RMOL. Dugaan pelanggaran HAM yang menewaskan puluhan orang di Kabupaten Mesuji, Lampung, menyita perhatian publik.
Awalnya adalah laporan sekeÂlompok warga Mesuji yang diÂdamÂpingi aktor Pong Hardjatmo dan mantan Asisten Teritorial KSAD Mayor Jenderal TNI (Purn) Saurip Kadi di hadapan KoÂmisi III DPR, tengah DesemÂber lalu. Setelah itu, muncul aksi keprihatinan.
“Tidak hanya pada tataran grass root, tapi juga para elite politik. Bahkan, pemerintah pun membentuk Tim Gabungan PenÂcari Fakta (TGPF) yang diketuai Denny Indrayana,’’ ujar anggota Komisi I DPR, Yorrys Raweyai, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
Nilai sendiri saja. Yang jelas, TGPF yang dibentuk pemerintah merupakan gabungan dari pihak-pihak yang ditengarai turut terÂlibat dalam kekerasan tersebut.
Yang bergabung dalam TGPF adalah unsur Kementerian PolÂhuÂÂkam, Kementerian kehutanan, kepolisian, Pemprov Lampung dan Pemprov Sumatera Selatan, tokoh-tokoh masyarakat, serta Komnas HAM.
Pemerintah beÂgitu reaktif ya?
Pola reaktif dalam merespons persoalan pelanggaran HAM di negeri ini tampaknya tak kunÂjung usai. Pola tersebut juga yang justru makin mengaburkan keÂseriusan pemerintah dalam meÂnangani sejumlah persoalan HAM yang terjadi dalam kurun waktu yang begitu panjang.
Bukanlah cerita baru, peÂlangÂgaran HAM yang terjadi di negeri ini tidak pernah menuai solusi politik dan hukum yang memeÂnuhi rasa keadilan masyarakat. Tak perlu berkaca jauh, di tengah riak kasus Papua yang sedang mengalami eskalasi yang cukup tinggi, tidak sedikit pun solusi sigÂnifikan yang diajukan pemeÂrinÂtah.
Berbagai aksi kekerasan yang merupakan kelanjutan masa lalu, sejak Papua dinyatakan bergaÂbung dengan wilayah NKRI berÂlangsung tiada henti, bahkan meningkat. Puncaknya, puluÂhan nyawa hilang sia-sia dalam serangkaian kasus yang melibatÂkan aparat keamanan.
Berapa jumlah korÂban di Papua?
Tidak terÂbiÂlang jumlah korban yang berjatuhan di Bumi CenÂderaÂwasih tersebut. Kekerasan bahÂkan telah berurat dan berakar dalam tatanan keÂhidupan masyaÂrakat Papua dan menjadi siklus yang tak kunÂjung mereda. Alih-alih berhaÂrap pada kondisi yang lebih baik, diteÂngaÂrai aksi-aksi keÂkerasan menjadi baÂgian penting dalam sebuah upaya besar-beÂsaran untuk memÂbumiÂhanguskan orang Papua di tanah kelahirannya sendiri.
Ironisnya, kepriÂhatinan masyaÂrakat Papua dan berbagai lemÂbaga swadaya maÂsyarakat, tidak sedikit pun menguÂbah pola dan paradigma penangaÂnan pemerinÂtah terhadap persoaÂlan Papua.
Karena tudiÂngan seÂparatis?
Dinamika masyarakat yang menuntut keadilan dan perlakuan yang bermartabat, justru dituding sebagai aksi-aksi separatis. Bisa dipastikan, mereka pun menjadi tumbal kekerasan.
Sulit kiranya kita menaruh haÂrapan besar atas penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM yang bersifat reaktif dan parsial. Apalagi dengan paradigma subÂjekÂtif yang menempatkan perÂsoalan Papua tidak lebih dari persoalan kesejahteraan semata.
Penanganan pelanggaÂran HAM itu hanya retorika?
Kita patut menaruh keprihatiÂnan yang mendalam pada kenyaÂtaan yang sulit terbantahkan, bahÂwa penuntasan kasus-kasus peÂlanggaran retorika belaka. TerleÂpas dari sigÂnifikansi persoaÂlan kemanusiaan yang saat ini sedang membelit warga LamÂpung dan Sumatera Selatan, berÂbagai kasus pelanggaÂran HAM yang terbenÂtang di hadaÂpan kita adalah perÂsoalan uniÂversal yang seharusÂnya memÂperoleh respons yang sama.
Tidak selayaknya kita menaruh perhatian besar pada satu perÂsoalan dengan mengenyamÂpingÂkan persoalan yang lain. SepanÂjang tahun 2011 kita menyaksiÂkan dinamika kekerasan dan jumÂlah korban di Papua yang semaÂkin meningkat.
Tidak sedikit pun kehendak politik yang diajukan demi menuntaskan persoalan di Papua secara komprehensif, meski sejumlah tim dengan berÂbagai bentuk lembaga telah dituÂrunkan dan merekomendasikan berbagai kesimpulan terkait peÂlanggaran HAM di Papua.
Boleh jadi, fakta bahwa orang Papua adalah komunitas margiÂnal, dengan latar belakang sejaÂrah, karakter dan identitas yang berbeda dengan orang Indonesia pada umumnya, menciutkan keÂseriusan pemerintah dalam meÂnyelesaikan persoalan Papua. Sebab, mereka adalah bagian “lain†dari struktur kebangsaan dan keindonesiaan yang telah tersusun rapi dalam benak dan memori nasionalisme Indonesia.
Anda melihat ada perbedaan penanganan pelanggaran HAM di Papua ketimbang di Mesuji?
Ya. Jika tidak, bagaimana mungÂkin perhatian terhadap kaÂsus Mesuji lebih besar dibanÂdingÂkan kasus penculikan, pemÂbunuÂhan dan pemerkosaan yang telah dialami oleh orang-orang Papua selama ini.
Bagaimana mungkin para elite politik kita lebih berÂseÂmangat memÂpersoalÂkan video pemeÂnggaÂlan kepala, keÂtimbang viÂdeo-video kekeraÂsan di Papua yang justru acap kali kita saksiÂkan selama ini.
BagaiÂmana mungÂkin konflik yang diÂlatarÂbelakangi persoalan perebuÂtan lahan lebih menyita perhatian, ketimbang konflik yang disebabÂkan perbedaan perÂsepsi sejarah politik, kekerasan politik peÂlanggaÂran HAM, kegaÂgalan pemÂbangunan di Papua, inkonsistensi penerapan otonomi khusus serta marjinalisasi.
Apakah mungkin dalam benak kita terbesit kesimpulan bahwa kasus Mesuji adalah pelanggaran terhadap kemanusiaan manusia Indonesia, sementara kasus PaÂpua adalah pelanggaran kemaÂnusia manusia Papua yang gagal menjadi manusia Indonesia. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: