“Ada satu pasal yang menarik perhatian kami, yakni pasal tentang pembekuan atau pembuÂbaran Ormas. Kami sepakat pasal tersebut dihapus, sebab keÂbebasan berserikat dan berÂkumÂpul dijamin Undang-undang Dasar,†ujar Ketua KoÂmisi II DPR, Chairuman HaraÂhap, kepada
Rakyat MerÂdeka, di Jakarta, kemarin.
Sebelumnya Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), ReyÂdonnyzar Moenek menyatakan, draf Rancangan Undang-undang tersebut saat ini dalam tahap pematangan.
Menurutnya, rancangan revisi tersebut disesuaikan dengan semangat dan filosofi UUD 1945 yang telah diamandemen. Sebab Undang-undang tentang Ormas masih berdasarkan UUD 1945 sebelum amandemen.
“Yang pasti, di tingkat internal (Kemendagri) draf itu sudah siap. Intinya tentang keseimbangan antara hak dan kewajiban (ormas), juga mengedepankan prinsip toleransi, menjaga perÂsatuan dan kesatuan bangsa,†ujar Reydonnyzar.
Chairuman selanjutnya meÂngaÂÂtakan, Komisi II siap memÂbahas revisi Undang-undang tersebut. Bahkan, pihaknya telah melakuÂkan pengkajian dan memÂbahasan sejumlah pasal yang perlu dieÂvaluasi dalam Undang-undang itu.
Berikut kutipan selengkapnya:Apakah dengan kesepakatan ini tidak akan memperkeruh keadaan? Tidak. Dengan perbaikan Undang-undang ini, kami ingin mengingatkan bahwa setiap warga negara memiliki kebebaÂsan untuk berserikat dan berÂkumpul. Undang-undang ini juga akan memberikan ruang kepada setiap warga negara untuk meÂnyampaikan aspirasinya. Jadi, budaya kekerasan dan bubar-membubarkan tidak terus tumbuh di negeri ini.
Kenapa pasal tentang pemÂbekuan atau pembubaran OrÂmas akan dihapus? Waktu Undang-undang itu dibuat, suasana kepemimpinan dan pemerintahan memang saÂngat sentralistik. Namun, dalam perkembangan demokrasi saat ini, pasal tersebut sudah tidak layak dipertahankan.
Sebab, kalau kita mendiamkan budaya bubar-membubarkan ini, hal tersebut akan menjadi budaya politik baru yang lebih otoriter. Sekarang saya tanya, siapa yang berhak memutuskan kalau ini boleh dibubarkan dan ini tidak. Ketika itu berlaku untuk diri kita, apakah kita dapat menerimanya.
Bagaimana jika ada Ormas yang melakukan tindak kekeÂrasan?Kalau ada tindakan-tindakan yang tidak tepat, maka hal itu harus ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan hukum pidana yang kita anut. Selain itu, harus ada upaya terus-menerus terhaÂdap hal itu (penegakan hukum, red) untuk menumbuhkan buÂdaya, kekerasan merupakan suatu hal yang dilarang.
Apakah aturan tentang peÂninÂÂÂdakan dalam undang-unÂdang yang ada saat ini belum cukup memadai untuk menidak okÂnum-oknum Ormas yang meÂlaÂkukan pelanggaran?Sebenarnya sudah. Sayangnya penegakan hukum di negara ini belum dapat melahirkan budaya tertib. Makanya, melalui revisi Undang-undang ini kami akan mempertegas sejumlah pasal untuk menjaga kehidupan berneÂgara yang baik.
Poinnya apa saja?Di antaranya menjaga hak-hak demokrasi, hak asasi dan menumÂbuhkan budaya politik baru. Yakni, budaya politik yang menÂjunjung tinggi hak dan martabat manusia.
Selain itu, bagaimana kebeÂbasan berserikat dan berkumpul diwujudkan secara nyata dan ruang publik menjadi aman, juga menjadi salah satu poin utama dalam revisi tersebut.
Bagaimana meminimalisasi tindakan kekerasan agar tidak menjadi budaya dalam kehiÂdupan berbangsa dan berneÂgara?Pertama, melalui pendidikan. Pendidikan merupakan poin utama pembangunan peradaban manusia dan sebuah bangsa.
Kedua, penindakan secara terus-menerus melalui jalur hukum yang ada dan berlaku. Jadi, siapa pun yang melakukan tindak keÂkerasan harus ditindak, sehingga dapat melahirkan budaya hukum yang mengubah prilaku kehiÂduÂpan berbangsa dan bernegara kita.
Artinya, revisi Undang-unÂdang itu akan memperbaiki seÂjumlah aspek?Kami berharap Undang-unÂdang ini berlaku panjang karena bertujuan menjaga kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik, sehingga bila terjadi perbedaan pandangan, solusinya bukan kekerasan, ultimatum, referendum, dan sebagainya.
Mari kita bicarakan, mari kita musyawarahkan. Itulah perilaku dan budaya baru yang harus kita tumbuhkan. Sebab, pemilik neÂgeri ini bukan hanya segelintir orang, tapi milik kita semua. Jadi, persoalan negeri ini adalah perÂsoalan kita bersama.
[RM]
BERITA TERKAIT: