KY Curigai Duit 200 Juta, Hadiah Ayam & Singkong

Proses Seleksi Calon Hakim Agung

Sabtu, 23 Juli 2011, 07:00 WIB
KY Curigai Duit 200 Juta, Hadiah Ayam & Singkong
ilustrasi, penlantikan hakim agung
RMOL. Hingga kemarin, proses seleksi calon hakim agung (CHA) di Komisi Yudisial (KY) baru berjalan tiga hari. Sejumlah CHA mempunyai harta yang jumlahnya melimpah untuk ukuran hakim karier.

Hal itu membuat curiga tim panelis dari KY. Alhasil, tim panelis mempertanyakan harta yang dimiliki para CHA itu.

Nommy Siahaan adalah salah seorang CHA yang hartanya di­pertanyakan tim panelis. Hakim Pengadilan Tinggi Palangkaraya itu ditanya mengenai asal usul har­tanya yang mencapai angka Rp 1,5 miliar.

Komisioner KY Suparman Mar­­zuki menanyakan kebenaran jumlah hartanya itu. Tanpa basa-basi, Nommy mengakui hal ter­sebut. “Benar Pak, kira-kira se­gitulah,” katanya kepada tim pa­nelis di lantai 4 Gedung KY, Ja­karta, kemarin. Suparman kem­bali mem­per­ta­nyakan seputar ke­benaran hakim Nommy memiliki tabungan di Bank Mandiri yang mencapai Rp 200 juta.

“Sejak kapan Anda punya harta tersebut,” tanya Suparman. “Ka­lau rekening Mandiri itu, saya su­dah punya sejak tahun 1992 Pak,” jawab Nommy.

Atas jawaban tersebut, Supar­man kaget bukan kepalang dan kembali mencecar. Soalnya, Bank Mandiri adalah hasil mer­ger beberapa bank setelah era re­formasi tahun 1998. Mendengar cecaran itu, Nommy meralat ja­wa­bannya. “Maaf Pak, maksud saya tahun 90-an,” ujarnya.

Menurut Nommy, harta itu gabungan yang dia dapat dengan  istrinya yang merupakan pegawai negeri sipil. Dia mengaku juga mendapatkan gaji dan pen­g­ha­silan sebagai dosen, penulis, dan editor buku. Selain itu, ia pernah me­nerima hadiah dari seorang pihak yang berperkara berupa satu ekor ayam kampung dan beberapa buah singkong.

Mendapati jawaban Nommy yang merasa tidak masalah de­ngan pemberian ayam kampung beserta singkong itu, Suparman keberatan. Menurut Suparman, pemberian atau hadiah itu ben­tuk­nya bisa berkembang. Awal­nya ayam atau singkong, berikut­nya bisa jadi sertifikat tanah atau kunci mobil. “Pemberian itu sub­stan­sinya sama saja. Dia bisa berkembang,” ujar Suparman.

Sebelumnya, ada nama calon ha­kim agung Muhammad Da­ming Sunusi. Saat ini, dia men­jabat sebagai Wakil Ketua Penga­dilan Tinggi Medan. Tim panelis menyampaikan berbagai macam pertanyaan kepada Daming lan­taran jumlah harta kekayaannya mencapai Rp 1,9 miliar.  

“Bisa sau­dara jelaskan, soal har­ta saudara yang berjumlah se­kitar Rp 1,9 Miliar? Berapa gaji sau­da­ra, dan istri saudara?” ta­nya Ko­mi­sioner KY Suparman Mar­zuki ke­­pada Daming pada Kamis (21/7).

Daming yang saat itu meng­gunakan jas hitam dan celama pan­jang hitam, menerangkan se­putar kepemilikan harta sebesar Rp 1,9 miliar tersebut. Daming meng­klaim, harta yang didapat­nya itu merupakan harta halal dan bukan merupakan hasil pene­ri­maan suap apalagi korupsi.

“Saya punya usaha kebun, dan punya usaha perikanan yang masih aktif dan bisa memberikan keuntungan per tahun,” akunya.

Tapi, jawaban yang singkat itu tidak membuat hati Suparman lega. Suparman kembali me­na­nya­kan penghasilan usaha perke­bunan tersebut. “Berapa peng­ha­silan usaha Anda per tahun,” tanya Suparman.

Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Me­dan itu pun dengan santainya menjawab. “Untuk perikanan ter­gantung harga musiman, intinya bisa ratusan juta per tahun. Untuk perkebunan bisa Rp 35 juta per bulan,” katanya.

Daming juga dimintai peni­lai­an­nya mengenai permainan ha­kim dalam memutus perkara. Me­nurutnya, apabila seorang ha­kim menerima suap untuk mempe­nga­ruhi putusannya, maka hakim tersebut akan bermain di pertim­bangan hukum.

“Tentu akan main di pertim­bangan hukumnya, dan dia mem­buat pertimbangan hu­kum sesuai keinginan nafsunya,” ucapnya.

Selanjutnya, CHA Made Rawa Aryawan dibombardir pertanya­an panelis KY terkait track re­cord-nya selama 29 tahun men­jadi hakim. Terutama mengenai uang jaminan perkara Rp 4 miliar dalam kasus pencemaran lingku­ngan oleh kapal berbendera Yu­nani, MT Panos, di Balikpapan, Kalimantan Timur. Hakim Made diwawancarai oleh tim panelis pada Kamis (21/7).

Panelis yang saat itu dipimpin Ketua KY Eman Suparman me­na­nyakan isu uang perkara Rp 4 miliar saat Made menjadi Ketua Pengadilan Negeri Balikpapan 2004-2006. Kepada panelis, Made menyatakan bahwa uang tersebut adalah uang jaminan atas penangguhan penahanan.

“Saat itu ada kapal Yunani yang disewa Pertamina bersandar di pela­bu­han lebih dari 30 hari. Menurut pe­raturan internasional, ini pe­langgaran. Lalu polisi mem­pro­ses secara pidana. Selain pi­dana, juga pemilik kapal didenda Rp 100 juta per hari,” kata Made.

Namun, Made menolak telah me­nerima Rp 4 miliar dari kasus tersebut. Menurut dia, Rp 4 miliar itu merupakan uang yang dibe­rikan terdakwa kasus tersebut guna men­dapatkan penangguhan pena­hanan. Kemudian, katanya, uang itu diti­tip­kan ke Bank BRI setempat.

Setelah kasus itu sele­sai, Made menyatakan bahwa uang tersebut sudah diserahkan ke kas negara. “Demi Tuhan, tidak satu sen pun uang itu ada yang masuk ke kan­tong saya,” ucap Made sambil me­­ngacungkan dua jarinya ke atas.

Selain kasus tersebut, Made juga dicecar dengan pertanyaan seputar kepemilikan jam merek Junghans di rumahnya. Kecu­rigaan panelis KY muncul karena Made tidak punya hobi men­go­leksi jam antik.

Menurut inve­s­ti­gasi panelis KY, di pasaran jam berdiri model klasik abad per­te­ngahan ini, di­bandrol dengan harga Rp 10 juta hingga puluhan juta rupiah.

Kepada panelis, Made me­ngaku jam tersebut dibeli istrinya pada 2005. Dia pun membantah jam antik buatan Jerman ini bernilai mahal. “Harganya tidak Rp 25 juta. Tapi Rp 11 juta. Yang beli istri saya, tanpa memberitahu saya terlebih dahulu. Tapi setelah membeli, istri saya menyesal, mahal,” kata Wakil Ketua Pe­nga­dilan Tinggi Manado ini.

Teringat Kasus Suap Hakim
Harry Witjaksana, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Harry Witjaksana meminta Ko­misi Yudisial (KY) tak me­loloskan calon hakim agung yang terbukti memiliki harta mi­liaran rupiah dengan cara yang tidak wajar. Sebab, akhir-akhir ini banyak terjadi kasus penyuapan yang menjerat oknum hakim.

“Karena siapa tahu hartanya itu merupakan hasil suap atau praktik terlarang lainnya. Di sinilah peran KY dibutuhkan un­tuk menyeleksi para hakim tersebut,” katanya, kemarin.

Harry pun teringat sejumlah kasus suap hakim. Dia men­con­tohkan, tertangkap tangannya hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Bandung, Imas Dianasari oleh KPK karena diduga menerima suap sebesar Rp 200 juta. Menurutnya, ter­tangkapnya hakim Imas me­nam­bah catatan hitam yang melibatkan oknum peradilan.

“Kami tak mau kasus Imas terjadi pada hakim agung. Ka­rena itu, seleksi ketat sangat di­perlukan saat ini,” ucapnya.

Menurutnya, dari 45 calon ha­kim agung itu, KY harus me­milih 30 orang untuk diajukan ke DPR guna menjalani uji ke­layakan dan kepatutan (fit and proper test).

Karena itu, Harry mendesak KY supaya memilih 30 calon hakim agung yang paling kre­dibel dan bersih dari segala ma­cam pelanggaran. “Kami tak mau melakukan tes hanya untuk orang-orang yang tidak me­ngerti hukum dan suka me­lang­gar hukum,” ujarnya.   

Harry meminta perwakilan elemen masyarakat turut serta memantau proses seleksi calon hakim agung di KY. Sebab, kata dia, proses seleksi calon hakim agung dilakukan secara terbuka.

“Kalau ketahuan ada calon hakim yang pernah bermasalah, segera laporkan ke KY untuk diteliti ulang,” tandasnya.

Serahkan Saja Kepada KPK
Alex Sato Bya, Bekas Jaksa Agung Muda

Bekas Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, Alex Sato Bya menilai Komisi Yudisial (KY) tak perlu me­na­nyakan dan menelusuri jumlah harta kekayaan yang dimiliki oleh calon hakim agung dari go­longan karier. Pasalnya, perkara tersebut bukanlah kewenangan KY selaku tim panelis pada pro­ses seleksi tersebut.

“Saya rasa itu sudah kewe­na­ngan KPK kalau mau mene­lu­suri harta kekayaan. Pada pro­ses itu, seharusnya KY hanya menyeleksi pelanggaran etik saja,” katanya, kemarin.

Alex menambahkan, KY juga tak mempunyai ke­we­nangan apapun apabila terbukti ada seorang calon hakim agung yang mempunyai harta tidak wajar. Menurutnya, temuan KY itu sebaiknya diserahkan kepa­da lembaga penegak hukum lainnya. “Bisa serahkan ke KPK atau Polri. Biar mereka yang me­ngusut perkara itu,” ucapnya.

Meski akhir-akhir ini marak terjadi kasus penyuapan hakim, tapi bagi dirinya sejumlah per­kara itu belum bisa dikatakan seb­­agai bukti bahwa instrumen peradilan di Tanah Air sudah dirasuki oleh mafia peradilan.

“Masih banyak juga hakim yang bekerja dengan hati nurani dan berdasarkan fakta,” kata Pria yang pernah menjabat se­ba­gai jaksa selama 40 tahun ini.  

Begitu pula manakala tim pa­nelis KY mencecar harta ke­ka­yaan milik calon hakim agung, Alex berpendapat suatu hal yang lumrah apabila ada hakim karier yang mempunyai harta miliaran.

“KY jangan ber­pra­sang­ka buruk dulu. Memang­nya hakim tak boleh kaya. Siapa tahu se­lain menjabat sebagai hakim karier ada bisnis sam­pingan yang halal,” ujar anggota dewan kehormatan partai Demokrat DKI Jakarta yang konon sedang berencana mengundurkan diri dari partai Demokrat ini.

Karena itu, Alex kembali me­nyarankan KY supaya tidak keluar jalur dalam menjalankan tugasnya menyeleksi calon ha­kim agung. Sebab, masih ba­nyak poin penting lainnya yang perlu ditanyakan ketimbang ri­but soal harta miliaran rupiah milik hakim. “Tak ada efeknya juga kalau mereka lakukan hal itu,” tandasnya.   [rm]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA