Bagi publik, tontonan itu memicu kemarahan. Namun, jika dilihat lebih dalam melalui kacamata filsafat hukum, rentetan kasus viral tersebut bukan sekadar persoalan "oknum yang nakal". Situasi ini merupakan gejala dari penyakit yang jauh lebih serius, kondisi krisis moralitas yang membuat hukum kehilangan legitimasinya.
Legitimasi dan Keadilan yang “Diatur”Sesungguhnya terdapat perbedaan mendasar antara "legalitas" dan "legitimasi". Seorang aparat penegak hukum mungkin memiliki kewenangan yang sah secara legal, dalam hal tersebut terdapat seragam, lencana, dan surat tugas. Namun, tanpa integritas moral, mereka kehilangan "legitimasi" di mata publik.
Hukum berjalan tanpa moralitas hanyalah buku peraturan yang kaku, atau lebih sial lagi, menjadi alat kekuasaan yang mengkhianati publik. Dengan mudah kita melihat fenomena, “hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas”, seolah terlihat bila hukum yang mati suri; ada eksistensi raganya, tetapi kehilangan jiwa.
Bila kemudian memakai pisau analisis Immanuel Kant, filsuf Jerman dengan prinsip etika kewajibannya -deontologi, maka kita akan masuk ke penemuan akar masalah. Sesuai Kant, bahwa tindakan bermoral adalah tindakan yang dilakukan semata-mata karena kewajiban, bukan karena keuntungan pribadi atau tekanan atasan.
Selama ini, prinsip tersebut dilanggar. hukum tidak lagi dijadikan tujuan untuk menegakkan keadilan, melainkan sebagai alat transaksi guna menutupi kejahatan, bahkan melanggengkan kekuasaan. Dengan begitu, ketidakjujuran penegak hukum bukan hanya melanggar kode etik, sekaligus meruntuhkan fondasi moral profesi mereka sendiri.
Pada pandangan filsuf John Rawls dengan konsep
justice as fairness -keadilan sebagai kejujuran, maka hasil yang adil hanya bisa lahir dari proses yang adil. Bagaimana publik bisa percaya pada keadilan, jika prosesnya seakan telah “diatur” pada lorong gelap birokrasi?
Berbagai kasus hukum di Indonesia memperlihatkan betapa prosesnya berlangsung secara diskriminatif. Keadilan berubah bak komoditas yang diperjualbelikan di bursa hukum, tidak mampu menjadi hak dasar yang dijamin. Saat transparansi hilang, maka hilang pula keadilan.
Melalui perspektif Lon Fuller, dapat dimaknai kondisi penegakan hukum yang carut marut disebabkan rusaknya moralitas internal hukum. Semestinya, hukum harus konsisten, transparan, dan dijalankan oleh aktor berintegritas. Ketika struktur dan sistem dari penegakan hukum berlaku
lancung, mereka justru sedang menghancurkan sistem hukum dari dalam.
Menyusun Jalan KeluarJika sudah seperti ini, apa solusinya? Upaya menambah aturan baru atau memperberat sanksi saja bisa jadi tidak akan cukup, karena aspek persoalan yang sistemik dan sekaligus berhadapan dengan masalah karakter.
Dengan menggunakan analisis filosofis ala Aristoteles, kita akan kembali pada nilai fundamental yakni etika kebajikan -
virtue ethics. Dibutuhkan struktur, substansi dan kultur hukum serta aparat penegak hukum yang mampu mewakili kebijaksanaan dan keberanian moral.
Bukankah Themis -dewi keadilan selalu berpenutup mata? Hal tersebut mengandaikan bahwa sikap adil hanya akan tegak bila subjektifitas dan kepentingan pribadi ditempatkan pada prioritas yang lebih rendah dibanding maslahat publik serta kebenaran yang jujur.
Internalisasi nilai-nilai moral diberikan bobot lebih dari sosialisasi teks dan pasal. Sistem hukum kita harus dibentuk dalam format yang transparan dan akuntabel, sehingga menutup celah bagi penumpang gelap -
free rider, mereka yang ingin membonceng.
Krisis kepercayaan -
structural distrust menjadi pertanda dan alarm bahaya. Jika publik tidak lagi percaya pada hukum, boleh jadi masyarakat mencari jalan keadilannya sendiri, yang bisa berujung pada ketidaktaatan sosial -
civil disobedience.
Jelas sudah, etika profesi bukanlah sekadar hiasan bibir atau dokumen pelengkap administrasi, melainkan prasyarat mutlak -
conditio sine qua non. Tanpa etika, hukum hanyalah naskah drama yang tragis, dan semua berpotensi menjadi korbannya.
Sudah saatnya, hukum tidak hanya tegas dan bermoral tetapi juga bermanfaat serta bermartabat.
Doktoral Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung
BERITA TERKAIT: