WAWANCARA

Bambang Widjojanto: Saya Terkesan Jadi Juri Mochtar Lubis Award

Sabtu, 13 Agustus 2011, 03:58 WIB
Bambang Widjojanto: Saya Terkesan Jadi Juri Mochtar Lubis Award
Bambang Widjojanto
RMOL. Bambang Widjojanto selama ini dikenal sebagai aktivis hukum yang vokal. Hubungannya dengan pers cukup dekat. Makanya, calon Ketua KPK itu merasa senang saja saat dipilih menjadi juri Mochtar Lubis Award.

“Menjadi salah seorang juri peng­hargaan jurnalistik ber­gengsi itu, benar-benar  membuat saya terkesan,” kata Bambang Widjojanto kepada Rakyat Mer­deka, di Jakarta, kemarin.

Bekas Direktur YLBHI itu merasa mendapatkan banyak wawasan pengetahuan tentang berbagai hal. Salah satunya opti­mistis bahwa pers sebagai pilar keempat demokrasi belum mati oleh industrialisasi.

“Saya jadi banyak tahu yang tak pernah terpikirkan sebelum­nya,” kata Bambang, mengomen­tari karya-karya jurnalistik yang dilombakan.

Misalnya, dirinya baru tahu ada sebuah kampung kumuh di Sura­baya yang warganya tak pernah diberikan Kartu Tanda Penduduk (KTP). “Pemerintah hanya da­tang lima tahun sekali, untuk me­mo­bilisasi mereka ikut pemilu,” katanya.

Menurut Bambang, posisi pers dalam proses demokrati­sasi di Indonesia cukup strate­gis, ini bisa dilihat dari peran­nya sebagai alat kontrol sosial bagi publik.

“Pemberian penghargaan ke­pada insan pers agar mereka ter­dorong untuk membuat berita yang mendidik dan menjadi kon­trol sosial,” ucapnya.

Berikut kutipan selengkapnya;

Apalagi alasan membuat Anda merasa senang menjadi juri itu?
Ini penghormatan terhadap almarhum Mochtar Lubis. Tak hanya sebagai seorang jurnalis yang gigih, tekun, berani dan penuh integritas, tapi di mata saya, Mochtar Lubis, seorang yang sangat teliti.

Apa Anda punya kenangan ter­hadap Mochtar Lubis?
Tahun 1984, saat pertama kali saya datang ke Jakarta dari Jaya­pura untuk wawancara berki­prah di Yayasan Lembaga Ban­tuan Hu­kum Indonesia (YLBHI). Saat itu pewawancaranya adalah Moch­tar Lubis, salah seorang anggota De­wan Kehormatan YLBHI.

Beliau bertanya, “Apa buku yang terakhir kali kamu baca?”. Tentu saya kaget mendengar pertanyaan itu. Saya jawab; saya baru saja membaca buku tentang bantuan hukum karangan Todung Mulya Lubis. Lalu ditanya; “Siapa itu Mulya Lubis”.

Karena saya menjawab tak tahu, Mochtar Lubis pun menga­jak saya bicara panjang. Saat itu saya mulai dekat dengan sang tokoh pers Indonesia itu.

Nilai apa yang bisa diambil dari sosok Mochtar Lubis dari segi jurnalisme?
Pak Muchtar itu bukan hanya wartawan, tetapi juga sastrawan. Itu yang menarik. Di situlah ke­kuatannya. Kalau Mochtar Lubis mau diletakkan menjadi barome­ter, seharusnya wartawan tidak hanya sekadar menulis berita, tetapi juga harus punya ke­mam­puan cita rasa berita. Kedah­sya­tannya adalah jurnalisme in­vesti­gasi, itu yang menjadi tu­lisan­nya tidak kering.

O ya, bagaimana Anda meli­hat pers sekarang ini?
Pers kerapkali menyajikan sebuah berita sekadar berita, tidak mengedukasi publik. Makanya Mochtar Lubis Award ini penting untuk meminimalisasi kekura­ngan tersebut, sehingga orang yang diberikan award karena menulis yang baik akan men­dorong wartawan lain menulis dengan baik juga.

Dalam lomba itu, apa yang Anda temukan?
Saya menjadi juri kategori pela­yanan publik. Di sana saya membaca banyak tulisan yang sangat tajam. Bukan sekadar se­buah berita. Tapi mengungkap­kan secara elaboratif dan utuh apa yang menjadi sebab sebuah berita.

Misalnya tulisan mengenai kampung Beting yang kondisinya sangat miskin. Ditulis secara in­vestigasi, tajam, dan kompre­hen­sif. Dari sana bisa dilihat tali-te­mali antara kondisi sosial satu de­ngan yang lainnya, sehingga kita bisa mendapatkan problem yang utuh dari permasalahan yang ada.

Apa yang harus dikembang­kan?
Di pers ada kode etik dan infor­masi ditulis dengan cover both side. Instrumen itu bisa mengon­trol dan harus terus digelorakan. Selain itu, sebuah info yang di­kembangkan harus berkualitas dan menjelaskan secara bertang­gung jawab.

Bagaimana Anda melihat ke­bebasan pers?
Ini harus lihat dalam perspektif Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik, dan Komite Informasi Publik (KIP). Di situ ter­gambar bahwa Semua infor­masi seharusnya terbuka.

Bisa dikecualikan pada hal-hal tertentu. Misalnya ada aspek-aspek keamanan. Artinya, apa­bila sebuah informasi dinyatakan ditutup, maka harus dijelaskan apa alasannya, masuk akal atau tidak. Pada dasarnya semua infor­masi terbuka.

Soal larangan wawancara napi di Lapas dan Rutan, ba­gai­mana menurut Anda?
Hal itu harus dipertanyakan. Bisa saja ada kebijakan ter­tentu dengan tingkat keama­nan yang belum tentu kita ketahui. Tapi me­reka harus menjelaskan.   [rm]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA