Pada awalnya, PSI itu seperti eksperimen moral generasi baru. Bukan besar, tapi bersih. Bukan kuat, tapi tegas. Ia hadir sebagai gangguan kecil bagi partai-partai tua yang sudah terlalu nyaman di kursi mereka. Semangatnya sederhana: politik gagasan, politik anak muda, politik yang ditulis dengan logika, bukan dendam. Namun politik Indonesia punya bakat khusus: segala sesuatu yang ideal cepat sekali dipinang oleh mereka yang sedang kehausan kekuasaan.
Ketika Jokowi masuk, ia tidak datang sebagai “mantan presiden yang ingin pulang ke rakyat”, tapi sebagai patron yang tak pernah benar-benar ingin pergi dari pusat orbit politik. Pada titik itu, PSI berubah bukan karena gagasan baru, tapi karena gravitasi kekuasaan yang menarik mereka masuk ke lingkaran yang sama dengan partai-partai besar: lingkaran di mana idealisme mulai terdengar seperti lelucon kecil.
Jokowi, yang dulu dielu-elukan sebagai anak desa yang meniti jalan sampai istana, justru memilih rute sebaliknya. Ia tidak berjalan kembali ke desa membawa keteladanan, tapi melangkah ke pusat partai membawa ambisi. Ia tidak mewariskan inspirasi, tapi mewariskan kendaraan politik. Dan kendaraan itu kini bernama PSI.
Masalahnya, kendaraan itu tidak hanya dinaiki oleh keluarga Jokowi, tetapi juga oleh politisi yang melihat politik seperti pasar bebas: siapa cepat dia dapat. Masuklah nama-nama seperti Ahmad Ali, yang tanpa ragu mengatakan bahwa politik itu ruang untuk “membunuh”, bukan bersahabat. Pernyataan yang jujur memang, tapi jujur dari sisi paling kelam dalam praktik politik kita. Ia membawa kultur politik gladiator, dan PSI dijadikan arena baru untuk itu.
Di belakangnya menyusul para oportunis, para penjelajah partai, para pemburu posisi yang selalu bergerak ke tempat paling terang lampunya. Mereka menemukan PSI sebagai ruangan yang cukup bersih untuk ditempati, cukup longgar untuk dikuasai, dan cukup muda untuk dibentuk ulang tanpa perlawanan berarti.
Yang paling kentara dari metamorfosa PSI hari ini bukan hanya berubahnya logo atau struktur, tetapi berubahnya napas. PSI tidak lagi terdengar seperti partai anak muda; suaranya mulai menyerupai seminar motivasi yang kehilangan logika. Yang dulu penuh data dan gagasan, kini penuh jargon dan pengulangan klise.
Dan di tengah transformasi itu, Kaesang dan Gibran tampil sebagai simbol regenerasi yang dipaksakan. Mereka anak muda, tetapi anak muda yang tumbuh dalam inkubator kekuasaan. Mereka tidak dibesarkan oleh benturan ide, tetapi oleh kemudahan akses. Mereka tidak ditempa oleh debat dan pergulatan pemikiran, tetapi oleh patronase yang rapi dan aman.
Ketika Kaesang mengatakan bahwa “anak desa bisa jadi presiden seperti Jokowi”, kalimat itu tidak hanya terdengar dangkal—tetapi seperti seseorang yang belum benar-benar memahami beratnya ketidakadilan sosial. Jokowi bukan sekadar “anak desa”, ia didorong oleh jejaring ekonomi dan politik yang tidak dimiliki oleh mayoritas anak-anak desa sebenarnya. PSI bukannya memperbaiki narasi itu, malah menjadikannya jargon baru.
Pada titik ini, PSI tengah berdiri di persimpangan: mau menjadi partai gagasan seperti awal berdirinya, atau menjadi franchise politik keluarga yang reposisi generasinya sekadar kosmetik.
Sebenarnya, yang harus diselamatkan bukan PSI-nya, tapi jiwa PSI yang dulu pernah membuat generasi muda berharap: bahwa politik bisa dimulai dari akal sehat, bukan dari dinasti; dari gagasan, bukan jaringan; dari kerja otak, bukan kerja nama keluarga.
Para kader awal PSI -yang dulu berjuang dengan idealisme, dengan data, dengan naskah panjang, dengan mimpi besar- harus mulai bertanya: apakah ini masih partai yang dulu kalian bangun? Atau apakah ini sudah sepenuhnya menjadi panggung baru bagi mereka yang takut kehilangan relevansi?
Jika metamorfosa PSI hari ini terasa pahit, itu karena perubahan ini bukan datang dari perkembangan, tetapi dari penyerahan diri kepada pola politik yang selama ini mereka kritik.
Dan dalam politik, tidak ada yang lebih menyedihkan daripada partai muda yang menjadi tua sebelum waktunya. Tidak ada yang lebih berbahaya daripada kekuasaan yang tidak mau pensiun. Tidak ada yang lebih mengkhawatirkan daripada partai anak muda yang dipaksa menjadi kendaraan dinasti.
Tugas generasi muda sekarang bukan ikut memoles narasi, tapi menjaga akal sehat. Sebab ketika semua orang memilih kehilangan nalar, satu-satunya perlawanan yang tersisa adalah tetap berpikir waras.
Jika PSI ingin bertahan sebagai harapan, ia harus kembali pada dirinya sendiri: bukan pada mereka yang hari ini sedang duduk di pundaknya.
Luqman HakimCo. Founder Lingkar Study Data dan Informasi (LSDI)
BERITA TERKAIT: