Konstruksi sosial-keagamaan tersebut dipengaruhi oleh pemahaman dan pengamalan agama yang mapan. Di dalam Islam, kedermawanan dikaitkan dengan tentang zakat, infaq, sedekah, wakaf, hibah atau hadiah. Sesuai ajaran Islam, mereka yang memiliki sejumlah harta yang mencapai satu
nishab dan satu
haul, wajib membayar zakat dan membagikannya kepada orang miskin. Maknanya, mereka yang berzakat
(muzakki) adalah orang-orang yang berharta (kaya). Penerima zakat (
mustahiq) adalah orang miskin. Kedermawanan adalah ”milik” orang kaya.
Pemahaman tersebut tidak sepenuhnya salah. Tetapi, kalau kita memperhatikan Alquran, kedermawanan bukanlah monopoli ”milik” orang kaya. Orang miskin juga bisa menjadi dermawan.
”(Orang-orang bertaqwa adalah) mereka yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit...” (Qs. 3, Ali Imran: 134). Orang-orang yang lapang rizkinya adalah orang-orang yang kaya. Orang yang sempit rizkinya adalah orang-orang miskin.
Para ahli fikih membedakan orang fakir dengan orang miskin. Orang-orang fakir adalah mereka yang tidak memiliki harta, penghasilan yang tetap dan kemampuan memenuhi kebutuhan hidup primer. Orang miskin lebih tinggi kemampuan ekonominya di atas orang fakir. Orang miskin adalah mereka yang memiliki penghasilan, baik tetap atau tidak tetap, memiliki sejumlah harta, tetapi tidak mampu memenuhi kebutuhan melebihi yang primer.
Orang miskin memang tidak wajib membayar zakat. Tetapi dia tetap berkesempatan untuk bersedekah kepada sesama atau berinfak di jalan Allah. Berinfak dan bersedekah tidak mempersyaratkan jumlah harta minimum. Orang kaya bisa lebih berpeluang berderma karena rezekinya lapang. Orang miskin tetap berkesempatan berderma walau sedikit. Sebagaimana orang kaya, orang miskin juga berkesempatan meraih surga apabila mereka bertaqwa dan berderma sesuai kemampuan hartanya.
Penulis Adalah Sekretaris PP Muhammadiyah
BERITA TERKAIT: