Puluhan karyawan dan direksi PT Mulia Persada Pacific (MPPC) selaku pengelola gedung sempat dibuat ketakutan.
"Dia bertindak tanpa surat perintah pimpinan. Saya pertanyakan sprint dan dasar hukum, ditertawakan dan dijawab tidak perlu. Kalau maunya sprint saya bikinkan, luar biasa arogan dan menginjak-injak hukum," ujar kuasa hukum PT MPPC Fredrich Yunadi saat berbincang dengan wartawan, Kamis (10/7)
Saat itu, diperkirakan ada 500 personil yang dikerahkan Kapolres dalam proses eksekusi. Ratusan personil itu terdiri dari tim gegana dan pasukan Brimob. Selain itu juga ada dua anjing pelacak, satu unit water conon, dan truk penjinak bom.
"Mereka masuk secara paksa ke dalam gedung secara paksa, kamar direksi, mengusir seluruh karyawan dan karyawati," bebernya.
Fredrich pun mempertanyakan dasar hukum dari proses eksekusi itu.
"Polri bukan anak buah ketua pengadilan, bukan asal diperintah disuruh dengan melanggar hukum, apalagi tanpa sprint mengerahkan 500 lebih pasukan di masa genting menjelang Pilpres," protesnya.
Untuk diketahui, Juru Sita Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melaksanakan eksekusi gedung BRI II, Jalan Jenderal Sudirman No. 44-46, Jakarta Pusat, Selasa (8/7). Eksekusi terkait putusan Peninjauan Kembali (PK) No 247/PK/PDT/2013 tanggal 24 juli 2013 atas gugatan pengelola gedung BRI II antara PT BRI dan Dana Pensiunan BRI melawan PT MPPC. Di mana, dalam putusan PK itu berbunyi PT MPPC harus menyerahkan gedung BRI II, gedung Parkir dengan seluruh fasilitas yang ada beserta hak pengelolaannya kepada BRI melalui Dapen BRI.
Fredrich menilai rilis pemberitahuan eksekusi itu sarat dengan kejanggalan. Pasalnya, hanya diteken oleh Juru Sita dan bukannya Ketua PN Jakpus. Tak hanya itu, dalam rilis ditulis bahwa eksekusi harus dilakukan bila perlu dengan paksaan.
"Ini kan berarti ada permainan," tengarainya.
Menurut Fredrich, tidak selayaknya eksekusi itu dilakukan karena berdasar putusan PK tersebut, pihak PT MPPC melakukan upaya gugatan lain. Gugatan pertama atas putusan PK No 247/PK/PDT/2013 dan gugatan kedua soal Dapen BRI yang telah melakukan wanprestasi.
"Putusanya sudah diputus 1 Juli 2014 menyatakan menghukum BRI membayar ganti rugi 64 juta dolar AS. Jadi kita mengajukan beberapa gugatan dan kita dimenangkan. Dalam hal ini suatu putusan bila masih ada upaya hukum acara itu maka tidak bisa dieksekusi," paparnya.
Perkara ini bermula saat Yayasan Dapen BRI yang memiliki sebidang tanah lalu ingin membangun gedung. Kemudian terjadilah perjanjian Build, Operate, Transfer (BOT) antara BRI, Dapen BRI dan PT MPPC. Perjanjian tersebut berlaku hingga tahun 2022.
"Klien kami sudah membangun gedung BRI II. Tapi ketika akan membangun BRI III ada surat daripada Pemda yang tak memberikan izin. Kalau sekarang pemerintah menolak apa ini perbuatan melawan hukum. Kita tiap tahun juga membayar 1.250 juta dolar sampe 2013 kita bayar sesuai perjanjian," terangnya.
[wid]