Kemauan Politik untuk Terciptanya Ekonomi Berdaulat

Rabu, 15 Oktober 2025, 15:21 WIB
Kemauan Politik untuk Terciptanya Ekonomi Berdaulat
Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan Republik Indonesia (1995–1998), A M Hendropriyono.
LANGKAH pemerintah dalam beberapa bulan terakhir menunjukkan arah baru dalam pembangunan ekonomi nasional.

Di tengah turbulensi geopolitik dan ancaman resesi global, Indonesia tidak lagi menempatkan diri sebagai pasar terbuka tanpa arah ideologis, melainkan sebagai negara yang sedang menegakkan kedaulatan ekonomi melalui kebijakan yang terukur, selektif, dan berlandaskan moral kebangsaan.

Kebijakan seperti Patriot Bond, restrukturisasi Proyek Strategis Nasional (PSN), dan penguatan BUMN sebagai instrumen pembangunan nasional mencerminkan pola baru yang dapat disebut sebagai state-anchored capitalism — kapitalisme berporos pada negara.

Model ini sejatinya sesuai dengan konsep kita sendiri yang tercetus pada 1964 ekonomi "Banting Setir" Presiden Sukarno, yang justru terbukti di Singapura Lee Kuan Yew pada 1972, China Tiongkok tahun 1983 dalam pembaharuan Deng Xiao Ping.

Kemudian penjabaran yang seharusnya dalam aspek ekonomi ketika Pak Harto 1986 menyatakan di P4, bahwa Pancasila merupakan ideologi yang terbuka, di mana modal swasta tetap aktif, namun arah dan loyalitasnya ditentukan oleh kepentingan nasional, bukan pasar global.

Namun, kemauan politik semacam ini hanya akan berhasil jika tidak dikhianati oleh mafia ekonomi dan kaum spekulan, mereka yang menunggangi kebijakan negara untuk kepentingan pribadi, atau yang memanipulasi isu ekonomi menjadi serangan personal terhadap individu yang dicap “kapitalis global.”

Serangan seperti itu bukan bentuk kritik moral, melainkan strategi pecah-belah yang membangkitkan kebencian sosial dan menumbuhkan sentimen SARA (Suku, Antar golongan, Ras, Agama) di tengah masyarakat.

Bila dibiarkan, hal ini akan mengikis rasa persatuan nasional dan menggagalkan transformasi menuju ekonomi berdaulat. Karena itu, keberhasilan kebijakan ekonomi nasional memerlukan disiplin moral dan kewaspadaan intelijen ekonomi terhadap infiltrasi kepentingan gelap yang berupaya menyelewengkan arah perjuangan bangsa.

Purbaya Yudhi Sadewa dan Arus Baru Ekonomi Berdaulat

Pemikiran dan langkah-langkah Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa memperkuat arah baru ekonomi berdaulat ini. Dalam berbagai tulisan akademiknya di buletin ekonomi moneter dan perbankan, serta makalah-makalahnya di LPEM-UI, Purbaya menekankan pentingnya intervensi negara secara cerdas (smart state intervention) dalam menentukan arah fiskal dan nilai tukar.

Berbeda dengan paradigma liberal yang menyerahkan pasar pada mekanisme global, Purbaya menegaskan fiskal dan moneter harus menjadi instrumen kedaulatan nasional. Bukan sekadar penjaga stabilitas harga, melainkan motor pemerataan dan industrialisasi.

Dalam kerangka ini, ia memandang bahwa:
  1. Nilai tukar harus diarahkan bukan hanya pada kestabilan makro, tetapi juga pada strategic competitiveness untuk memperkuat ekspor dan investasi produktif domestik.
  2. Kebijakan fiskal ekspansif yang disiplin diperlukan untuk memperkuat daya beli masyarakat dan memeratakan manfaat pembangunan hingga lapisan terbawah.
  3. Integrasi kebijakan BUMN dan keuangan negara menjadi instrumen kedaulatan ekonomi, bukan sekadar efisiensi administratif.
  4. Transformasi struktur industri nasional harus dimulai dari hulu — energi, pangan, dan pertahanan — agar ekonomi tidak menjadi “subsistem” dari rantai pasok global.
Pemikiran Purbaya tersebut menegaskan kelanjutan dari cita-cita Sumitronomics (ekonomi berporos negara dan rakyat), Ekonomi Pancasila ala Mubyarto, dan strategi “industrial policy” yang pernah diusung Prof Habibie.

Ia berusaha membawa kembali keseimbangan antara pasar, negara, dan rakyat (market, state, and society) ke dalam sistem yang lebih adil dan berdaulat.

Langkah konkret Purbaya seperti pengendalian defisit anggaran secara adaptif, penguatan koordinasi fiskal-moneter dengan BI, serta dorongan pembentukan instrumen Patriot Bond dan pembiayaan PSN berbasis sovereign leverage, menunjukkan keselarasan antara filsafat kebijakan ekonomi nasional dan strategi intelijen ekonomi negara.

Reafirmasi Historis dan Moral

Arah ini menghidupkan kembali semangat Prof Sumitro Djojohadikusumo, arsitek ekonomi bangsa, yang sejak 1950-an menegaskan bahwa Indonesia membutuhkan ekonomi campuran — negara memimpin arah pembangunan, sektor swasta menjadi mitra strategis, bukan lawan ideologis.

Sumitro menekankan pentingnya membangun kapital nasional dan industri dasar agar bangsa tidak tergantung pada modal asing. Ia bahkan menegaskan bahwa pembangunan adalah tugas moral untuk memajukan kesejahteraan rakyat dan menjaga martabat bangsa.

Pemikiran Sumitro sejalan dengan gagasan Mubyarto tentang Ekonomi Pancasila, yang menempatkan keseimbangan antara efisiensi ekonomi dan keadilan sosial sebagai ciri khas sistem ekonomi Indonesia.

Dalam konteks kini, kebijakan re-nasionalisasi kapital dan Patriot Bond adalah pembaruan terhadap ide-ide itu dengan menyesuaikan diri pada tantangan global yang makin kompleks.

Secara geopolitik, kebijakan ini memperkuat posisi Indonesia di tengah pertarungan segitiga antara kapitalisme global Barat, nasionalisme-ekonomi Asia, dan eksperimentasi multipolar BRICS. Indonesia menegaskan pembangunan nasional bukan alat dominasi modal asing, tetapi sarana untuk memperkuat daya tawar negara di fora internasional.

Moral Intelijen dan Disiplin Kebangsaan

Dari sisi moral strategis, kemauan politik ini mengembalikan makna ekonomi sebagai alat perjuangan nasional. Di masa lalu, nasionalisme ekonomi menjadi fondasi perjuangan kemerdekaan.

Kini dalam bentuk baru, ia menjelma menjadi nasionalisme finansial, di mana kekuatan kapital tidak lagi menjadi ancaman, melainkan bagian dari pertahanan negara.

Fenomena yang oleh publik disebut “Sembilan Haji” hendaknya tidak dipahami sebagai daftar nama, tetapi sebagai simbol transformasi struktural dari oligarki pasar bebas menuju kapital nasional yang berwatak moralistik dan patriotik. Negara tidak lagi menjadi fasilitator pasar, melainkan pemimpin moral dan ideologis dari peradaban ekonomi baru Indonesia.

Dengan demikian, kebijakan ekonomi berdaulat bukan sekadar strategi teknokratis, tetapi juga operasi intelijen moral — penataan ulang kesetiaan ekonomi agar selaras dengan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta memajukan kesejahteraan umum.

Penutup

Kemauan politik tanpa integritas moral adalah bara tanpa api. Ia mungkin menghangatkan sesaat, tetapi tak akan menerangi jalan bangsa.

Dalam masa transisi menuju kedaulatan ekonomi, musuh terbesar bukanlah kekuatan asing semata, melainkan pengkhianatan dari dalam negeri — para mafia dan spekulan yang menjadikan kebijakan publik sebagai ladang transaksi pribadi.

Mereka memecah bangsa dengan narasi kebencian, mengadu rakyat dengan rakyat, lalu bersembunyi di balik jargon nasionalisme semu.

Oleh karena itu, kemauan politik ekonomi berdaulat harus dijaga dengan kesadaran intelijen nasional — kecerdasan untuk membedakan patriot sejati dari aktor kamuflase.

Hanya dengan moral Pancasila dan disiplin kebangsaan yang teguh, Indonesia dapat memastikan bahwa ekonomi bukan menjadi alat segelintir orang, melainkan perisai dan pelita bagi seluruh rakyat Indonesia. rmol news logo article

A M Hendropriyono
Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan Republik Indonesia (1995–1998)
EDITOR: DIKI TRIANTO

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA