RMOL. Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Bima, Nusa Tenggara Barat, Farouk Muhammad, tidak kuat melihat keadaan tanah kelahirannya. Dia yakin Bima segera pulih karena masyarakat Bima sebenarnya cinta damai.
“Saya tidak tega, ketika melihat keadaan di Bima ada seorang ibu mohon, bila saya memperÂmasaÂlahkan ini jangan sampai memÂberikan tindakan yang berlebihan kepada polisi berpangkat renÂdah,†ungkap Farouk kepada Rakyat Merdeka, Senin (26/12).
Kerusuhan yang terjadi di Bima beberapa hari lalu itu tidak bisa serta merta menyalahkan kepada aparat kepolisian. MasaÂlah muncul karena kebijakan Pemerintah Kabupaten Bima yang mengeluarkan penerbitan izin usaha penambangan (IUP) kepada sebuah perusahaan tamÂbang di Bima.
“Ini kan masalahnya ada di pemerintah daerah, polisi hanya sebagai pemadam kebakaran saja. Namun, ada trigger-nya yaitu penahanan dari polisi,†kata bekas Rektor Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian itu.
Intilah petikan wawancara dengan Farouk.
Bagaimana Anda melihat kaÂsus Bima?
Yang menarik perhatian kita adalah upaya paksa yang dilaÂkukan polisi di Pelabuhan Sape. Polisi melakukan tugasnya dalam usaha menegakkan hukum.
Namun, latar beÂlakang maÂsyaÂrakat meÂÂlakuÂkan aksi adalah dua tuntutan, yaitu pencabutan SK tentang Izin Usaha PenamÂbaÂngan188/45/357/004/2010 atas nama PT Sumber Mineral NusanÂtara. Kedua, maÂsyaÂrakat menunÂtut pembebasan teman mereka yang ditahan bebeÂrapa bulan lalu.
Soal korban tewas oleh poÂlisi?
Kita harus jujur memahami kepolisian, bahwa mereka selalu disudutkan oleh dua kepentingan, pro dan kontra. Dalam hal ini ada massa yang menduduki fasilitas publik, yaitu pelabuhan. Sudah sekian lama pelabuhan diduduki.
Polisi sudah mencoba meyaÂkinkan dengan meminta tolong meninggalkan pelabuhan tapi belum berhasil, dan massa tetap di sana menuntut dua hal itu. Dua hal ini belum bisa ditemukan jaÂlan keluarnya dan Bupati Bima tidak mau mencabut IUP.
Polisi merasa serba salah, begitu?
Semua tindakan polisi harus dipertanggungjawabkan kepada publik. Lalu saya bisa simpulkan, pada saat itu polisi sudah waktuÂnya bertindak.
Jadi, malam sebelum kejadian itu saya berkomunikasi dengan Kapolda dan saya bujuk tokoh massa melalui telepon. KoordiÂnator lapangan bisa memahami imbauan saya tapi ketika mereka kembali ke massa, massa tidak setuju. Akhirnya Kapolda mengaÂtakan bahwa sudah mau Natal, kalau kondisi itu dipertahankan polisi bisa dipojokkan dengan isu SARA.
Tapi, bisa saja kan polisinya melanggar prosedur?
Kepolisian memiliki prosedur dan mekanisme dalam melakuÂkan pengamanan, nanti mereka sendiri yang mempelajarinya. Kita tidak bisa melihatnya seÂpotong-potong. Step by step meÂkanismenya sudah dilalui atau belum. Nanti yang berkompeten menyelidikinya adalah Komnas HAM dan internal Polri, mereka bisa mempelajari apakah sudah sesuai prosedur atau belum. Kalau tidak, berarti harus ada peÂjabat yang bertanggung jawab.
Bagaimana soal isu pertamÂbangan itu merusak lingÂkuÂngan?
Sebenarnya belum ada aktiÂvitas pertambangan di sana, baru penyelidikan umum saja. Tapi masyarakat sudah takut dengan aktivitas pertambangan, yang akan mengganggu mata air meÂreka. Namun, ketika saya turun, mereka bisa memahami.
Anda menilai ada kesalahan pendekatan kepada warga?
Ya, bila pemerintah dan peruÂsahaan mau melakukan pendekaÂtan kultural, peristiwa itu tidak akan terjadi. Mereka mengguÂnakan pendekatan birokrasi. Bupati perintahkan camat, camat perintahkan kepala desa. Karena itu, amukan massa di kantor desa semua.
Bupati harus mencabut IUP?
Harus ada rapat bersama antara DPD, DPRD, Bupati, Kapolres, nanti kita akan melihat sejauh mana kemungkinan itu. Apakah ini akar masalahnya karena izin itu? Dievaluasi dan dikaji dari berbagai aspek. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: