Sementara, Hakim Jonlar Masih Bisa Bernapas Lega

Lagi, MKH Gelar Sidang Pelanggaran Kode Etik

Rabu, 30 November 2011, 08:58 WIB
Sementara, Hakim Jonlar Masih Bisa Bernapas Lega
ilustrasi, pembalakan liar

RMOL. Setelah seminggu lalu memecat dua hakim, Majelis Kehormatan Hakim (MKH) kemarin menggelar sidang lanjutan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim, dengan terlapor bekas hakim Pengadilan Negeri Wamena yang kini bertugas di Pengadilan Negeri Bale Bandung, Jonlar Purba.

Pada sidang kali ini, MKH meng­hadirkan pelapor dari Wa­mena, Papua, seorang tokoh aga­ma bernama Esmon Walilo. Di hadapan MKH, Esmon mengaku diminta melaporkan Jonlar oleh lima terpidana kasus pembalakan liar alias illegal logging yang di­vo­nis di Pengadilan Negeri (PN) Wamena. Dalam kasus ini, Jonlar sebagai Ketua Majelis Hakim.

“Saya tidak ada rasa benci atau motif pribadi terhadap Pak Jonlar. Saya hanya diminta sebagai per­pan­jangan tangan para terdakwa itu untuk melaporkan persoalan yang mereka hadapi. Sebab, me­reka melihat proses hukum atas mereka sudah tidak men­cermin­kan keadilan,” ujar Esmon dalam sidang di Gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta, kemarin.

Esmon merasa perlu menjadi mediator agar kelima terdakwa tidak dihukum. “Saya kan Ketua Fo­rum Komunikasi Lintas Aga­ma, dan saya merasa bertanggung jawab kepada semua golongan di sana,” ujarnya.

Menurut Esmon, masyarakat Wamena tidak tahu, apakah perbuatan kelima terdakwa yang divonis Jonlar dengan hukuman penjara satu setengah tahun pen­jara itu, sebagai perbuatan me­langgar hukum. Sebab, kata dia, hampir semua orang, termasuk pejabat kehutanan, kepolisian dan kejaksaan menghalalkan pene­ba­ngan kayu di wilayah itu.

“Itu kayu adalah mata kehidu­pan masyarakat di sana. Kalau masyarakat ambil dan jual kayu, tidak pernah ada masalah. Ma­syarakat juga kasih retribusi ke pemerintah. Mereka bilang tidak apa-apa,” ujarnya.

Dengan kondisi seperti itu, lan­jut Esmon, selama ini banyak la­poran masyarakat dan penyi­taan kayu yang dilakukan ke­po­lisian di sana, namun tidak per­nah di­si­dang. “Kok, lima orang ter­­dak­wa ini disidang dan di­hukum. Bah­kan, sudah upaya hu­kum ke ting­kat kasasi, tetap saja ditolak,” ujarnya.

Memang, kata Esmon, dalam laporannya, dia menyebut bahwa Jonlar menerima Rp 145 juta da­lam beberapa tahap, dengan ha­ra­pan agar kasus itu tidak disi­dang, serta pelaku pembalakan liar itu dibebaskan. Namun, Es­mon tidak bisa menjelaskan, apa­kah benar pernah terjadi transaksi uang kepada Jonlar.

“Itu yang mereka katakan ke saya dan saya sam­paikan. Saya tidak pernah me­lihat, mengalami atau me­nyak­sikan para terdakwa membe­rikan uang itu,” ujarnya.

MKH sempat memberi penje­la­san kepada Esmon, bahwa se­seorang yang berani melaporkan hakim dan sebagai saksi ada per­syaratannya. Antara lain, harus menyaksikan kejadian, men­de­ngar dan mengalaminya. Esmon mengatakan, dia hanya perp­an­jangan tangan teman-temannya yang sudah dipenjara itu.

“Saya memang tidak melihat ada pem­berian uang. Saya hanya me­nyam­paikan. Kalau memang begitu, silakan majelis mengha­dir­kan para terdakwa untuk meng­konfrontir, apakah mereka mem­beri uang atau tidak,” ujarnya.

Jonlar menampik pernah bertemu para terdakwa. Dia juga membantah pernah menjanjikan akan membebaskan para ter­dak­wa. “Soal uang itu, sama sekali ti­dak ada. Saya pun heran me­nga­pa disebut-sebut mereka mene­ri­ma uang. Tidak tahu saya dari­ma­na asal muasalnya. Saya tidak per­nah menerima uang,” tegasnya.

Menurut dia, para terdakwa di­vonis bersalah karena Dinas Ke­hu­tanan menyatakan bahwa kayu-kayu yang ditebangi terdak­wa adalah kayu illegal dan me­ru­pakan kawasan hutan lindung. “Itu saja dalilnya. Memang mere­ka bersalah di situ,” kata Jonlar.

MKH belum bisa membacakan putusan terhadap laporan terse­but. Menurut Majelis, laporan Esmon Walilo terhadap hakim Jon­lar Purba tidak valid dan ma­sih sangat prematur. Karena itu, MKH akan kembali menggelar sidang lanjutan dengan agenda mendengarkan kesaksian para terdakwa secara langsung, untuk membuktikan apakah benar ada suap terhadap Jonlar.

MKH juga tidak begitu yakin dengan keterangan Esmon, se­bab, vonis terhadap lima terdak­wa dikeluarkan lima hakim PN Wamena yang kebetulan diketuai Jonlar, dengan suara bulat, tetapi mengapa hanya Jonlar yang di­sa­sar Esmon Walilo cs.

“Hari ini belum bisa diputus. Para ter­dak­wa dihadirkan pada per­sidangan berikutnya. Persi­dangan diundur sampai Selasa 6 Desember 2011 pukul 9 pagi,” ujar  Ketua MKH Imam Soebechi menutup sidang.

Dalam sidang MKH ini, Jonlar diduga melakukan pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Pe­doman Hakim. Dia dire­ko­men­dasikan Badan Pengawas Mah­kamah Agung untuk diberhen­ti­kan tetap alias dipecat.

Sekadar mengingatkan, MKH terdiri dari empat unsur Komisi Yudisial (KY) dan tiga unsur MA. Tiga hakim MA adalah Imam Soebechi sebagai Ketua MKH, Hamdan dan Surya Jaya sebagai anggota MKH.

Sedangkan empat hakim dari KY adalah Imam Ans­hori Saleh, Suparman Mar­juki, Abbas Said dan Taufiqurrohman Syah­ruri se­bagai anggota.

Pengawasan Hakim Tumpang Tindih

Yenti Garnasih, Pengamat Hukum

Menurut Pengamat hukum Yenti Garnasih, regulasi penga­wasan hakim yang digodok legislatif dan eksekutif menjadi salah satu sumber keruwetan pengawasan hakim. Akibatnya, pengawasan terhadap hakim tidak efektif.

“Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal bagi hakim memang diberi kewenangan, tetapi sangat terbatas. Itu semua bermula dari Undang-Undang Komisi Yudisial,” ujar wanita yang kerap menjadi saksi ahli dalam sidang kasus pencucian uang ini, kemarin.

Menurut Yenti, jika memang serius melakukan kontrol ter­ha­dap hakim, maka KY harus di­beri kewenangan penuh dalam pe­ngawasan, sehingga tidak per­lu tumpang tindih dengan mo­­del pengawasan internal MA.

“Berikan kewenangan pe­nuh kepada KY untuk mela­ku­kan fungsi pengawasan. Tidak cu­kup bagi KY hanya bersifat re­ko­mendatif. KY mestinya me­miliki kewenangan sampai me­mutuskan. Jika itu dilakukan, maka pengawasan terhadap ha­kim akan lebih efektif,” ujarnya.

Dia mencontohkan, di bebe­ra­pa negara, fungsi pengawa­san hakim dilakukan secara in­de­pen­den oleh sebuah lem­baga. Nah, lembaga itu berhak memu­tuskan.

“Semisal di Kroa­sia, Thai­land dan Argen­tina. KY me­reka itu tidak me­re­ko­me­n­dasikan, te­tapi me­mu­tuskan,” tandasnya.

Dia menilai, pola penga­wa­san internal MA cenderung man­dul karena ada perasaaan tak enak sesama korps kehaki­man. “Itulah sebabnya mereka masih berusaha melindungi anggotanya yang bermasalah. Padahal, yang namanya pelang­garan kode etik dan perilaku ha­kim itu hampir pasti selalu ber­kenaan dengan tindak pidana. Jadi, tidak cukup hanya melalui MKH,” lanjutnya.

Yenti berkeyakinan, bila ke­we­nangan pengawasan penuh ti­dak diberikan kepada KY, maka masa depan pemba­ngu­nan hakim yang bermartabat dan menjaga keluhuran serta ke­hormatannya akan terus ter­bengkalai.

“Kuncinya di legis­latif dan eksekutif dalam pem­buatan undang-undang. Harus ada kemauan untuk benar-benar memberikan fungsi penga­wa­san penuh kepada KY. Jangan ada tipu-tipu dan loby-loby yang mengeliminir fungsi se­sungguhnya,” kata dia.

Kinerja Pengawasan Belum Profesional

Ahmad Yani, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Ah­mad Yani menilai, pola pe­nga­wasan hakim yang dila­ku­kan Makamah Agung masih sa­ngat minim dan tidak menim­bul­kan efek jera. “Pengawasan internal itu masih lemah. Belum efektif,” ujarnya, kemarin.

Menurut dia, kinerja penga­wa­san itu pun belum profe­sio­nal. Sebagaimana dilakukan Majelis Kehormatan Hakim (MKH) yang menyidangkan hakim dengan rekomendasi pemberhentian tetap, tapi belum memiliki bukti dan data yang akurat.

“Itu menyangkut nasib dan hidup seseorang. Bagaimana bisa investigasi dan penyeli­di­kan yang dilakukan bagian pe­ngawasan internal Makamah Agung lemah dan tidak cukup bukti, namun sudah direko­men­dasikan untuk dipecat? Ini ber­bahaya, jangan sampai karena ke­teledoran pengawasan mere­ka, membuat nasib orang lain tak jelas,” ujar Yani.

Dia mengingatkan agar kerja pengawasan hakim benar-benar faktual dan berdasarkan bukti-bukti yang ril, bukan hanya ber­dasarkan laporan sepihak. Dari laporan itu, semestinya bagian pengawasan internal melakukan penyelidikan dan memastikan semua bukti-bukti secara aku­rat, barulah bisa di­reko­men­da­sikan ke MKH.

“Sebab, bila buk­tinya lemah dan tidak dilakukan pe­ny­e­li­di­kan secara profesional, bisa ber­akibat fatal dan itu bisa di­ka­te­go­rikan error in persona,” ucapnya.

Yani mengingatkan, selain ba­gian pengawasan internal MA, Komisi Yudisial (KY) juga memiliki peran penting untuk me­lakukan penyelidikan dalam tataran pengawasan hakim seca­ra eksternal. Dia berharap, fung­si pengawasan internal MA de­ngan fungsi pengawasan eks­ternal KY bisa berjalan seiring.

“Kalau pola kerja penga­wa­san internal MA masih tak pro­fesional, bukan tidak mungkin suatu saat nanti KY akan me­ngambil alih semua fungsi pe­nga­wasan itu,” ujarnya. Sebagai anggota Komisi Hu­kum DPR, Yani berjanji akan mendorong diefektifkannya fung­si penga­wasan internal MA dalam rapat-rapat Komisi III.   [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA