WAWANCARA

Freddy H Tulung: Membangun Satu Pola Komunikasi Dengan Masyarakat Indonesia di Luar Negeri

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Minggu, 11 Desember 2011, 16:10 WIB
Freddy H Tulung: Membangun Satu Pola Komunikasi Dengan Masyarakat Indonesia di Luar Negeri
freddy tulung/rmol

Ada tiga tugas yang harus dilakukan Freddy H Tulung sebagai Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika RI. 


Pertama, memenuhi hak tahu masyarakat dengan tadi yang saya katakan diseminasi informasi. Yang kedua, mengakomodasi berbagai macam pendapat masyarakat ke elit. Jadi yang pertama top down, dan yang kedua bottom up. Dan yang ketiga, tentu tidak bisa lepas dengan kaitan pencitraan.
 
Demikian diungkapkan oleh Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika RI Freddy H Tulung bekerjasama dengan KBRI Den Haag menjawab pertanyaan Rakyat Merdeka Online tentang maksud kunjungannya ke Belanda, di sela-sela acara rehat pada pertemuan Dialog Interaktif  bertemakan “Membangun Kharakter Bangsa Dalam Rangka Citra Positif Indonesia di Luar Negeri” di Gedung Dans en Partycentrum, Hooigracht 87, Leiden, Sabtu (3/12) lalu.
 
Jangan salah artikan, imbuh Tulung, pencitraan di sini lebih dalam konteks menjaga legitimasi publik ke pemerintahan. Karena pemerintah mewakili negara tidak mungkin berjalan, kalau dia mempunyai citra yang negatif. Artinya tidak ada legitimasi. Nah di dalam konteks  itulah kami mencoba mendatangi publik, masyarakat. Nah, salah satu tugas saya  bukan hanya masyarakat di dalam negeri, tetapi  juga di luar negeri.
 
Pencitraan yang dimaksud di sini ada dua. Pertama, terhadap masyarakat Indonesia di luar negeri. Dan yang kedua terhadap masyarakat luar negeri di dalam negeri. Kehadiran kami di sini dalam rangka  membangun satu pola komunikasi. Minimum masyarakat Indonesia di Belanda pada umumnya, atau  khususnya di Den Haag dan sekitarnya dapat juga memperoleh akses pada kebijakan-kebijakan publik  yang diambil  pemerintah, serta permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh bangsa dan negara, agar supaya mereka bisa berkontribusi sesuai dengan kompetensinya.
 
Demikian sepenggal wawancara dengan Freddy Tulung. Dan berikut adalah wawancara lengkap redaksi dengan anak buah Tifatul Sembiring itu.

Tampaknya Anda cukup sering melakukan sosialisasi kepada masyarakat Indonesia di luar negeri?
 
Tugas yang saya lakukan ini adalah yang ke empat kalinya. Yang pertama kali kami melakukan kegiatan ini di Malaysia, khusus untuk masalah TKI. Kemudian yang kedua, kami  juga melakukan pendekatan  kepada khususnya TKW di  Hongkong, karena permasalahan TKW di sana. Kemudian selanjutnya kami mengadakan juga kepada para pekerja profesional di  Korea. Dan ini secara simultan kami adakan di Belanda dan di Mesir, terutama kepada masyarakat, khususnya mahasiswa Indonesia yang mengambil pendidikan di Mesir, karena isu-isu yang terkait dengan keagamaan yang mulai menonjol sekarang ini di Indonesia.
 
Kalau masalah TKW yang banyak  bermasalah kan tampaknya kan di negara-negara Timur Tengah?
 
Ya, betul. Sebenarnya bila dibilang ada masalah, semuanya ada masalah. Jadi permasalahan pertama itu memang berada pada memang kebutuhan akan pekerjaan yang jauh lebih tinggi dari kesempatan yang ada. Nah ini berlaku hukum ekonomi. Demand yang tinggi supply yang rendah, maka kemudian masuklah satu sistem yang tadinya dipersiapkan secara baik, tapi kemudian menimbulkan side effect. Yang kedua, sebenarnya, dikaitkan  dengan negara penerima. Malaysia, misalnya,  dengan Hongkong sangat berbeda  masalahnya. Kalau Malaysia, adanya ketertutupan dari para majikan para pekerja tersebut, sehingga permasalahan-permasalahan, terutama yang menyangkut legalitas TKI, yang kemudian tidak terlindungi dengan baik dan akhirnya  mereka menjadi victim, menjadi korban.
 
Kalau di Hongkong, masalahnya lain lagi. Karena begitu kerasnya hukum China untuk memperkerjakan tenaga kerja asing, maka justru di sana bukan masalah penyimpangan, meskipun yang disebut belakangan ini juga ada atau terjadi, misalnya underpaid,mereka yang  kurang bayar, tapi masalah-masalah lain yang tidak signifikan. Justru terbesar  itu adalah kepada masyarakat TKI itu sendiri. Satu contoh, tentu ini bukan ntuk dibesar-besarkan, bahwa di Hongkong dan sekitarnya jumlah tenaga kerja Indonesia sekitar 165 ribu, di mana sebagian besar, yakni sekitar 140 ribu diantaranya adalah pekerja wanita usia produktif, berumur antara 18 sampai 40 tahun. Dan mereka wajib hukumnya, bahwa setiap hari Sabtu dan Minggu libur. Sehingga para pekerja Indonesia itu pada hari Sabtu dan Minggu itu berkumpul di satu taman yang namanya Victoria di Hongkong. Nah, di situ lah bisa kita lihat bagaimana cultural schok, termasuk, maaf ini, lesbianism itu kemudian muncul ke permukaan. Jadi permasalahannya lebih pada masalah-masalah sosial yang seperti ini.
 
Ada yang menyatakan, PJTKI nya sendiri juga bermasalah?   
 
Ini menyangkut masalah proses seleksinya. Bagaimana seleksi tenaga kerja dilakukan. Sebagaimana tadi saya kemukakan  kita mempunyai satu sistem.  Tetapi di lain pihak, karena begitu banyaknya  kebutuhan maka sistem  itu kemudian dikooptasi. Sistem sebaik apapun, kalau kemudian instrumen di dalam sistem itu mengkooptasinya, karena banyaknya permintaan tadi, maka sistem itu tidak akan berjalan. Jadi dalam konteks itulah dikatakan bermasalah, memang ada masalah. Tetapi jika dikatakan semua bermasasalah, tidak fair juga.  Tenaga kerja kita di luar negeri berjumlah 6 (enam) juta. Dari enam juta itu yang bermasalah menurut data yang kami terima itu tidak sampai 1 persen. Tapi ekspos yang berlebihan menyebabkan itu terlihat secara jelas. Tapi bukan berarti itu kita menganggap remeh yang 1 persen itu. Jumlah 1 persen yang bermasalah itu tetap harus diselesaikan.

Bukankah penyelesaian yang terbaik adalah bagaimana membuka lapangan kerja di tanah air, Indonesia sendiri?

Betul. Setuju. Tapi tidak semudah itu juga membuka lapangan kerja itu. Karena di dalam konteks ini, tolong bedakan antara lapangan pekerjaan dengan jenis keterampilan yang dimiliki. Orientasi sistem pendidikan kita mengarah kepada  sistem pendidikan formal, konvensional. Sementara tenaga kerja yang dibutuhkan adalah tenaga skill terampil.  Nah antara ini, orientasi orang yang lebih berfikiran memasuki  jalur sekolah konvensional dengan jalur sekolah keterampilan ini masih tidak berimbang.
 
Pemecahannya?
 
Bagi saya, sekarang sudah waktunya sistem pendidikan vokasional (keterampilan) menjadi salah satu prioritas. Dan diapresiasi secara sosial, maupun secara ekonomi.  Dalam sistem pendidikan apakah itu publik ataupun swasta selama sistemnya belum dibenahi secara baik, apakah itu kemudian bisa memecahkan persoalan. Tidak bisa semua diselesaikan hanya dengan enforcement.

Yang saya maksud dengan sistem itu adalah penataan atau penanganan secara keseluruhan, apakah dari aspek hukum, apakah dari aspek kebijakan, dari aspek  kesiapan tenaga kerja itu sendiri. Dan last but not least sistem dalam pengertian bagaimana kemudian kompetensi yang dimiliki sesuai dengan pasar yang membutuhkan.
 
Akhir-akhir ini bagi patriot bangsa masalah Papua terasa semakin memprihatinkan dan bahkan gawat, karena muncul suara-suara yang lebih keras dari  gerakan separatis, yang  dikaitkan dengan masalah hak-hak asasi manusia (HAM) dan dikaitkan dengan masalah Freeport.  Bagaimana pandangan Anda?
 
Khusus di dalam konteks Papua ini kita tangani. Kita sepakat sekarang ini tidak menggunakan yang disebut dengan hard power. Kita mencoba melakukan  pendekatan juga bukan lagi dengan soft power,  Bahkan dengan smart power. Dalam artian mengangkat persoalan ini secara objektif melalui media dialog. Tetapi harus diakui, ekspos terhadap konteks ini dengan memperlihatkan peran media menjadi sangat signifikan. Ini yang sedang kita coba untuk dilakukan akan lebih baik kalau kemudian seluruh unsur kepentingan bangsa secara bersama-sama membangun ini. Tidak hanya menyerahkan kepada satu pihak, apakah kepada pemerintah atau terutama kepada pihak security. Tapi ini persoalan-persoalan bangsa yang harusnya kita selesaikan secara akademis, secara sosial, secara ekonomi dan secara security.
 
Tapi persoalan yang tampak kelihatan dalam kasus Papua, terutama yang menonjol  (atau ada yang menonjol-nonjolkan) adalah kasus kekerasan, pelanggaran HAM adalah kurang ataupun tidak tegasnya pemerintah yang sekarang ini.

Susahnya yang kelihatan itu yang mana. Karena apakah yang kelihatan itu melalui TV, apakah melalui media, apakah itu yang mewakili kata kelihatan tadi. Karena persoalan itu jauh lebih dalam dari pada itu. Kekurang tegasan itu mungkin saja. Saya tidak ingin menampik dengan mengatakan tidak. Tetapi persoalannya memang amat sangat kompleks. Karena ini merupakan persoalan kumulatif  30 tahun secara keseluruhan. Tidak fair kalau kita menjustifikasi ketidak tegasan ini hanya didasarkan pada pemberitaan media. Yang memang dalam hal ini, menurut pendapat kami , tidak memperlihatkan secara objektif. Oleh karena itu, persoalan ini harusnya digambarkan secara objektif. Komunikasi seperti  ini kita harapkan dapat menjembatani antara hal-hal yang barangkali terungkap  melalui media dengan hal-hal  yang diketahui oleh individu per individu berdasarkan resource person yang dapat dipertanggungjawabkan.
 
Tapi persoalannya di TV One ditayangkan apa yang namanya dialog dengan orang yang jelas-jelas dari organisasi atau gerakan separatis. Komentar anda?
 
Nah seperti anda ketahui. Dalam undang-undang pers, maupun di dalam undang-undang penyiaran tidak ada hak apapun pemerintah untuk menyensor, untuk membatasi, untuk menekan. Agar hal itu tidak terjadi. Misalnya, kalau saya menelepon Redaktur agar menyetopnya, maka ancaman hukumannya bagi saya adalah dua tahun  penjara. Kewenangan untuk  menyeleksi konten di TV itu adalah kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia. Kami hanya bisa menyampaikan keluhan melalui mereka. Satu contoh yang ringan. Beberapa waktu yang lalu, final sepakbola antara Tim Indonesia dengan Tim Malaysia pada waktu SEA Games, poster yang sangat besar dan itu terus disorot  Metro TV yang menyebutkan “Ganyang Malaysia”. Apakah kita akan masuk ke wilayah pertempuran seperti itu. Padahal ini hanya sportivitas sebuah olah raga. Saya kira amat sangat tidak fair, kemudian TV menimbulkan rasa kebencian antar negara, justru  di dalam event yang penuh denga pesan-pesan perdamaian. Nah inilah kualitas yang ada. Oleh karena itu tadi, tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah, harus ada yang disebut dengan  sekunder pemangku kepentingan, apakah itu pemerintah , apakah itu dunia usaha, apakah itu masyarakat secara bersama-sama. Tapi kalau hanya nakan mengandalkan satu pihak, saya  tidak yakin kita akan mendapatkan hasil yang terbaik dalam waktu yang singkat.
 
Oleh karena itu sistem yang kami lakukan sekarang kami disamping menggunakan media penyiaran, tetapi itu bukan media satu-satunya. Kami menggunakan dialog langsung seperti ini, tatap muka, kami menggu ruang publik. Ada enam media yang kami gunakan. Jadi, peran media audiens seperti ini, media luar ruang melalui berbagai macam leflat, pamflet, baliho dan sebagainya,  kemudian melalui media cetak, umumnya sifatnya bloking space, melalui media penyiaran TV, radio, melalui media tradisional, dan sekarang kami menggalakkan melalui media jejaring sosial.  Jadi dengan begitu kita harapkan kita tidak ingin membatasi orang lain, tapi masyarakat mempunyai alternatif lain ketimbang yang disampaikan oleh media-media yang subjektif tadi.
 
Bagaimana dengan pemecahan soal Freeport?
 
Harus dinegosiasi ulang. Itu jawaban singkatnya.
 
Untuk itu apa kendalanya?
 
Banyak. Sangat banyak kendalanya. Karena tidak semudah itu menegosiasi ulang atau merenegoisasi itu. [arp]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA