Geografi, Kunci Pengetahuan yang Terlupakan

Jumat, 03 Oktober 2025, 05:40 WIB
Geografi, Kunci Pengetahuan yang Terlupakan
Dr. Rasminto. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
DI tengah derasnya krisis iklim, urbanisasi, konflik agraria, hingga rivalitas geopolitik, pendidikan geografi seharusnya menjadi fondasi bangsa. Namun ironis, posisi geografi di sekolah justru semakin terpinggirkan. 

Di banyak sekolah, jam pelajaran dikurangi, bahkan dilebur ke dalam rumpun studi sosial lain. Padahal, tanpa geografi, kita ibarat bangsa yang berjalan tanpa peta.

Sejarawan dan ahli geografi Prancis, Fernand Braudel (1972), pernah menegaskan bahwa “ruang adalah kerangka sejarah". Pandangan klasik ini diperkuat oleh Carl Sauer (1925) yang menyatakan bahwa manusia membentuk lanskap sekaligus dibentuk oleh lanskap. Keduanya menempatkan geografi bukan sebagai ilmu pinggiran, melainkan dasar memahami peradaban.

Di Indonesia, gagasan ini sejak lama digaungkan oleh para pakar nasional. Prof. R. Bintarto (1967), bapak geografi pembangunan Indonesia, menegaskan bahwa geografi tidak hanya bicara peta, melainkan “ilmu yang menganalisis fenomena geosfer untuk kepentingan pembangunan”. 

Baginya, geografi merupakan jembatan antara potensi ruang dengan kebutuhan manusia. Perspektif ini relevan hingga hari ini, ketika pembangunan harus berakar pada karakter wilayah.

Dalam ranah hukum dan geopolitik, Prof. Mochtar Kusumaatmadja (1973) berperan besar memperjuangkan konsepsi “Wawasan Nusantara", yang kemudian diakui dunia melalui UNCLOS 1982. Pemikirannya berpijak pada pandangan geografi, bahwa laut bukan pemisah, melainkan pemersatu kepulauan Indonesia. Inilah bukti konkret bahwa geografi bukan hanya pelajaran kelas, tetapi fondasi strategi diplomasi dan pertahanan negara.

Lebih jauh ke belakang, Deklarasi Djuanda 1957 menjadi wujud pembelajaran geografi dalam praktik kenegaraan. Ir. H. Djuanda Kartawidjaja menegaskan bahwa laut Indonesia adalah satu kesatuan wilayah kedaulatan. 

Jika para pendiri bangsa tidak memiliki visi geografi yang kuat, mungkin Indonesia tidak akan diakui sebagai negara kepulauan yang utuh hingga kini.

Relevansi geografi juga nyata dalam sektor pertahanan. Sejarah militer dunia menunjukkan betapa penguasaan medan, iklim, dan kondisi topografi menentukan kemenangan perang. 

Dari Perang Dunia II hingga strategi pertahanan modern, semua berpijak pada analisis geospasial (Keegan, 1989). Dalam konteks Indonesia, strategi pertahanan maritim dan pengamanan perbatasan mustahil berhasil tanpa basis ilmu geografi.

Di bidang pertanian, geografi menjadi kunci ketahanan pangan. Badan Pangan Nasional (2023) melaporkan penurunan produksi padi hingga 20 persen di beberapa daerah akibat perubahan curah hujan. Tanpa analisis spasial tentang pola iklim, jenis tanah, dan distribusi air, adaptasi pertanian hanya mengandalkan insting petani. 

Di sinilah geografi berperan sebagai sains terapan yang menyelamatkan perut bangsa. Namun fakta di lapangan menunjukkan geografi makin terpinggirkan. Kurikulum Merdeka memang mencantumkan geografi pada fase E–F (kelas X–XII), tetapi fleksibilitas pemilihan mata pelajaran membuatnya sering terabaikan. 

Selain itu, pada keputusan Keputusan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI Nomor 103/2025 tentang Mata Pelajaran Pendukung Program Studi dalam Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP). Membuat posisi mata pelajaran geografi semakin tersisihkan. 

Padahal, UNESCO (2018) sudah menegaskan pentingnya pendidikan geografi untuk membentuk global understanding, yakni pemahaman keterhubungan dunia yang membuat warga negara lebih kritis, berdaya, dan tangguh menghadapi perubahan global. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, literasi spasial sama pentingnya dengan literasi numerasi dan literasi baca tulis.

Mengabaikan geografi sama artinya mengabaikan fondasi pembangunan bangsa. Pengalaman banjir kota-kota besar Indonesia, gagal panen di sawah petani, konflik lahan di desa, hingga perebutan pulau kecil di perbatasan, semuanya merupakan cermin absennya cara pandang geografi dalam kebijakan.

Kita sebagai sebuah bangsa, mesti belajar dari para pendahulu, dimana mereka mendudukkan geografi bukan sekedar ilmu dan pengetahuan pinggiran, melainkan nyawa peradaban bangsa maritim dan agraris. Jika kita ingin masa depan Indonesia berdiri kokoh, maka geografi harus ditempatkan kembali di pusat kurikulum dan kebijakan, bukan di pinggirannya. rmol news logo article

Dr. Rasminto 
Ketua Umum IKA FISH UNJ, Dosen Geografi UNISMA dan Anggota Pusat Pendidikan Wawasan Kebangsaan (PPWK) Provinsi DKI Jakarta 


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA