Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

WAWANCARA

Farouk Muhammad: Kapolri Perlu Lakukan Reformasi Jilid II...

Rabu, 29 Juni 2011, 08:23 WIB
Farouk Muhammad: Kapolri Perlu Lakukan Reformasi Jilid II...
RMOL. Kapolri Timur Pradopo didesak melakukan reformasi jilid II, khususnya terkait dengan sistem manajemen kepolisian. Ini demi memperbaiki kinerja lebih baik.

“Coba kita lihat reformasi Polri yang sudah dilakukan selama ini.

Apakah perlu diperbaiki atau ada langkah lain. Saya menye­butnya perlu reformasi jilid II,’’ ujar Ketua Ikatan Sarjana Profesi Perpolisian Indonesia (ISPPI), Farouk Muhammad, di Jakarta, kemarin.

Seharusnya, kata Farouk, perlu dibedakan antara sistem mana­jemen kepolisian dengan sistem kepolisian. Sebab, keduanya berbeda. Sistem kepolisian tidak ada masalah karena secara na­sional sudah melaksanakan itu. Tapi dalam sistem manajemen kepolisian sifatnya tidak harus secara nasional.

“Sistem manajemen kepolisian harus di-desentralisasi-kan. Mu­lai dari program perencanaan sampai pengawasan harus diusa­hakan dilokalisir,’’ ungkap bekas Gubernur PTIK tersebut.

Farouk mencontohkan, pihak kepolisian dalam penegakan kea­manan lokal, termasuk pembi­naan dan pencegahan.

Sebaiknya bekerja sama de­ngan Pemda sehingga Polda dan Polres yang berperan besar dalam menyusun program-programnya.

“Pemda akan mendukung da­lam hal anggaran, sehingga jelas pertanggungjawaban program­nya, yaitu kepada Pemda setem­pat,’’ ucap Farouk.

Berikut kutipan selengkapnya;

Reformasi Polri selama ini ku­rang maksimal ya?
Sebenarnya langkah reformasi kepolisian sebagian besar sudah on the track dan out come yang dihasilkannya sudah kelihatan. Selain itu, profesionalitas dan pelayanan kepolisian, baik reaktif maupun proaktif, sudah semakin baik. Independensi polisi juga semakin baik. Artinya jauh dari kooptasi politik penguasa.

Namun masyarakat Indonesia bukan saja mengalami perkem­bangan secara regular, tetapi ter­jadi lompatan perubahan. Teru­tama dalam hal ke­bebasan, ke­kuatan me­dia massa yang besar dalam mem­bentuk daya kritis masyarakat. Lalu keluhan-ke­lu­han yang dulu­nya tidak terako­modir, sekarang disampaikan melalui sarana media massa. Ini yang membuat seolah-olah kepo­lisian nihil pe­rubahan. Padahal kepolisian dan masyarakat ke­duanya sama-sama mengalami perubahan.

Apa yang belum dilakukan Polri ke depan?
Hal yang sulit dilakukan adalah mengubah mindset dalam konteks pe­rubahan paradigma. Artinya, Polisi harus menyadari betul bahwa polisi adalah milik ma­syarakat.

Seringkali dikatakan polisi mi­lik masyarakat, stakeholder polisi adalah masyarakat, tapi polisi punya kewenangan. Hal ini  tidak nyambung.

Bagaimana dengan senjata yang dijadikan sebagai simbol kekuatan polisi?
Saya rasa the power of police bukan terletak pada senjata yang digunakannya dan juga bukan terletak pada kewenangan yang dimilikinya. Polisi membawa bedil (senjata), polisi bisa me­nang­kap itu kan kewenangannya. Tapi bukan itu kekuatan polisi, namun ada pada dukungan publik.

Seandainya seorang polisi bisa menggunakan bedil dan bisa me­nembak orang, lalu bisa menahan orang, polisi tersebut berhasil mengikuti aturan hukum. Namun belum tentu mendapat dukungan dari masyarakat. Kalau ini terjadi terus menerus, maka polisi akan hancur pada waktunya.

Apa yang salah terhadap polisi selama ini?
Harus kita akui secara jujur bahwa paradigma dalam sebuah kebijakan yang diambil selalu dilihat menurut kacamata polisi. Apa yang benar menurut polisi, itu yang dijadikan patokan. Me­mang dikatakan stakeholder-nya adalah masyarakat. Tapi polisi masih kurang menem­patkan ma­syarakat sebagai stakeholder, harus melihat apa maunya ma­syarakat.

Artinya ekspektasi masyarakat yang tinggi tetapi polisi tidak bisa mengimbanginya. Ini kan dua hal yang berbeda.

Mengapa timbul perbedaan?
Sebab, polisi merasa benar me­nu­rutnya, itulah yang dilaku­kannya. Kebijakan yang diambil selalu dilihat menurut kacamata polisi, bukan dari kacamata ma­syarakat.

Sebenarnya kalau dipahami bahwa polisi bukan saja ber­tang­gung jawab kepada atasan­nya. Tapi kepada masyarakat juga. Polisi harus memberikan laporan kepada publik.

Saya pernah me­rom­bak tradisi polisi pada hari Bhayangkara tanggal 1 Juli 2001, ketika saya berpidato sebagai Kapolda, saya tidak membacakan amanat Kapolri.

Saya ubah itu, apa yang men­jadi amanat Kapolri saya ako­mo­dir. Namun isinya lebih banyak pertanggungjawaban saya kepada publik. Terkait apa yang sudah saya lakukan selama kepengu­rusan saya, apa yang belum dan apa kekurangannya, itu saya sam­paikan melalui media massa.

Bagaimana dengan kasus rekening gendut Polri?
Saya rasa belum tuntas dije­las­kan oleh polisi, mengenai keja­dian sebenarnya. Ada dua jalan keluarnya. Pertama, kalau polisi memandang apa yang dicurigai oleh masyarakat memang tidak terbukti, buktikanlah dan tunjuk­kan melalui media, bahwa apa yang dicurigai itu adalah tidak benar. Cara menyangkal ketidak­benaran harus dengan fakta, tidak bisa dengan opini. Kedua, apabila ada sesuatu dalam kasus itu, ya serahkan kepada pihak lain untuk diusut secara tuntas.  [rm]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA