LSM FITRA Berantem Dengan Setjen DPR

Setelah Tuding DPR Dapat Pulsa Rp 151 Miliar

Rabu, 18 Mei 2011, 06:46 WIB
LSM FITRA Berantem Dengan Setjen DPR
RMOL. Setelah menuduh DPR dapat duit pulsa Rp 151 miliar per tahun, LSM Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) berantem argumen atau adu pendapat dengan Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR.
 
FITRA menantang Setjen DPR untuk menempuh langkah hukum setelah mengajukan somasi. Bah­kan, FITRA akan melaporkan DPR ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

FITRA menilai, tindakan Set­jen DPR yang dipimpin Nining Indra Saleh saat melayangkan so­masi dan meminta FITRA men­ca­but pernyataan soal uang pulsa anggota DPR Rp 14 juta per bu­lan, merupakan bentuk pem­bung­kaman hak asasi manusia.

“Kami sebagai warga negara memiliki hak untuk menyampai­kan penda­pat,” kata Sekjen FITRA Yuna Far­han di Jakarta, kemarin.

Pada Kamis (19/5) mendatang, kata Yuna, pihaknya akan mela­porkan Sekjen DPR ke Komnas HAM. Menurut dia, sebagai wa­kil rakyat yang salah satu tugas­nya menampung aspirasi rakyat, DPR seharusnya mau men­de­ngar­kan dan menerima aspirasi, baik dalam bentuk masukan mau­pun kritik, termasuk dari FITRA.

“Bagaimana DPR mau meng­kritisi anggaran pemerintah kalau mereka memiliki desain anggaran yang boros,” ujarnya.

Menanggapi hal itu, Sekjen DPR Nining Indra Saleh me­nya­ta­kan akan membawa masalah ini ke ranah hukum. Sehingga, pe­no­la­kan FITRA untuk mencabut per­nyataannya akan dibicarakan dengan Biro Hukum Setjen DPR. “Tentu ini semakin membuka pin­­tu bagi kami untuk membawa ma­salah tersebut ke jalur hu­kum,” kata Nining melalui pesan singkat.

Hal senada disampaikan Kepala Biro Hukum Setjen DPR Johnson Rajagukguk. Menurut dia, Setjen DPR siap menerima tantangan FITRA yang akan me­laporkan masalah ini kepada Kom­nas HAM. “Silakan saja. Me­re­ka pu­nya hak. Yang penting, me­reka ha­rus bisa mem­per­tang­gung ja­wab­kan pernyataan itu,” katanya.

Pada 12 Mei lalu, Nining pun telah menyampaikan bahwa uang pulsa anggota DPR seperti yang dilansir FITRA itu tidak pernah ada dalam Daftar Isian Pelak­sa­na­an Anggaran (DIPA) DPR. Se­hingga, apa yang disampaikan FITRA itu, menurutnya, tidak ber­dasar, tidak etis, terlalu berle­bi­han, tendensius dan sudah me­lam­paui batas-batas kepatutan.

Lantaran itu, Nining men-dead­line FITRA selama tiga hari untuk mencabut siaran persnya tersebut dan meminta maaf di me­dia massa nasional. Kurun tiga hari itu terhitung sejak 12 Mei lalu. “Apabila dalam kurun waktu tiga hari tidak diindahkan, maka kami akan menempuh upaya hu­kum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang ber­laku,” ancamnya.

Sampai kemarin, setelah lebih dari tiga hari tenggat somasi itu, FITRA tak mau memenuhi tuntu­tan Setjen DPR. Koordinator In­ves­tigasi dan Advokasi FITRA Ucok Sky Kadafi menegaskan, pihaknya tidak akan mencabut siaran pers mengenai uang pulsa anggota DPR, walaupun somasi sudah dilayangkan Setjen DPR. “Silakan saja. Kami sudah siap­kan 100 pengacara untuk meng­ha­dapi somasi tersebut,” tandasnya.

Menurut Uchok, siaran pers itu tidak bertujuan untuk mengkritisi secara personal anggota DPR. Tapi, kritik terhadap kebijakan tunjangan komunikasi intensif yang terlalu mahal. Kebijakan itu dikeluarkan anggota Dewan. Dia menambahkan, dalam tunjangan itu terjadi dobel anggaran, yakni tunjangan komunikasi intensif se­besar Rp 14 juta per bulan dan biaya penyerapan aspirasi ma­sya­rakat sebesar Rp 8,9 juta per bu­lan dalam bentuk gaji.

“Yang kami inginkan supaya terjadi perbaikan, supaya uang ko­­munikasi ini tidak lunsum. Lun­sum di sini artinya hanya bu­tuh tanda tangan DPR, dan sete­lah anggota DPR menerima uang komunikasi itu, mereka tidak butuh lagi yang namanya per­tang­gungjawaban,” urainya.

Uchok mengatakan, somasi yang diajukan Setjen DPR cacat di mata hukum. Sebab, menu­rut­nya, sebagaimana diatur dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, anggota DPR mempunyai kewajiban me­nam­pung dan menindaklanjuti aspi­rasi dan pengaduan masyarakat. “Nah, kalau seperti ini maksud­nya apa? Jadi tidak jelas,” ucap dia.

Terkait temuan FITRA itu, dia menyatakan, tunjangan pulsa un­tuk anggota DPR sebesar Rp 14,1 juta per bulan memang ditulis dengan nomenklatur tunjangan komunikasi intensif dalam DIPA.

“Seperti untuk beli pulsa, itu yang kami tafsirkan. Nomen­kla­tur itu tidak spesifik. Jadi, semau-mau anggota Dewan. Kalau Ba­dan Pemeriksa Keuangan masuk, dia tidak bisa melakukan audit,” tandasnya.

FITRA, menurut Uchok, tetap me­nilai besaran tunjangan ko­mu­nikasi intensif Rp 14,1 juta per bu­lan plus rata-rata Rp 20 juta da­lam setiap kali masa reses, terlalu besar untuk setiap anggota De­wan. Lantaran itu, FITRA me­min­ta salah satu item tunjangan tersebut dihapuskan. “Cukup tun­jangan dua juta sampai tiga juta rupiah untuk pulsa anggota De­wan,” tandasnya.

Hasil Penelitian Semau Gue
Nasir Jamil, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Nasir Jamil berpendapat, lan­siran LSM FITRA bahwa uang pulsa anggota Dewan Rp 151 miliar per tahun tidak bisa dika­tegorikan valid.

Soalnya, lan­si­ran FITRA di­buat seram­pa­ngan. Karena itu, Nasir ber­ha­rap FITRA tak me­la­kukan pe­ne­litian secara sem­barangan lagi.

“Bisa dikatakan penelitian semau gue. Jangan begitu lah, saya sempat terkejut saat perta­ma kali membaca berita itu. Kemudian setelah saya cermati, hasil penelitian mereka me­mang tak tepat banyak yang sa­lah,” katanya.

Nasir tampaknya gerah dengan lansiran FITRA bahwa uang pulsa anggota Dewan Rp 14 juta per bulan dan Rp 20 juta setiap kali masa reses. Alhasil, ia pun mengkritik LSM pada umumnya. Menurut dia, LSM sering membohongi publik ka­rena membeberkan hasil pene­litian yang belum tentu valid. “Itulah kualitas LSM kita. Itu bukti LSM kita sering mem­bo­hongi publik,” ujarnya.

Politisi PKS ini pun menilai, FITRA seakan gelap mata memberikan informasi tersebut kepada publik untuk me­ron­tok­kan citra DPR. “Bahasanya itu pulsa, tidak enak sekali, seakan-akan anggota DPR menggosok-gosok voucher pulsa. Saya jadi bertanya balik, motif LSM itu apa?” ucapnya.

Lantaran itu, Nasir lebih bisa me­nerima kritik-kritik tulus dari berbagai kalangan di luar LSM. Menurut dia, yang dilon­tarkan LSM FITRA itu layak­nya fitnah. “Kalau tujuannya hanya untuk menyebarkan fitnah, itu tidak baik. Kalau mau tahu uang pulsa kami, sete­ngah­nya saja dari angka tersebut ti­dak sampai kok. Ini malah di­sebut Rp 14 juta,” tandasnya.

Alhasil karena sering men­da­patkan kritikan pedas, Nasir me­nganggap LSM di Indonesia telah ditunggangi oknum-ok­num. “Ini bahaya. Kalau se­mu­anya kritik terus, bagaimana kami mau kerja. Begini salah, be­gitu salah. Kalau kritikan itu masih on the track kami sangat me­nerima kok,” katanya.

Asyik Mikirin Diri Sendiri
Boyamin Saiman, Koordinator LSM MAKI

Koordinator LSM Ma­syarakat Anti Korupsi Indo­nesia (MAKI) Boyamin Saiman berharap, rencana LSM FITRA mengadu ke Komnas HAM ba­kal meredam DPR dalam meng­hamburkan anggaran negara.

Dia pun meminta para politisi DPR lebih konsen mem­per­juang­kan nasib rakyat atau konstituennya. Menurutnya, kalau anggaran pulsa itu benar, maka bisa dianggap sebagai pemborosan. Soalnya, menurut dia, sejauh ini anggota DPR sudah ditunjang dengan gaji dan fasilitas yang besar.

“Kenapa kebutuhan ko­mu­nikasi mereka juga harus di­bia­yai negara. Ini jelas tidak adil, apalagi sekarang kondisi per­ekenomian rakyat tengah ter­pu­ruk,” ujarnya.

Konsekuensi pemberian tunjangan pulsa, menurut dia, se­harusnya dipikirkan betul manfaatnya. Soalnya, lanjut Boyamin, tidak sedikit anggota DPR yang selama ini hanya asyik memikirkan ke­pentingan dirinya atau partainya sendiri.

“Sikap-sikap seperti tidak hadir rapat, hanya duduk tanpa pernah mengkritisi kebijakan yang ada, atau mengekor suara terbanyak, masih kerap terli­hat,” tandasnya.

Lantaran itu, tanda Boyamin, sangat tidak wajar jika mereka lantas diberi jatah tambahan ang­garan pulsa. “Lebih baik ang­garan itu didistribusikan untuk kepentingan lain yang manfaatnya bisa langsung di­rasakan rakyat,” ujarnya.

Bahkan, menurut Boyamin, anggaran pulsa ini patut di­kri­tisi atau disomasi ma­syarakat atau LSM. Menurut dia, hal tersebut kelak bisa dijadikan pe­lajaran untuk menata ang­ga­ran ke arah yang lebih baik, khususnya di DPR.   [RM]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA