Jadi bila pemimpin mengalami strok, ada dua hal yang harus disyukuri. Pertama, terbukti sang pemimpin punya otak. Kedua, otaknya dipakai bekerja (keras) untuk memikirkan persoalan rakyatnya. Otak yang sama juga dipakai buat mencari solusi penderitaan panjang rakyatnya.
Mayoritas rakyat Indonesia tampaknya memahami logika ini. Makanya, ketika pekan lalu ada kabar Presiden strok, dengan suka-cita dan suka-rela, berita ini diteruskan para pemilik alat komunikasi elektronik dengan berbagai versinya (SMS, BBM, Twitter, FB, dll) ke semua teman dan handai taulan.
Tapi di tengah santernya arus berita Presiden strok, dari Istana muncul pernyataan: "Itu SMS hoax dan sebaiknya hindari penyebaran informasi yang bisa membuat gaduh," kata Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana Alam Andi Arief. Sedang jubir Presiden Julian Aldrin Pasha dengan tegas membantah Presiden terserang stroke. "Tidak benar," katanya.
Yang tidak nyaman dengan bantahan ini, tentu saja, kaum Nahdliyin, yang memiliki kebanggaan karena pemimpin besarnya, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pernah mengalami strok dua kali, sebelum jadi Presiden RI. Bahkan setelah lengser, sempat mengalami strok ringan beberapa kali.
Kita tahu, di zaman Orde Baru, Gus Dur memang termasuk salah seorang intelektual yang memilih jalan oposisi terhadap rezim Soeharto, dan tak pernah berhenti memikirkan nasib dan masa depan bangsanya. Sekarang, setelah beliau wafat, banyak orang, khususnya di kalangan Nahdliyin, mengakui Gus Dur adalah pemikir besar.
Jadi Presiden Yudhoyono tidak strok to…?
Beruntung, di tengah simpang-siurnya kabar Presiden strok, beberapa hari kemudian yang bersangkutan muncul di hadapan wartawan. Memang ada keterangan lisan yang mengatakan, “Alhamdulillah saya sehat…†Lalu Presiden menceritakan rangkaian kegiatan yang dilakukannya selama kabar strok itu beredar.
Namun dari penampilannya yang tampak kurus dan pucat itu, kita tahu, Presiden sedang tidak sehat. Ada yang kemudian yakin kabar strok itu. Tapi soal penyakit, hanya yang bersangkutan dan dokternya yang tahu persis.
Kita hanya bisa menerka presiden pastinya sedang banyak pikiran. Tepatnya, banyak yang dipikirkan oleh presiden. Misalnya, kenyataan betapa sejak pertama kali menjabat (2004-2009) hingga periode terakhir, belum juga memberikan hasil yang bisa diingat rakyat, kecuali sejumlah kegagalan dan kebohongannya.
Di sisi lain, perlawanan terhadap kekuasaanya semakin masif. Bukan saja dari para aktivis pergerakan dan mahasiswa, tapi juga dari lingkaran dalam. Kejaksaan Agung sudah membuka tabir Istana menghambat proses pemberantasan korupsi.
KPK bahkan sudah menangkap sekretaris Menegpora saat menerima suap dari pemenang tender. Padahal Andi Malarangeng selain menteri, juga sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat pimpinan Yudhoyono.
Sedangkan Komisi Yudisial terus menyelidiki para hakim yang mengadili Antasari Azhar, untuk membongkar kemungkinan rekayasa kasus guna menghentikan penyelidikan skandal besar yang diduga melibatkan pusat kekuasaan yang sedang dilakukan KPK pimpinan Antasari.
Jadi memang berat persoalan yang dihadapi Yudhoyono. Belum lagi “serangan udara†dari luar negeri (WikiLeaks, dll) yang mengikis kredibilitasnya.
Padahal bila terjadi sesuatu, siapa mau membela? Sebab Yudhoyono tak punya basis sosial sebagaimana presiden sebelumnya: Soekarno (nasionalis), Soeharto (loyalis orba), Habibie (intelektual Muslim), Gus Dur (Nahdliyin) dan Megawati (nasionalis). [***]
BERITA TERKAIT: