhadiningrat bukan hanya disangka terlibat perkara korupsi pengadaan seminar yang diduga merugikan negara sekitar Rp 18 miliar.
Sebelumnya, Sudjadnan telah diÂbawa KPK ke Pengadilan TinÂdak Pidana Korupsi (Tipikor), JaÂkarta karena kasus korupsi lain. Menurut majelis hakim, SudÂjadÂnan terbukti meÂlakukan korupsi proyek perÂbaikan gedung kantor Kedutaan BeÂsar Republik IndoÂnesia (KBRI), Wisma Duta Besar, WisÂma DCM dan rumah-rumah dinas KBRI di Singapura pada tahun 2003.
Majelis kemudian menjÂaÂtuhÂkan hukuman 1 tahun 8 bulan penÂÂjara kepada diplomat yang perÂnah menjadi Duta Besar IndoÂnesia di Amerika Serikat itu.
“Terdakwa dihukum penjara satu tahun delapan bulan dan denÂda Rp 100 juta subsider dua bulan kurungan,†kata Ketua Majelis HaÂkim Jupriyadi saat memÂbaÂcaÂkan vonis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (18/1/2011).
Vonis ini lebih rendah dari tunÂtutan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi, yakni hukuman tiga tahun penÂjara. JPU juga menuntut terdakwa untuk membayar denda Rp 200 juta subsider enam bulan kurungan.
Menurut majelis hakim, SudÂjadÂnan terbukti menyetujui peÂngeÂluaran anggaran untuk renoÂvasi gedung dan rumah dinas di lingkungan Kedutaan Besar RI di Singapura sebelum ada perÂseÂtuÂjuÂan dari Menteri Keuangan. SeÂlain itu, dia terbukti telah meÂneÂriÂma uang sebesar 200 ribu dolar AS atau setara Rp 1,8 miliar dari bekas Duta Besar Indonesia unÂtuk Singapura, Mochamad SlaÂmet Hidayat.
Penyuapan itu terjadi dalam kuÂrun waktu Agustus 2003 samÂpai September 2004, ketika SlaÂmet Hidayat masih menjadi Duta Besar Indonesia untuk Singapura, dan Sudjadnan Sekjen Deplu. BerÂkaitan dengan pemberian terÂseÂbutlah, Sudjadnan mencairkan dana renovasi di lingkungan KeÂduÂbes RI untuk Singapura sebeÂlum mendapat persetujuan MenÂteri Keuangan. Perkara ini juga disidik dan dituntut KPK.
Sejumlah proyek perbaikan geÂdung di wilayah KBRI SiÂngapura itu tanpa melalui proses pelÂeÂlaÂngan, tanpa proses negosiasi harÂga dan tidak membuat gambar renÂcana dan rincian item pekerÂjaan. Akibat perbuatan ini, negara dirugikan sebesar Rp 8,4 miliar.
Dari jumlah kerugian keÂuangan negara itu, menurut maÂjelis hakim, terdakwa terbukti memÂperoleh uang sebesar 200.000 dolar AS dari SlaÂmet. Majelis memutus, terdakwa telah melanggar Pasal 3, junto Pasal 18 Undang Undang Tipikor Nomor 20 tahun 2001, junto Pasal 56 ke-2 KUHP.
Sepertinya Sudah Berulang-ulang
Dasrul Djabar, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi II DPR Dasrul Djabar menyampaikan keheranannya karena bekas Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri Sudjadnan ParÂnohadingrat terlibat dua kasus korupsi.
Dasrul pun meminta Komisi Pemberantasan Korupsi meneÂtapkan pihak-pihak lain yang diÂduga terlibat, sebagai tersangÂka. Sebab, menurut politisi ParÂtai Demokrat ini, kecil kemungÂkinan Sudjadnan melakukan korupsi sendirian.
“Tidak mungkinlah dia melaÂkukannya sendirian. Apakah mungkin dia mengurus seminar sendirian? Kan tidak mungkin. Karena itu, KPK harus memÂÂeÂriksa orang-orang yang menjadi bagian atau terlibat dalam keÂgiatan-kegiatan waktu itu,†ujar dia, kemarin.
Mengingat Sudjadnan telah dua kali terjerat kasus korupsi, lanjut Dasrul, maka hendaklah KPK juga menelusuri dugaan korupsi lainnya di Departemen Luar Negeri (sekarang KemenÂterian Luar Negeri). “Dari kaÂsus-kasus yang ada, tampaknya memang sudah berulang-ulang terjadi,†curiganya.
Dasrul juga meminta KPK proÂaktif menelusuri semua piÂhak, baik dari internal DeparÂteÂmen Luar Negeri maupun ekÂseÂternal yang diduga kuat terlibat kasus korupsi ini.
“Patut diduga melibatkan beÂberapa pihak. KPK jangan haÂnya membiarkan mantan Sekjen Deplu itu sebaÂgai tersangka senÂdirian. Kasus ini harus diusut secara keseluruhan, secara utuh. KPK mesti jeli memeriksa orang-orang terkait,†ujarnya.
Kasus ini naik dari tahap penyelidikan ke penyidikan pada November 2011. “Setelah meÂlalui proses penyelidikan anggaran di Setjen Deplu tahun 2004-2005, KPK menaikkan status kasus ini menjadi penyiÂdikan dan menetapkan SP, manÂtan Sekjen Deplu yang sekaÂliÂgus Pejabat Pembuat Komitmen sebagai tersangka,†ujar Kepala Biro Humas KPK Johan Budi Sapto Prabowo.
Tidak Satu Arah Saja
Uli Parulian Sihombing, Direktur Eksekutif LSM ILRC
Sepanjang sejarah, menurut Direktur Eksekutif LSM The Indonesian Legal Resource Centre (ILRC) Uli Parulian SiÂhombing, tindak pidana korupsi tidak mungkin hanya dilakukan satu orang.
Demikian pula dalam perkara dugaan korupsi yang membuat bekas Sekjen Departemen Luar Negeri Sudjadnan ParnoÂhaÂdiningrat berstatus tersangka.
“Yang ada, korupsi itu dilaÂkuÂkan secara berjamaah, berÂsaÂma-sama. Tidak sendirian. KaÂsus ini harus diselidiki lebih jauh oleh KPK, untuk menjerat tersangka lainnya,†ujar Uli, kemarin.
Bekas Direktur Lembaga BanÂÂtuan Hukum (LBH) Jakarta ini menegaskan, pihak-pihak yang diduga terlibat pun tidak satu arah saja. “Ada yang dari dalam atau internal, ada juga yang dari luar atau eksternal. Jadi, sangat mungkin tersangka lain muncul,†ujarnya.
Uli menambahkan, dalam mengusut perkara korupsi seperti ini, diperlukan komitÂmen dan keprofesionalan peÂnyiÂdik untuk bisa segera menjerat tersangka lainnya. “Dengan bukÂti-bukti yang telah mereka kumÂpulkan, bisa segera meneÂtapkan tersangka lain,†ucapnya.
Komisi Pemberantasan KoÂrupsi, kata dia, jangan hanya berÂhenti pada pengusutan piÂhak-pihak kecil yang diduga terlibat dalam kasus tersebut. Dalam tindak pidana korupsi berjamaah, ingat dia, pasti ada pihak-pihak yang menjadi sentral. “Itu harus ditelusuri,†tandas dia.
Selain kasus ini, Uli juga menÂdesak Komisi PemÂbeÂranÂtasan Korupsi agar meÂngungÂkap dugaan korupsi lainnya di Kementerian Luar Negeri yang dahulu bernama Departemen Luar Negeri. “Kasus ini harus dijadikan pemicu oleh KPK,†ujarnya.
Sudjadnan Parnohadingrat disangka KPK melakukan peÂnyalahgunaan wewenang ketika menjabat sebagai Sekretaris JenÂderal Departemen Luar NeÂgeri. Penyalahgunaan weweÂnang itu terkait sejumlah kegiaÂtan di Departemen Luar Negeri, antara lain seminar yang digelar pada kurun waktu 2004-2005. KPK memperkirakan, kerugian negara dalam kasus ini sekitar Rp 18 miliar. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: