Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Buruk Citra Bom Ditebar

Oleh Adhie M. Massardi

Rabu, 23 Maret 2011, 12:20 WIB
Buruk Citra Bom Ditebar
ilustrasi/ist
BURUK muka cermin dibelah. Tak pandai menari, dikatakan lantai terjungkit. Lempar batu, sembunyi tangan. Ini tiga dari sejumlah peribahasa untuk menyindir atau mengeritik para pemimpin yang tak mau bertanggungjawab atas apa yang diperbuatnya.

Di masa lalu, ketika etika dan kebudayaan masih jadi tradisi di kalangan kaum terpelajar, dan rasa malu masih menjadi bagian dari gaya hidup para pemimpin, kritik lewat pantun, peribahasa, atau gambar karikatur, bisa sangat efektif. Sehingga yang dikritik dan yang mengeritik masih bisa ketawa bersama.

Tapi di zaman SBY sekarang ini, ketika semua tata nilai dijungkirbalikkan, sehingga jabatan-jabatan publik hanya bisa dijangkau dengan cara-cara KKN dan tipu muslihat, cara mengeritik dan mengingatkan pembesar negara yang korup pun ikut keluar dari konteks etika dan budaya.

Maka demonstrasi mahasiswa, pemuda dan aktivis pergerakan kalau ingin didengar, harus membawa foto si pembesar korup yang sudah dipasangi taring, lalu dibakar di depan kantornya. Atau orasi langsung di depan Istana dengan memakai pengeras suara ribuan watt baru bisa masuk ke kuping sang pembesar negara.

Bahkan para pemuka agama, agar juga bisa didengar nasihatnya, turut mengubah taktik dan strategi. Dengan menggunakan nukilan kisah para Nabi lengkap dengan ayat-ayat Kitab Suci saja tampaknya hanya jadi angin lalu. Makanya, para pemuka agama di negeri ini, awal Januari lalu, berkumpul dan menyerukan: 18 Kebohongan Rezim Yudhoyono…

Akan tetapi, para pemimpin yang korup, yang punya seribu satu cara untuk menguasai tahta, juga punya seribu satu cara untuk meloloskan diri dari berbagai sorotan dan kritikan masyarakat. Embargo berita, boikot iklan, dipakai untuk meredam media massa yang memberitakan kondisi masyarakat secara apa adanya, yang memang makin memrihatinkan, dan ini mencerminkan kinerja pemerintahan yang amburadul.

Sedangkan untuk mengalihkan keburukan-keburukan rezim yang terlanjur menjadi topik pembicaraan masyarakat di kafe-kafe, di ruang-ruang tunggu, di warung-warung kopi, dan di mulut-mulut gang serta pos-pos ronda di kampung-kampung, dibikinlah peristiwa yang mengguncang sendi-sendi kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara. Misalnya, mencabik-cabik Bhineka Tunggal Ika, menebar rasa takut dengan teror. Tak soal bila untuk itu harus ada korban nyawa manusia atau kerusakan fisik yang besar.

Sekarang, ketika merebak “bom buku” yang sekonyong-konyong menjadi tren sehingga muncul di mana-mana, dibicarakan di mana-mana, menebar teror di mana-mana, semua orang secara otomatis langsung melirik WikiLeaks, situs gerakan internasional yang ingin membebasan dunia dari aneka kebohongan rezim yang menyengsarakan rakyatnya.

Maka dari dunia maya, turunlah pesan elektronik via HP, BB, FB, Twitter, dari Republik Pencitraan yang berbunyi: “Buruk muka cermin dibelah! Buruk citra bom ditebar!”

Tapi di zaman SBY ini, Indonesia memang sudah tercerabut dari akarnya. Telah kehilangan naluri kebudayaannya.

Lihatlah Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin di sudut kumuh Taman Ismail Marzuki, Jakarta, yang menyimpan ribuan buku bernilai sastra, kian rapuh dan nyaris tak disentuh. Dana pengelolaan dari pemerintah terus disunat sampai nyaris habis.

Ada memang sejumlah seniman yang tergerak hatinya. Lalu mengais uang recehan untuk menyelamatkan PDS itu. Tapi ini bukan langkah budaya. Ini langkah pembiarkan uang rakyat dikorup para pembesar negara. Lebih sehat kalau rakyat menggedor pintu kantor atau rumah para pembesar negara itu. Lalu meminta uang jatah PDS dikembalikan!

Atau, jangan-jangan buku-buku yang diterlantarkan pemerintah di PDS HB Jassin itu telah mengambil jalan sendiri. Meneror kita semua dalam bentuk: Bom Buku…!

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA