DALAM pandangan klasik, hukum adalah instrumen rasional yang diarahkan pada kebaikan bersama (ordinatio rationis ad bonum commune). Thomas Aquinas menempatkan hukum sejati sebagai refleksi akal budi yang diarahkan untuk melindungi keadilan dan martabat manusia. Namun, di era modern, hukum justru menjelma menjadi arena dominasi dan kepalsuan.
Negara yang mengaku rechtsstaat ternyata melahirkan praktik
rule by law, di mana hukum dijadikan alat legitimasi kekuasaan. Seperti diingatkan Michel Foucault (1977), "di balik setiap sistem hukum tersembunyi arkeologi kekuasaan". Dalam kerangka ini, _hukum bukan lagi ekspresi moralitas publik, tetapi mekanisme pengendalian yang tersusun rapi di bawah wacana kebenaran palsu._
Tulisan ini menggunakan pendekatan Critical Legal Studies (CLS) untuk mengupas struktur kepalsuan hukum di Indonesia — hukum yang kehilangan orientasi pada bonum commune, dan menjadi sekadar ritual birokrasi yang melayani tirani formalitas.
Hukum Sebagai Ide yang Dikhianati
Hukum sejatinya adalah bentuk rasional dari moralitas publik. Ia lahir untuk membatasi kekuasaan dan melindungi rakyat. Namun, dalam konteks negara yang terserap dalam sistem oligarki, hukum tidak lagi berfungsi sebagai pelindung keadilan, tetapi sebagai perangkat retorika legitimasi.
Foucault menyebut fenomena ini sebagai
disciplinary apparatus, yakni ketika hukum digunakan untuk menciptakan kepatuhan, bukan keadilan. Hukum tidak lagi menjadi jalan menuju bonum commune, melainkan instrumen untuk memproduksi kepatuhan sosial yang melanggengkan kekuasaan.
Dalam konteks Indonesia, hal ini tampak jelas: hukum kehilangan ruhnya. Ia dijalankan secara prosedural, namun tanpa makna substansial. Ia seperti jasad tanpa roh — “hukum yang hidup tanpa kehidupan,” sebagaimana disebut oleh Marx, bahwa hukum hanyalah cermin dari relasi produksi dan kepentingan ekonomi.
Kritik Hukum dan Dekonstruksi Kepalsuan
Gerakan Critical Legal Studies (CLS) lahir dari kesadaran _bahwa hukum tidak pernah netral. Roberto Unger (1983) menegaskan, hukum selalu membawa ideologi dominan, bahkan ketika ia tampak objektif. Dengan demikian, tugas utama CLS adalah membongkar kepura-puraan objektivitas hukum dan membuka relasi kuasa yang tersembunyi di baliknya.
CLS menolak paradigma positivistik yang menganggap hukum sebagai teks mati dan bebas nilai. Hukum harus dipahami sebagai arena politik, tempat ideologi bertarung. Dalam realitas Indonesia, hukum tampil sebagai legal formalism — tampak sah di atas kertas, tetapi kosong secara moral.
Jacques Derrida (1990) menggambarkan kondisi ini dengan tajam: hukum yang kehilangan keadilan hanyalah force of law without justice, kekerasan yang berselubung legalitas. Dengan kata lain, hukum Indonesia telah menjadi kekuasaan yang dilegitimasi oleh teks.
Bonum Commune: Etika yang Ditinggalkan
Dalam tradisi filsafat hukum, bonum commune atau kebaikan bersama adalah prinsip moral tertinggi yang mengarahkan hukum menuju keadilan substantif. Aquinas menegaskan bahwa hukum yang bertentangan dengan bonum commune tidak memiliki otoritas moral, bahkan tidak layak disebut hukum.
Namun di tangan negara yang korup, _bonum commune_ digantikan oleh bonum privatum — kepentingan pribadi dan politik. Hukum berubah menjadi mekanisme accumulation by dispossession, seperti dikritik oleh Marx, di mana hukum memfasilitasi perampasan sumber daya rakyat demi penguatan oligarki.
Ketika bonum commune dikubur, hukum kehilangan daya etiknya. Ia berubah menjadi ritual kosong: pasal-pasal dijalankan tanpa nurani, dan keadilan menjadi jargon administratif. Seperti dikatakan Adorno dan Horkheimer (2002), rasionalitas modern telah berubah menjadi “rasionalitas instrumental,” yakni rasionalitas yang digunakan untuk menguasai, bukan membebaskan.
Negara dan Kepalsuan KeadilanHannah Arendt (1963) memperingatkan tentang “banalitas kejahatan”: kejahatan besar justru terjadi ketika hukum dijalankan tanpa berpikir, tanpa nurani. Inilah wajah birokrasi hukum modern — efisien dalam menghukum rakyat kecil, tetapi buta terhadap kejahatan yang dilakukan oleh para elit.
Negara menciptakan hukum sebagai teater moral: sidang digelar, vonis dibacakan, prosedur dijalankan, tetapi semuanya hanyalah sandiwara legitimasi. Rule of law berubah menjadi rule by law, dan keadilan direduksi menjadi estetika hukum.
Dalam logika negara seperti ini, keadilan bukan lagi tujuan hukum, tetapi hasil manipulasi kekuasaan. Bonum commune — kebaikan bersama — hanya menjadi retorika yang dibungkam oleh kalkulasi politik.
Hukum Sebagai Medan PerlawananCLS bukan hanya kritik intelektual, tetapi gerakan perlawanan terhadap hegemoni hukum yang membusuk. Tujuannya bukan untuk menghancurkan hukum, tetapi untuk mengembalikannya ke akar moralnya: bonum commune.
Paulo Freire (1970) menulis bahwa “tidak ada pembebasan tanpa kesadaran kritis.” Maka, tugas hukum kritis adalah membangkitkan kesadaran publik bahwa hukum bukan sesuatu yang suci, melainkan arena perebutan makna. Keadilan tidak turun dari langit; ia harus diperjuangkan dalam praksis sosial.
Hukum yang berpihak kepada rakyat tidak dapat lahir dari institusi yang korup, melainkan dari kesadaran bersama untuk merebut kembali ruang hukum sebagai wilayah moral. Hukum harus ditulis ulang — bukan dalam bahasa kekuasaan, tetapi dalam bahasa penderitaan dan solidaritas.
Simpulan
Hukum yang sejati adalah hukum yang berorientasi pada bonum commune — kebaikan bersama yang menempatkan manusia sebagai pusatnya. Tanpa orientasi moral itu, hukum hanyalah simulakra dari keadilan, cermin retak dari kekuasaan.
Critical Legal Studies menawarkan jalan pembebasan: menolak netralitas palsu hukum, membongkar dominasi ideologis, dan mengembalikan hukum pada akarnya — keadilan sosial yang berpihak pada manusia, bukan pada penguasa.
Dalam dunia yang diatur oleh legalitas tanpa legitimasi, perjuangan hukum adalah perjuangan moral: perjuangan untuk menghidupkan kembali hukum yang berjiwa, hukum yang berani menolak dirinya sendiri demi kebenaran, dan hukum yang berani memihak bonum commune.
Penulis adalah advokat dan aktivis 98
BERITA TERKAIT: