Bekas Kabulog Diproses Dapat Korting Hukuman

Remisi Sambut Hari Kemerdekaan 17 Agustus

Senin, 15 Agustus 2011, 05:01 WIB
Bekas Kabulog Diproses Dapat Korting Hukuman
ilustrasi/ist
RMOL.Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menggodok 33 ribu narapidana yang akan menerima remisi HUT Kemerdekaan RI.  Sejumlah nama terpidana kasus korupsi diperkirakan lolos penyaringan yang selesai pekan ini.

Usulan remisi bagi para ter­pi­dana itu, diterima Dirjen Pe­ma­syarakatan Kementerian Hukum dan HAM dari 25 Kantor Wilayah (Kanwil). Menurut staf Humas Ditjen Pemasyarakatan Chandra, usulan pemberian remisi ini ma­sih dibahas tim Ditjen Lapas. “Usu­lan itu belum berasal dari seluruh Kan­wil. Baru sebagian saja,” ujarnya.

Chandra juga belum bisa me­mas­tikan, siapa saja daftar nara­pidana yang berhak menerima remisi atau pemotongan masa hukuman. Namun, menurutnya, semua napi yang terlibat skandal korupsi, narkotika maupun tindak pidana terorisme berhak men­da­pat­kan remisi jika telah meme­nu­hi kriteria atau persyaratan. “Ma­sih diproses. Nama-namanya be­lum diputuskan,” ucapnya.

Namun, sumber di lingkungan Ditjen Pemasyarakatan me­ng­informasikan, sekalipun belum ada keputusan mengenai remisi, bekas Kepala Bulog Widjanarko

Puspoyo, bekas anggota DPR dari Partai Golkar Antony Zeidra Abidin, bekas anggota DPR dari Partai Bintang Reformasi Bulyan Ro­yan, narapidana kasus BNI Edy Santoso, Olah Abdulah dan Rudi Sutopo masuk daftar calon penerima remisi satu bulan. “Usu­lannya begitu, potongan masa tahanan satu bulan,” katanya.

Bekas Kepala Bulog Widja­nar­ko Puspoyo dituduh dalam dua per­kara. Pertama, kasus penga­da­an sapi ekspor fiktif. Kedua, per­kara penyelewengan dana pe­nga­daan beras nasional.

Widjanarko didakwa mene­ri­ma hadiah dari re­kanan Bulog. Dia kemudian di­jatuhi hukuman 10 tahun penjara oleh majelis ha­kim di Pengadilan Tipikor, Ja­kar­ta. Hingga proses kasasi, hu­ku­mannya tetap 10 tahun penjara.

Kemudian, Antony Zeidra Abi­din divonis bersalah dalam kasus aliran dana Bank Indonesia (BI) dari Yayasan Pengembangan Per­bankan Indonesia (YPPI) sebesar Rp 100 miliar. Dia berperan aktif dalam aliran dana ke DPR se­besar Rp 31, 5 miliar. Pada 2008, An­toni divonis lima tahun pen­jara dan denda Rp 250 juta. Se­dangkan Olah Abdullah, Husadi Yuwono dan Rudi Sutopo men­de­kam di penjara akibat me­nye­lewengkan duit BNI Cabang Kebayoran Baru, Jakarta Selatan sebesar Rp 161, 8 miliar.    

Ketika ditanya, siapa lagi ca­lon na­rapidana kasus korupsi yang ba­kal mendapat pengu­ra­ngan hu­ku­man, sumber tersebut mengaku ti­dak ingat karena jum­lahnya sangat banyak. “Banyak sekali, saya ti­dak ingat satu per­satu,” katanya.

Menurutnya, tidak tertutup kemungkinan pemotongan masa tahanan akan berkisar satu sam­pai enam bulan. Lantaran pe­mo­tongan masa hukuman tersebut, akan banyak narapidana yang bebas pada Hari Kemerdekaan 17 Agustus nanti. “Ada sekitar 1900 napi bebas. Sisanya, sekitar 29 ribu napi mendapat pengurangan masa hukuman,” tandasnya.

Hanya saja, sumber itu me­nam­­bahkan, sederet politikus yang tersangkut kasus suap pe­milihan Deputi Gubernur Senior Bank In­donesia (DGS-BI) Mi­ran­da Goel­tom belum memenuhi persya­ratan untuk mendapatkan remisi.

Sementara itu, Kepala Biro Humas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johan Budi Sapto Prabowo berharap, Kementerian Hukum dan HAM tidak men­gob­ral remisi bagi para koruptor. Soal­nya, jika remisi diberikan se­cara serampangan, maka kerja aparat penegak hukum dari KPK, Polri, kejaksaan dan pengadilan dalam menuntaskan perkara

korupsi bisa mubazir. “Kerja berat mengusut perkara korupsi jadi tidak setimpal dengan masa hukuman untuk koruptor. Ini bisa memicu ketida­k­sin­k­ro­nan lang­kah penegakan hukum,” ujarnya.

Tapi, menurut Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, remisi berlaku untuk seluruh pelaku tin­dak pidana, termasuk pelaku tindak pidana korupsi, asalkan memenuhi persyaratan sebagai warga binaan yang berhak men­dapatkan remisi. “Saya pikir, dalam aturan, mereka boleh dapat remisi,” ujarnya.

Hanya saja, Patrialis menam­bah­kan, pemberian remisi tidak bo­leh diberikan secara seram­pangan. “Harus diatur secara ke­tat,” kata bekas anggota DPR dari Partai Amanat Nasional (PAN) ini.

Menurut Patrialis, pemberian remisi terhadap narapidana kasus korupsi mengacu pada Undang Undang Nomor 12 Tahun 1995 ten­tang Pemasyarakatan, Peratu­ran Presiden Nomor 174 dan Pe­ra­turan Pemerintah Nomor 28. Dia menambahkan, remisi diaju­kan dan diberikan karena peni­laian bahwa napi itu berperilaku baik dan telah menjalani seper­tiga masa hukuman.

Gayus Pun Berpotensi Dapat Korting Hukuman

Jelang peringatan Hari Ke­mer­dekaan 17 Agustus, Menteri Hu­kum dan Hak Azasi Manusia Patrialis Akbar, lewat Direktorat Jenderal Pemasyarakatan meng­kaji 33 ribu narapidana yang akan diberi potongan masa hukuman, termasuk bekas PNS Ditjen Pajak Gayus Tambunan.     

“Gayus kan kasusnya bukan korupsi, ya dapat juga dong, kalau su­dah sembilan bulan. Rincian na­manya tidak jelas, tapi pa­to­kan­nya itu saja,” kata Patrialis saat menjawab pertanyaan wartawan apakah Gayus juga kebagian remisi. Hal itu disampaikan Pat­rialis di Istana Negara, Jakarta pada Kamis (11/9).

Lebih lanjut, Patrialis menolak jika remisi bagi Gayus dikatakan akan merusak rasa keadilan. Me­nurut Patrialis, rasa keadilan su­dah dipenuhi saat Gayus divonis hakim bersalah dan menjalani hu­kuman.

“Masak kalau sudah ber­kelakuan baik dalam penjara, ti­dak diberikan remisi. Nanti orang tidak punya harapan hidup lebih baik dong. Makanya lembaga pemasyarakatan itu bukan lagi penjara, re-integrasi sosial. Jadi jangan pakai balas dendam, salah sudah dihukum, penjara ada, den­danya juga ada,” katanya.

Sebaliknya, menurut Patria­lis, ka­lau narapidana tidak dibe­rikan remisi, maka akan me­nim­bulkan rasa putus asa. “Kan di­atur dalam un­­dang-undang, bah­kan ada Pe­raturan Peme­rin­tah-nya yang mengatur, tepat­nya PP nomor 28. Antasari juga dapat. Yang penting kalau sudah menjalani sembilan bulan di penjara, berhak dapat remisi,” katanya.

Lebih lanjut, menteri asal PAN ini merinci remisi yang akan di­keluarkan kementerian yang di­pim­pinnya. Setidaknya, ada 31.000 napi yang mendapatkan­nya, dengan rincian sekitar 1.900 orang langsung bebas dan 29.000 orang masih dalam pengurangan. “Tapi, itu baru masuk dari 24 kantor wilayah yang kami catat. Menjelang 15 Agustus ini kami menunggu tambahan lagi dari sembilan kanwil. Nanti totalnya kira-kira bisa mencapai 33.000 orang,” ujarnya.

Namun, rencana memberi remisi terhadap Gayus mendapat tentangan dari staf khusus Presiden bidang hukum, Denny Indrayana. Menurutnya, aneh jika Gayus mendapatkan remisi. Soalnya, wajah penegakan hu­kum bisa menjadi bahan cercaan atau tertawaan masyarakat.

Sementara itu, menurut Men­teri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Men­kopol­hu­kam) Djoko Suyanto, pemberian grasi hanya didasarkan atas per­timbangan bagi narapidana yang sudah berusia lanjut, pengidap penyakit menular dan anak-anak. “Pengecualian adalah na­rapidana narkoba, korupsi, teror. Kalau politik kan amnesti, bukan grasi,” ujarnya.

Akan Melukai Rasa Keadilan Masyarakat

Desmon J Mahesa, Anggota Komisi III DPR

Pengurangan atau korting masa hukuman bagi koruptor ti­dak boleh diberikan secara ge­gabah. Pasalnya, bisa melukai rasa keadilan masyarakat.

“Masyarakat bisa sangat kecewa. Kenapa koruptor dapat remisi besar, sementara pen­ja­hat kelas teri dihukum mak­s­i­mal,” ujar anggota Komisi III DPR Desmon J Mahesa.

Menurut Politisi Partai Ge­rindra ini, pemotongan masa hukuman tanpa pertimbangan matang tidak akan efektif. “Yang kita butuhkan dari hu­ku­man itu adalah  menimbulkan efek jera,” tandasnya.

Dia menilai, pemberian re­mi­si yang berlebihan juga bisa me­matahkan kinerja aparat  yang getol menyingkap kasus ko­rup­si. “Ini semua harus dibahas secara transparan dan kom­pre­hensif. Persoalan pemberian re­misi itu kan hak mutlak Kala­pas, Kakanwil dan Dirjen La­pas. Ini yang harus diawasi,” ujarnya.

Lantaran itu, menurut Des­mon, fungsi pengawasan DPR perlu diintensifkan dalam me­ngevaluasi pemberian remisi, khu­susnya bagi koruptor. Dia tidak ingin  pemberian remisi dimanfaatkan para koruptor un­tuk meringankan huku­mannya. Sementara pada bagian lain, di­manfaatkan oknum-oknum ter­tentu untuk mendapat keu­nt­ungan dari pemberian remisi tersebut.

“Ada celah yang bisa di­manfaatkan pihak tertentu. Ini yang harus diawasi secara ketat,” tambahnya.

Mengenai kemungkinan bekas PNS Ditjen Pajak Gayus Tambunan juga mendapatkan remisi, Desmon tidak setuju. Ma­salahnya, sambung dia, ka­sus pajak yang menyeret Gayus, sejauh ini belum tuntas. Belum tuntas siapa saja yang diduga menyuap Gayus. Belum tuntas pula kemana saja Gayus me­ngalirkan duitnya.

Bisa Sebabkan Hilangnya Bukti Kasus Korupsi

Bambang Widodo Umar, Dosen PTIK

Pemberian remisi bagi narapidana kasus korupsi selalu mengundang protes. Soalnya, para napi yang telah terbukti merugikan negara itu, dinilai banyak kalangan tidak pantas mendapatkan pengurangan masa hukuman.

“Mereka sudah merugikan keuangan negara dalam jumlah sangat besar. Sehingga, meski ada undang-undang dan pera­tu­ran pemerintah yang mengatur soal remisi, saya rasa mereka tidak layak mendapat remisi,” ujar dosen Perguruan Tinggi Il­mu Kepolisian (PTIK) Bam­bang Widodo Umar.

Menurut Bambang, pem­be­ri­an remisi kepada para koruptor juga bisa mengendurkan sema­ngat pemberantasan korupsi.

“Kalau remisi bebas diberi­kan kepada para koruptor, me­reka bisa akan mengulangi per­buatannya. Tidak ada efek jera,” kata dosen Pasca Sarjana Uni­ver­sitas Indonesia (UI) ini.

Padahal, katanya, motivasi memidanakan koruptor juga agar yang lain berpikir seribu kali untuk korupsi. Dia menam­bahkan, jika hukuman terhadap koruptor ringan, otomatis napi koruptor akan lebih cepat bebas. Bambang khawatir, cepat be­bas­nya koruptor akan memicu hilangnya barang bukti tindak pidana korupsi yang pe­na­nga­nannya belum tuntas.

“Masih banyak kasus korupsi yang pengusutannya belum tuntas, sementara pelaku yang terkait kasus tersebut sudah bebas,” ujarnya.

Lantaran itu, Bambang ber­harap koruptor tidak men­da­pat­kan remisi atau pengurangan hu­kuman. Dia juga mengu­sul­kan agar para hakim yang me­nangani kasus-kasus korupsi le­bih tegas dan berani menj­a­tuh­kan vonis ekstra berat terhadap koruptor. [rm]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA