Ignatius Mulyono: Itu Masih Usulan Kok Nggak Usah Khawatir

Minggu, 08 Mei 2011, 00:11 WIB
Ignatius Mulyono: Itu Masih Usulan Kok Nggak Usah Khawatir
Ignatius Mulyono
RMOL.Kenaikan anggaran penggodokan Rancangan Undang-undang baru sebatas usulan Badan Urusan Rumah Tangga DPR dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012.

“Usulan biaya Rp 8,47 miliar itu tak perlu disikapi berlebihan. Nggak usah khawatir. Sebab, be­lum tentu disetujui. Itu kan masih dalam proses pembaha­san,’’ kata Ketua Badan Legislasi DPR, Ignatius Mulyono, kepada Rakyat Merdeka, belum lama ini.

“Usulan itu diajukan untuk me­nyesuaikan aturan dalam Un­dang-undang Protokoler dan aturan keprotokolan yang dilaku­kan pemerintah,” tambahnya.

Seperti diketahui, biaya pem­buatan sebuah RUU inisiatif DPR mengha­bis­kan anggaran Rp 6,7 miliar. Tapi 2012 diusul­kan men­jadi Rp 8,47 mi­liar. Alokasi­nya, Rp 2,21 miliar untuk pem­bentu­kan RUU dan Rp 6,26 miliar untuk biaya pembahasan. Jumlah tersebut termasuk angga­ran studi banding sebesar Rp 3,4 miliar per satu RUU.

Ignatius selanjutnya mengata­kan, salah satu faktor yang me­nyebabkan biaya naik adalah kenaikan pagu untuk kunjungan ke luar negeri.

“Misalnya, tiket pesawat. Saat ini, anggota DPR memperoleh tiket bisnis jika mela­ku­kan studi ban­ding. Dalam usulan itu, biaya­nya di­naik­kan menjadi kelas eksekutif, seperti pejabat eselon I dan men­teri,” papar politisi Partai De­mokrat itu.

Berikut kutipan selengkapnya:

Tidak semua penggodokan RUU perlu studi banding kan?

Ya, tidak. Masa hanya mengu­bah dua pasal harus pergi ke luar negeri. Apalagi penerapan dan kebutuhannya ada di sini, seperti pemekaran daerah, tentu tidak perlu studi banding.

Dari 36 RUU dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2011, hanya 12 RUU yang melakukan studi banding. Di antaranya, RUU tentang Bantuan Hukum. Kenapa kami lakukan studi banding. Sebab, kita belum pernah memiliki undang-undang tersebut. Dengan demikian, apa yang kita konsepkan dapat kita bandingkan dengan undang-undang yang sudah ada dan pe­nerapannya di negara lain.

Kenapa anggarannya harus dinaikkan?

Ini disesuaikan dengan aturan dalam Undang-undang tentang Protokoler dan kebutuhan anggota dewan di luar negeri. Kalau ada tugas ke luar negeri anggarannya cukup.

Bukankah anggaran untuk studi banding ke luar negeri su­dah cukup besar?

Saat melakukan tugas ke luar negeri, anggota dewan mendapat uang harian sebesar 453 dolar Amerika Serikat. Uang itu dialo­kasikan untuk membeli tiket pesawat, menyewa hotel, mobil, makan dan uang saku selama berada di luar negeri.

Makanya, kami memilih pesa­wat kelas bisnis, kadang ekonomi dan memilih hotel yang lebih murah untuk efisien anggaran. Sementara pejabat eselon I men­dapat pesawat eksekutif dan tidur di hotel yang lebih mewah saat melakukan perjalanan ke luar negeri.

Memang berapa anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk membahas sebuah RUU?

Kami nggak tahu berapa biaya yang dialokasikan untuk mem­ba­has sebuah RUU inisiatif peme­­rintah. Yang pasti, mereka juga memiliki anggaran itu dan sering melakukan kunjungan ke luar negeri. Bedanya mereka lebih tertutup saat memberikan ketera­ngan tentang anggaran. Semen­tara kami sering mem­berikan keterangan kepada media.

Apakah peningkatan angga­ran akan mempercepat pemba­hasan RUU?

Penambahan anggaran itu nggak ada kaitannya dengan per­cepatan penyelesaian RUU. Perce­patan penyelesaian RUU hanya dapat dilakukan melalui dua jalan, yakni restrukturisasi Baleg atau restrukturisasi peran anggota dewan.

Mengenai restrukturisasi Ba­leg, anggota dewan yang belum merangkap kerja harus masuk Baleg. Saat ini kan baru 318 orang yang menjabat di alat ke­leng­­kapan dewan. Sementara 242 anggota hanya ikut di komisi. Kalau 242 anggota itu di­ma­suk­kan dalam Baleg, kami dapat mem­buat 7 Pansus sekali­gus dan menyelesaikan 14 un­dang-un­dang dalam dua masa sidang.

Kalau restrukturisasi peran anggota dewan, menurut saya, ha­rus dibagi dalam tiga kelom­pok, yakni pengawasan, anggaran dan legislasi.

Bagaimana dengan peran pemerintah dalam pembuatan RUU?

Peran pemerintah tidak dapat kita pisahkan dari pembuatan dan pembahasan RUU. Sayangnya, kinerja pemerintah semakin lambat.

Tahun 2010, pemerintah men­dapat tugas untuk menyelesaikan 34 RUU, tapi mereka hanya tun­tas­kan 8 RUU. Padahal, perang­kat yang dimiliki sudah sangat besar dan memadai. Sementara, dari 36 RUU inisiatif dewan, DPR berhasil memasukkan 24 RUU. Ini kan sangat jauh bedanya.

Bahkan, ada ada RUU yang tersendat gara-gara pemerintah. Contohnya, RUU Mata Uang. RUU tersebut sudah 9 bulan di­bahas antara Menkeu dan Guber­nur BI, tapi sampai saat ini nggak ada keputusannya. Revisi Un­dang-undang OJK dan Undang-undang BI yang diperintahkan Pansus Bank Century pun sampai saat ini nggak ada hasilnya. Pada­hal, batas waktunya sudah sangat lama.

Makanya saya berharap, peme­rintah berbenah diri dan bersifat kooperatif dalam membahas RUU. Bagaimana DPR dapat me­nyelesaikan, kalau pemerintah nggak bisa bekerja sama. [RM]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA