Indonesia kembali menggelar festival kuliner akal sehat. Lengkap dengan menu utama bernama “Ijazah Asli”. Pada 15 Desember 2025, di dapur besar bernama Polda Metro Jaya.
Penyidik mengangkat tudung saji hukum dan memperlihatkan hidangan premium itu, ijazah Jokowi dari SMA hingga S1 UGM. Lengkap dengan
watermark, unsur pengaman, cap, tanda tangan, dan aroma kertas negara yang matang sempurna.
Semua disajikan hangat di hadapan para tersangka dan kuasa hukum, seperti rendang 12 jam yang sudah diuji api, santan, dan kesabaran.
Kuasa hukum Jokowi, Yakub Hasibuan mencicipi duluan dan menyatakan, ini rendang asli, bukan abon oplosan. Ketua Umum Peradi Bersatu, Zevrijn Boy Kanu, mengangguk sambil mengelap keringat, akhirnya publik dapat porsi transparansi.
Aktivis Palti Hutabarat tersenyum, katanya dari awal cuma minta satu sendok bukti autentik. Semua tampak rapi, seperti nasi tumpeng yang sudah didoakan dan siap dipotong. Data jelas, forum resmi, proses hampir 12 jam, dapur hukum menyala dari pagi sampai malam.
Tapi di meja seberang, Roy Suryo mengunyah pelan, menatap lauk itu lama sekali, lalu menyimpulkan dengan presisi ahli gizi rasa, 99,9 persen palsu. Bukan 100, karena 0,1 persen disisakan, mungkin sebagai sambal korek kosmik, pedasnya tak terdefinisi, tapi wajib ada.
Dunia seketika terdiam. Seperti soto Lamongan yang sudah pakai koya asli, jeruk nipis diperas, ayam kampung direbus, tapi tetap disebut sup instan karena mangkuknya dianggap kurang putih.
Argumen pun keluar satu per satu, seperti gorengan di jam berbuka. Foto di ijazah dinilai tak sesuai usia, seolah wajah manusia wajib mengikuti kalender dapur. Format dan tanda tangan dipersoalkan, padahal tinta sudah dicecap mata forensik.
Skripsi ikut diangkat ke meja, ditanya kenapa tak mencantumkan nama dosen penguji, seakan tempe mendoan gagal karena lupa diberi daun bawang. UGM dituding kurang transparan, padahal piringnya sudah diletakkan di tengah meja, tinggal dimakan.
Penyidik sudah menunjukkan, ahli administratif sudah mengangguk, tapi mantra pamungkas kembali diucap seperti doa penutup makan: pengadilan.
Betul, dalam hukum Indonesia, putusan berkekuatan tetap adalah sendok terakhir. Jokowi pun sudah bilang, dalam wawancara 9 Desember 2025, ia siap membawa semua ijazah, dari SD sampai UGM, ke ruang sidang. Silakan diuji, diiris, ditimbang, difoto, bahkan disinar-X.
Namun, seperti pempek Palembang yang tetap disebut kebanyakan sagu oleh mereka yang sejak awal alergi ikan, janji itu dianggap belum cukup gurih.
Di sinilah absurditas mencapai klimaks. Ijazah yang diperlihatkan secara resmi masih dianggap mentah. Hukum yang berjalan disebut kurang api. Bukti yang disajikan dianggap
plating.
Ini bukan lagi lomba masak, ini kontes keyakinan. Roy Suryo berdiri sebagai juri tunggal MasterChef Persepsi, memukul bel imajiner dan berkata, “Maaf, rasanya tidak sesuai memori lidah saya.”
Negeri ini pun ramai. Ada yang kenyang karena bukti, ada yang tetap lapar karena kecurigaan. Ada yang menikmati rawon hitam pekat bernama prosedur, ada yang mencari kuah bening bernama opini.
Ijazah Jokowi berubah dari kertas kelulusan menjadi martabak spesial, bisa manis bagi yang percaya, asin bagi yang ragu, gosong bagi yang datang dengan niat membakar.
Akhirnya kita sadar, ini bukan soal ijazah, bukan pula soal Jokowi semata. Ini tentang selera. Di meja yang sama, dengan lauk yang sama, lidah bisa berdebat seumur hidup.
Selamat menikmati hidangan hukum edisi Desember 2025. Bagi sebagian orang, rendang tetap rendang. Bagi yang lain, ia akan selalu 99,9 persen palsu, karena kebenaran, seperti nasi uduk, kadang kalah oleh aroma prasangka yang lebih menggoda.
Sementara di sudut warkot reot di Pontianak, tampak seorang lelaki, berkacamata, topi merah, menikmati segelas Koptagul, pisgor berbalut selai srikaya. Dia hanya tersenyum dari kejauhan.
Rosadi JamaniKetua Satupena Kalbar
BERITA TERKAIT: