Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Koalisi atau Konspirasi?

Oleh Adhie M. Massardi

Rabu, 09 Maret 2011, 11:15 WIB
TULISAN di bawah ini akan membahas masalah bahasa Indonesia yang digunakan oleh bangsa Indonesia di Indonesia. Kita mulai dari orang No 1 di Republik Indonesia: Presiden.

Dalam pasal 28 UU No 24 Tahun 2009 yang disahkan Presiden RI DR H Susilo Bambang Yudhoyono, dinyatakan: “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain disampaikan di dalam atau di luar negeri.”

Menurut Anda, apakah Presiden RI yang notabene mengesahkan UU No 24 Tahun 2009 ini sudah melaksanakan Pasal 28 ini?

Jangankan di luar negeri, di dalam negeri saja, seperti kita simak pidato beliau pada pembukaan Bursa Efek Indonesia (6/1), dalam 30 menit pertama, sudah berserakan kata bahasa Inggris. Beberapa di antaranya, salah bunyi dan salah perspektif.

Ada yang bilang, tentara (TNI) kan hanya diajari bagaimana menggunakan senjata. Tidak dilatih untuk memakai bahasa Indonesia yang baik dan benar. Lihat saja Pak Harto…

Jenderal Besar Soeharto kala presiden memang dikenal sering berdialek dan menyelipkan kata bahasa Jawa dalam pidato-pidatonya: Ojo dumeh, Nggegeh mongso, Tak gebug. Akhiran “kan” selalu berubah bunyi menjadi “ken”. Ini kemudian menjadi ciri Pak Harto.

Tapi jangan salah, meskipun “belepotan” cengkok Jawa dalam pidato-pidatonya, Pak Harto dikenal sangat menghormati bahasa Indonesia. Dengan siapa saja, di mana saja, kalau masih dalam urusan protokoler kenegaraan, beliau selalu berbahasa Indonesia. “Itu karena Pak Harto nggak bisa bahasa Inggris,” komentar orang yang sinis.

Pada zaman Pak Harto berkuasa, hampir di seluruh wilayah Nusantara diharamkan menggunakan istilah asing. Makanya, hotel Gran Melia berubah nama jadi “Gran” Melia. Toko-toko roti yang memakai kata “bakery” harus diganti jadi “bakeri”. ATM yang aslinya automated teller machine menyulap diri jadi Anjungan Tunai Mandiri.

Memang menggelikan. Sebab kata-kata asing yang kemudian ditulis sesuai bunyi dalam bahasa Indonesia, jadi kehilangan arti. Aneh. Tak bermakna. Tapi dalam perspektif nasionalisme, meskipun terasa sangat sempit, patut dipuji. Maaf, ini bukan maksud memuji Soeharto, tapi ini komparasi yang adil. Sebab Yudhoyono kan juga tentara.

Jadi, dalam soal penghormatan terhadap bahasa Indonesia, maaf, Soeharto lebih baik dari Yudhoyono.

Sekarang, gara-gara kata “koalisi” di Istana terjadi gempa politik yang bikin Presiden salah tingkah, sehingga perlu tetirah ke markas para binatang di Taman Safari, Jawa Barat. Akibatnya, terjadilah antrean terpanjang dalam sejarah Jakarta-Bogor, hingga 20 km (5/3) dan terjadi selama belasan jam!

Tapi apa sih “koalisi”?

Menurut ensiklopedia elektronik Wikipedia, Koalisi adalah persekutuan, gabungan atau aliansi beberapa unsur, di mana dalam kerjasamanya, masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Dalam pemerintahan sistem parlementer, pemerintahan koalisi adalah sebuah pemerintahan yang tersusun dari koalisi beberapa partai politik.

Ditinjau dari sisi kebahasaan, istilah “koalisi” tak cocok dengan bahasa (politik) yang berlaku di Indonesia yang menganut sistem presidensiil. Lagi pula, “koalisi” dalam arti yang sesungguhnya, adalah “bangunan pemerintahan bersama untuk menyejahterakan rakyat”.

Sebab kalau permufakatan atau persekutuan untuk kejahatan, misalnya untuk merampok uang negara lewat rekayasa bailout Bank Century, atau melapangkan dan melindungi Mafia Pajak, istilah yang cocok adalah “konspirasi”.

Jadi, koalisi adalah permufakatan untuk kebaikan (bagi rakyat), sedangkan persekongkolan dalam kejahatan disebut “konspirasi”.

Mudah-mudahan tulisan ini membuat Presiden Yudhoyono lebih paham dalam berbahasa (politik) Indonesia. [**]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA